Sukses

Bara Pemilu dari Bali

Massa Partai Golongan Karya dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan bentrok di Bali. Keduanya tak mau disalahkan dan sama-sama mengaku sebagai korban.

Liputan6.com, Jakarta: Suhu politik menjelang Pemilihan Umum 2004 memanas. Penyulutnya adalah gesekan antarmassa pendukung Partai Golongan Karya dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Bali. Dua kader dan simpatisan partai tersebut bentrok. Akibatnya, dua orang tewas, belasan kendaraan hangus terbakar, dan puluhan orang luka-luka.

Bentrokan pertama terjadi saat massa Partai Golkar bergerak dari Jembrana menuju Lapangan Kapten Jaya, Padanggalak, Denpasar, Sabtu pekan silam. Mereka ingin mengikuti hari ulang tahun ke-39 Partai Beringin. Namun, perjalanan tak berlangsung mulus. Sebab di ruas jalan menuju Sanur, kawasan Tabanan, rombongan dihadang massa pendukung Partai Banteng. Bentrokan fisik tak terhindarkan. Di sini, enam pendukung Golkar terluka, sehingga harus dirawat di Rumah Sakit Tabanan. Selain itu, sembilan mobil dan tiga sepeda motor pendukung Golkar juga dirusak [baca: Massa Golkar dan PDIP Bentrok di Tabanan].

Kehadiran Partai Golkar rupanya tak disambut baik di Tabanan. Sebelumnya, ratusan bendera Golkar di kawasan Abiantuwung sampai depan Kantor DPRD Tabanan juga raib. Papan nama Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) ikut dirusak orang tak dikenal. Puncaknya, Kantor Dewan Pimpinan Daerah II Golkar dilempari batu. Menurut aktivis Partai Golkar, pelakunya massa berkostum merah dan beratribut PDIP.

Sehari kemudian, kerusuhan serupa juga terjadi di Singaraja, ibu kota Kabupaten Buleleng, 12 kilometer utara Denpasar. Di sini, bentrokan terjadi di tiga titik dan menewaskan dua orang simpatisan Partai Golkar, Putu Negara (30) dan Ketut Agustana (20). Hingga Ahad malam, situasi di Singaraja masih mencekam. Polisi menyatakan Buleleng dalam Siaga I.

Situasi di Buleleng memang sudah memanas sejak Ahad pagi. Massa PDIP beramai-ramai turun ke jalan, terkait dengan kegiatan temu kader di Lapangan Gede Manik, Buleleng. Acara itu dihadiri Sekretaris Jenderal DPP PDIP Sutjipto. Namun pesta tak berlangsung mulus. Soalnya, di Jalan Ngurah Rai atau tepatnya di depan halaman Kantor Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Buleleng di Singaraja, massa PDIP terlibat bentrok dengan kader Golkar. Bentrokan massa di titik pertama ini mengakibatkan satu mobil dan sepeda motor hangus dibakar massa. Kaca sejumlah mobil juga pecah berantakan.

Sebelum Ngurah Rai terkendali, bentrokan antara massa Golkar dan PDIP kembali pecah di Kalibukuk, 10 kilometer barat Singaraja. Di tempat ini, kerusuhan mengakibatkan bus Putra Jasa hangus terbakar dan dua sepeda motor rusak berat. Bentrokan ketiga terjadi di Desa Petandakan, Kecamatan Buleleng, sekitar 15 kilometer selatan Singaraja. Di tempat inilah polisi menemukan dua mayat anggota AMPG tergeletak di lokasi kejadian [baca: Massa PDIP-Golkar Bali Bentrok, Dua Tewas].

Kejadian ini membuat Kepala Polda Bali Irjen Polisi I Made Mangku Pastika malu. Sebab, ketentraman yang biasanya melekat dalam kehidupan warga Bali tiba-tiba terusik. Pastika kini tengah memeriksa secara intensif tiga orang yang terlibat bentrokan. Menurut Pastika, para perusuh tetap akan diproses secara hukum. Dia akan bersikap netral, tidak berpihak pada partai politik tertentu.

Mendengar informasi soal bentrokan, Ketua DPP Partai Golkar Slamet Effendy Yusuf langsung terbang ke Bali. Dia meminta Kepala Polda Bali melindungi kader Golkar. Polisi juga diminta menindak tegas para pelaku yang terlibat bentrokan. Permohonan perlindungan disampaikan karena hingga kemarin malam beberapa pengurus Golkar di daerah Buleleng masih dalam keadaan terancam. "Jangan sampai teror dan anarkisme terhadap masyarakat Bali terus berlanjut. Kalau diteruskan, ini menjadikan Bali tidak aman," kata Slamet.

Slamet juga meminta Pemerintah Provinsi Bali dan Komisi Pemilihan Umum Bali segera melakukan langkah-langkah koordinasi dengan berbagai parpol. Menurut Ketua Badan Pengendali Pemenangan Pemilu Partai Golkar itu, pembunuhan dua kader AMPG sudah termasuk tindakan kriminal. Sekaligus menunjukkan PDIP belum dewasa. Sebagai partai berkuasa, lanjut Slamet, semestinya PDIP menampilkan kelebihan partai, bukannya melakukan metode teror yang sangat tidak berkebudayaan.

Tidak dewasa? DPP PDIP tak mau disalahkan begitu saja. Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Jacobus Mayong Padang mengatakan, kemarahan warga PDIP dipicu ulah simpatisan Partai Golkar. Mereka marah karena aktivis Partai Beringin banyak memasang bendera partai tanpa memperhatikan estetika. Ini membuat Bali terlihat kotor dan semrawut. "Seharusnya mereka memasang bendera dan umbul-umbul secara benar. Tidak menempatkannya di depan Kantor PDIP, seperti yang terjadi di Mataram Nusatenggara Barat," ujar Jacobus.

Kemarahan PDIP bukan hanya itu. Massa banteng gemuk lebih disebabkan kelakuan kader Partai Golkar yang kerap mengejek Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri. Jacobus meminta kritik ke Megawati bisa lebih bertanggung jawab. "Kondisi negara ini telah berlangsung lama, kenapa dibebankan kepada pemerintahan saat ini?" tanya Jacobus. Menurut dia, massa PDIP memandang kritik terhadap Mega sebagai serangan. Itulah sebabnya, mereka bereaksi [baca: Massa PDIP Bali Marah Megawati Dicerca].

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Golkar Koordinator Wilayah Bali Irsyad Sudiro berpandangan lain. Menurut dia, bentrokan di Bali sudah direncanakan. Sebab, beberapa hari sebelum peringatan HUT ke-39 Partai Golkar, sejumlah aktivis partai sudah diganggu sekelompok orang. Beberapa pengurus partai yang pernah berkuasa di Orde Baru ini juga diteror. Meski begitu, pengurus DPP Partai Golkar tidak dendam [baca: Akbar: Golkar Tidak Dendam].

Irsyad Sudiro juga membantah bahwa pemasangan bendara dan umbul-umbul partai tak memperhatikan keindahan Pulau Dewata. Irsyad mengungkapkan, pengibaran bendera bukan instruksi pengurus partai, melainkan aspirasi massa yang ingin memenangkan Golkar di Bali. "Yang terjadi di Bali adalah suatu proses demokratisasi sehingga masyarakat memiliki keberanian untuk menyampaikan hati nurani," ujar dia.

Bentrokan antara massa Partai Golkar dan PDIP sebenarnya bukan pertama kali terjadi di Bali. Pada musim kampanye Pemilu 1999, massa kedua partai besar ini juga bentrok di Buleleng. Antara Desember (1998)-Mei 1999, setidaknya terjadi dua kali bentrokan berdarah di Desa Cempaga dan di Desa Banjar, Buleleng. Sedikitnya sembilan jiwa melayang akibat bentrokan tersebut.

Rinciannya, enam korban tewas akibat bentrokan di Desa Cempaga, termasuk di antaranya Kepala Desa Cempaga I Putu Artha. Bentrokan susulan terjadi di Desa Banjar, 10 Mei 1999. Akibatnya tiga orang tewas. Kerugian lain adalah 11 rumah rusak dan tujuh kendaraan bermotor dibakar massa. Menyusul bentrokan, Bupati Buleleng saat itu, Wiratha Sindhu, mengeluarkan instruksi khusus larangan berpolitik bagi warga empat desa bertetangga: Cempaga, Banjar, Sidatapa, dan Pedawa.

Buleleng--atau Bali secara umum--kini kembali terbakar. Penyebabnya, bentrokan antara massa Partai Golkar dan PDIP, yang sama-sama mempunyai massa banyak. Celakanya, tidak ada di antara partai tersebut yang mau mengaku salah atau meminta maaf terlebih dahulu. Kedua-duanya mengaku paling benar. Paling santun dan paling beradab. Partai Golkar bilang, PDIP yang memancing kemarahan dan berbuat onar. Sebaliknya, PDIP menuding Partai Golkar-lah sumber semua masalah. Jika sudah begini, biarlah hukum yang berbicara. Dan, sebagai warga yang rindu terhadap kedamaian, sudah sepantasnya kita menimbang ulang partai yang dipilih pada Pemilu 2004. Jangan sampai memilih partai yang akrab dengan kekerasan dan jauh dari kesantunan.(ULF)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini