Sukses

Praja Tewas di Kandang Macan

"Saya akan kembali ke kandang macan," kata Wahyu Hidayat kepada orang orangnya saat kembali ke kampus usai berlibur. Benarkah mahasiswa STPDN tingkat II ini dicekik sampai mati?

Liputan6.com, Bandung: "Saya akan kembali ke kandang macan," kata Wahyu Hidayat kepada orang tuanya saat kembali ke kampus usai berlibur. Itulah kalimat yang tak akan pernah dilupakan Syarif Hidayatullah, ayah Wahyu. Kandang macan yang dimaksud adalah Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) di Jatinangor, Bandung, Jawa Barat, tempat Wahyu menuntut ilmu. Dan, di sanalah, tepatnya 2 September silam, mahasiswa tingkat dua atau Praja Madya ini, tewas.

Kasus ini memang masih diselidiki. Apalagi, perkara tersebut baru ditangani Kepolisian Resor Sumedang setelah mendengar dari media massa. Namun, sejak awal, masalah itu menimbulkan tanda tanya, soal visum misalnya. Budi Setiawan, dokter jaga di Rumah Sakit Al Islam Bandung, yang melakukan visum terhadap jenazah Wahyu menyatakan tidak ada tanda penganiyaan di tubuh korban saat mayatnya dibawa ke RS. Keterangan ini dibenarkan petugas kamar mayat bernama Abon. Dia mengaku tidak menemukan bekas luka ketika memandikan jenazah pria berumur 20 tahun. "Dia mulus," kata pria yang mengaku sudah ratusan kali memandikan mayat ini.

Hasil otopsi--dengan menggali kuburan Wahyu pada 6 September silam-- yang dilakukan Tim Forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta berkata lain. Mu`nim Idris, dokter spesialis forensik, mengatakan, pada korban terdapat luka-luka lecet dan memar, ada tanda-tanda mati lemas, dan perdarahan di rongga tengkorak akibat kekerasan tumpul. "Waktu kita buka kepala terdapat kelainan yang kita sebut perdarahan di selaput otak keras. Berdasarkan kelainan yang ada di situ saya menyimpulkan bahwa yang menyebabkan kematian adalah penekanan pada daerah leher, penekanan itu bisa dicekik atau ditekan, hingga menyebabkan kesulitan dalam aliran pernapasan sehingga meninggal," kata Mu`nim.

Polres Sumedang telah menggelar prarekonstruksi berdasarkan pengakuan 50 teman korban sesama mahasiswa tingkat II, Senin kemarin. Menurut mereka, pada malam nahas itu, sekitar pukul 23.00 WIB, semua mahasiswa dikumpulkan di sebuah lorong oleh para mahasiswa tingkat III yang disebut Praja Nindya. Para mahasiswa yunior ini diminta berbaris dengan posisi berdiri tegak sambil menundukkan kepala. Kemudian para praja diberi pembinaan dengan pukulan di bagian perut.

Sayangnya, menurut Kepala Polres Sumedang Ajun Komisaris Besar Polisi Yoyok S, prarekonstruksi penganiyaan yang dibuat dari pengakuan para mahasiswa tingkat II ini, ternyata tidak sepenuhnya benar. Pasalnya, Senin malam, sebelum prarekonstruksi digelar, puluhan mahasiswa tingkat II tersebut menandatangi pernyataan mengubah pengakuan yang tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang dibikin siang harinya. Alasan mereka, pengakuan itu dibuat karena dibayangi intimidasi pihak kampus. Rupanya, sebelum pemeriksaan polisi, mereka telah diminta untuk tidak banyak bicara agar jumlah tersangka tidak bertambah. Apalagi, pengakuan terbaru teman-teman korban saat itu mereka dipukuli dengan kondisi mata tertutup sehingga penganiayaan yang dialami Wahyu tidak mereka ketahui.

Kematian Wahyu membuat STPDN bereaksi cepat. Tiga mahasiswa, Yayan Sofyan, Dadang Hadisurya, dan Hendi Setyadi dipecat dan 13 lainnya diturunkan tingkatnya. Upacara pemberian sanksi yang dilakukan tertutup kemudian menimbulkan persoalan baru. Giliran empat wartawan foto yang berusaha mengambil gambar yang menjadi korban "pembinaan" para mahasiswa STPDN.

Di luar sanksi akademis, hingga kini, polisi telah menetapkan enam tersangka, tiga di antaranya ditahan di Markas Polres Sumedang. Mereka yang ditahan adalah tersangka yang telah dipecat. Sedangkan tiga lain hanya dikenai wajib lapor karena masih berstatus mahasiswa. Namun, jumlah tersangka bisa saja bertambah. Sebab, polisi masih terus memeriksa puluhan saksi yang tidak hanya teman-teman korban tapi juga teman-teman tersangka.

Asal tahu saja, di lingkungan Kampus STPDN, para senior memang diberi kewenangan untuk melakukan apa yang disebut tindakan pembinaan terhadap para yunior dari daerah yang sama. Dalam pemeriksaan polisi, para tersangka yang yang menghuni barak Jabar, mengaku tidak bermaksud menganiaya apalagi membunuh korban. Yang mereka lakukan hanya pembinaan belaka. Itu pun tidak hanya dilakukan para tersangka, tapi juga oleh mahasiswa tingkat III. "Kenapa saya harus dipecat padahal hasil otopsi menunjukkan dicekik? Saya cuma memukul perut?" kata Yayan yang ditemani penasihat hukumnya, Yopi Megananda. Penghuni barak Jabar terdiri dari 63 praja senior yang 13 di antaranya perempuan. Tapi, tak ada yang bisa menampik, dalam plonco itulah Wahyu ambruk dan meregang nyawa setelah dilarikan ke rumah sakit.

Desakan agar kasus ini segera diusut tuntas kian deras. Maklum, ini adalah perkara kedua yang terjadi di kampus yang didirikan oleh Rudini--waktu itu Menteri Dalam Negeri-- pada 1989. Pada 3 Maret 2000, mahasiswa bernama Ery Rahman juga meninggal dunia akibat plonco. Tapi, hingga kini, penyebab kematiannya masih gelap. Bahkan, kala itu ribuan praja angkatan 1996-1998 mendesak pimpinan STPDN melepaskan tujuh mahasiswa yang dituding menganiaya Ery. Dalam unjuk rasa tersebut, mereka menekankan bahwa hukuman fisik kepada Ery, bukan penganiayaan, tapi semata untuk menegakkan disiplin bagi praja yunior secara internal.

Tragedi terasa bagai petir yang menyambar Syarif dan keluarganya. Harapan agar putra mereka menjadi pamong praja kandas. Meski begitu warga Jalan Branta Mulia, RT 01 RW 08 Nomor 205, Kampung Kambing, Desa Karangasem Timur, Citeureup, Bogor, ini akan menuntut para pelaku dan STPDN. "Saya serahkan sepenuhnya ke kepolisian juga STPDN," ujar Syarif. Pria berkaca mata ini mengatakan, seharusnya kurikulum sekolah tidak bersifat militer karena STPDN menghasilkan petugas pamong yang akan mengemong masyarakat. Dia juga menyayangkan kecerobohan pengawas kampus yang tak memantau aktivitas praja senior yang dilakukan di luar kurikulum.

Syarif juga melihat gelagat yang mencurigakan dalam kasus kematian buah hatinya itu. Teman-teman sekontingen anaknya mengatakan, bahwa Wahyu sempat dijemput seniornya. Namun, obrolan mereka terputus karena praja tersebut langsung digiring dosen STPDN. Hingga kini, Syarif masih menunggu kepastian penyebab kematian putra keduanya itu. Lima Faudimar, rekan Wahyu, juga berharap agar masalah ini jelas. "Agar tidak sisa-sia pengorbanan teman saya," kata dia.

Duka keluarga Wahyu Hidayat juga dirasakan Kosari, ayah tersangka Dadang Sofyan. Kosari turut berbelasungkawa dan berdoa agar segala dosa korban dihapuskan. "Semoga almarhum mendapat perlindungan dari Allah SAW dilindungi dari semua siksa kubur bahkan siksa neraka," kata Kosasih. Kesedihan juga dialami Lilik, ibunda Dadang Hadi. "Saya seperti nggak bisa bicara apa-apa waktu mendengar anak saya disebut-sebut di televisi dinyatakan sebagai tersangka," kata dia.

Kematian Wahyu masih berselubung tanya. Mengacu pada hasil praja madya itu, Wahyu tewas karena cekikan di bagian leher. Sementara versi para tersangka, mereka hanya memukuli perut Wahyu. Mungkinkah ada pelaku lain atau kasus ini malah hilang seperti kematian Ery Rahman?(TNA/Tim Derap Hukum)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini