Sukses

Kisah Etnis Rohingya Rayakan Idul Fitri di Negeri Pengungsian

Muhamad Hanif berlebaran di Jakarta, jauh dari kampung halamannya di Myanmar. Tapi hatinya mengaku tenang.

Bagi sebagian besar umat Islam merayakan Idul Fitri bersama keluarga membawa kebahagiaan tersendiri. Begitu juga yang dialami Muhamad Hanif, pria dari etnis Rohingya Myanmar.

Meski jauh dari kampung halaman, ia masih bersyukur masih bisa berkumpul bersama keluarga dan para kerabat.

Hanif juga bersyukur, sejak mengungsi 32 hari lalu di Indonesia, ia dapat menempati sebuah ruangan dengan luas sekitar 20 meter untuk menghabiskan hari-harinya bersama 17 anggota keluarga dan kerabatnya. Persisnya di lantai 3 gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang terletak di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat.

"Walaupun tidak sama dengan tahun-tahun sebelumnya, saya tidak merasa kecewa. Karena semenjak datang ke Indonesia, kami merasa paling tenang, baik dari segi makanan, tempat tinggal. Segala-galanya tidak ada kekurangan," ujar Hanif, sapaan ia sehari-hari saat ditemui di YLBHI, Jakarta, Kamis (8/8/2013).

Rasa rindu kepada sanak dan kerabatnya di Myanmar sudah pasti dialami pria berumur 38 tahun ini. Namun terlalu sulit bagi Hanif untuk dapat menemui mereka. Ia hanya bisa pasrah dengan kondisi sekarang ini. Bagi Hanif, ini sudah menjadi suratan takdir dari Tuhan yang harus diterima dengan lapang dada.

"Kami memang rindu dengan keluarga kami yang lain, di sini kami cuma silaturahmi antar sesama setelah salat Id. Kami terima saja, mungkin nasib kami memang begini jadi kami terima saja," ujarnya dengan kepala sedikit menunduk.

Hidup tenang dan merdeka sudah lama ia impikan, namun tak kunjung terwujud. Tak heran jika sejak berusia remaja, ia dan anggota keluarga terdekatnya berusaha mengungsi ke Malaysia. Tapi gagal.

Didorong rasa kekawatiran yang selalu muncul terkait  tragedi Myanmar beberapa tahun silam, ia pun memutuskan untuk mengungsi ke Australia. Indonesia hanya persinggahan sementara.

"Di sana (Myanmar) tidak seperti negara Islam lainya, Islam kami tidak ada kebebasan. Tidak ada kebebasan, seperti hari Raya Idul Fitri tidak bisa keluar ke tempat lain. Kami cuma bisa merayakan di kampung sendiri," ujarnya berlogat Melayu.

Pria berbadan kurus ini bersyukur, selama singgah di Indonesia dapat menjalankan ibadah puasa Ramadan dengan khusuk. Berbagai bantuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dapat tercukupi dengan baik. "Memang yang kami dapat dari donatur ada banyak bantuan. Dari Rumah Zakat, Dompet Dhuafa, Aksi Cepat Tanggap (ACT)."

Sebagai manusia pada umumnya, kebutuhan biologis dan hak privasi menjadi keniscayaan, yang sampai saat ini sulit terpenuhi di lokasi pengungsian ini. Tak heran jika Hanif dan kerabatnya berharap mendapat tempat tinggal layak seperti halnya rumah tinggal. "Kami berharap bisa tinggal di tempat seperti rumah tinggal," ujarnya.

Bermimpi ke Australia

Trauma masa lalu sepertinya sulit terobati. Tak heran jika ia memutuskan untuk tidak kembali ke asal negaranya itu. Hanif berharap upaya YLBHI menjadikan status pengungsian segera terpenuhi agar dirinya bersama keluarganya dapat diterima di negeri tujuannya yakni Australia. Pasalnya, beberapa kerabatnya kini sudah menjadi warga negara Australia.

"Tidak ada keinginan lagi kembali. Kami lebih bebas di negeri orang. Di masjid kami ada salam-salaman tadi pagi. Sambil menunggu sampai 6 bulan sesuai aturan PBB, kami perlu seperti rumah untuk menampung kami. Perlu rumah sebelum kami ke negara lain (Australia)," tuturnya.

Pada kesempatan yang sama, pengabdi bantuan hukum YLBHI Julius Ibrani mengaku tengah berupaya terus mendapatkan status pengungsian Hanif berserta keluarganya. Ia berharap dalam waktu enam bulan ini organisasi pengungsian internasional di bawah PBB ini dapat memberikan status pengungsianya.

"Kita tidak mendorong mereka ke Australia. Dalam konvensi tentang pengungsi, dan protokol Tahun 1967 kita mendorong khususnya atas nama kemanusiaan. Sudah ada instrumen yang memberikan perlindungan untuk Rohingya. PBB punya badan UNHCR yang kewenangannya menetapkan status perlindungan dan pernyataan status pengungsi bagi Rohingya," ujarnya.

Apabila mereka telah mendapat status pengungsi, lanjut Julius, maka UNHCR akan mengumumkan resettemen dan menawarkan ke negara-negara yang sudah meratifikasi konvensi pengungsi.

Pemerintah Indonesia sendiri kata Julius, masih pada posisi dilematis karena belum memiliki regulasi yang diadopsi dari konvensi PBB.

"Pemerintah agak resisten untuk isu pengungsi karena kita belum punya hukum yang jelas. Penanganan pengungsi masih berupa PP (Peraturan Pemerintah) di bawah UU Imigrasi. Sementara pengungsi Rohingya langsung di bawah PBB," jelasnya. (Ein)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.