Sukses

Kontras Ungkap Kejanggalan Vonis Mati Ruben dan Markus Sambo

Kejanggalan itu dimulai sejak penangkapan Ruben dan Markus Pata Sambo.

Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak kekerasan (Kontras) mengungkap sejumlah kejanggalan dalam dugaan salah tangkap yang berujung vonis mati kepada Ruben dan Markus Pata Sambo. Kejanggalan itu telah dimulai saat polisi menangkap Ruben, Markus, dan Martinus Pata Sambo pada 2006.

"Polisi yang berasal dari Polres Tana Toraja tidak menunjukan surat penangkapan," kata Koordinator Kontras Haris Azhar usai bertemu dengan Jaksa Agung di Jakarta, Kamis (20/6/2013).

Ruben dan Martinus Pata Sambo ditangkap pada 13 januari 2006. Sementara Markus Pata Sambo dibekuk pada 14 Januari 2006. Saat ini, Martinus sudah bebas. Sementara Ruben dan Markus masih dipenjara, menunggu eksekusi mati.

Haris menambahkan, saat diperiksa Ruben dan Martinus kerap mendapatkan penyiksaan seperti ditelanjangi, jempol kaki dijepit dengan kaki meja, dipukul pada rahang bagian kanan hingga sebuah giginya tanggal, dipukul di bagian rusuk, dan luka lebam disekujur tubuh.

Bahkan saat ditahan di Mapolres Tana Toraja, Ruben diminta secara paksa menandatangi berkas yang belum dimengertinya. Padahal saat itu Ruben tidak bisa membaca karena tidak menggunakan kacamata.

Dalam kasus ini 7 tersangka sudah menjadi terpidana. Oleh hakim, Ruben dan Markus tengah berusaha meminta pembebasan mereka, karena bapak dan anak ini merasa tidak bersalah. Martinus yang juga anak Ruben sudah bebas.

Sementara 4 orang lainya, Agustinus Sambo divonis mati, Juni divonis 20 tahun penjara, Yulianus Marayang divonis 20 tahun bpenjara, dan Petrus Ta'daan divonis 10 tahun penjara.

Yang membuat kasus ini banyak dibincangkan adalah permbuatan surat pernyataan dari Agustinus Sambo. Setelah Ruben dan Markus divonis mati, Agustinus mengaku sebagai pelaku pembunuhan itu, Ruben dan Markus tidak ikut-ikut. Meski demikian, vonis mati sudah dijatuhkan hakim, Ruben dan Markus tetap dipenjara.

"Agustinus mengaku membunuh keluarga Andarias karena kemarahanan dipicu Andarias menolak untuk membayar hutang sebesar Rp 500 ribu. Dan Martina juga marah ketika ditagih hutang" tutur Haris.

Sementara Mabes Polri membantah adanya penyiksaan selama proses pemeriksaan. Alasannya, setiap kali diperiksa, tersangka selalu didampingi pengacara.

"Tidak benar, gimana mau dianiaya? Setiap pemeriksaan selalu didampingi pengacara," kata Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri, Kombes Pol Agus Rianto kemarin.

Pengakuan Martinus

Sementara, Martinus mengaku tidak langsung dibawa ke Mapolres Tana Toraja setelah ditangkap. Dia mengaku dibawa berkeliling sambil diancam akan dibunuh. "Baru ditangkap saya sudah diperlakukan kasar, bahkan saya ingin dibuang dan diancam mau dibunuh," kata Martinus.

"Coba bayangkan kita ditaruh di dalam mobil dan diancam mau dibunuh. Bagaimana perasaannya? Saya takut dan gematar badan saya," tambah dia.

Saat diperiksa di Mapolres Tana Toraja, Martinus juga mengaku dipaksa untuk mengakui keterlibatannya dalam pembunuhan keluarga Andarias Padin yang terjadi pada Desember 2005 silam. "Saat di dalam (tahanan), saya dipukuli dan diancam akan dicabut kuku saya. Ini membuat saya takut. Tapi saya tidak pernah mengaku melakukan pembunuhan itu," tegasnya.

Martinus mengaku sampai saat ini tidak pernah menghetahui isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang membuatnya divonis 12 tahun penjara. Dia mengaku hanya menandatangani BAP tersebut.

Kini, Dia sudah bebas, setelah menjalani hukuman 7 tahun penjara, karena mendapat remisi. Namun, penyiksaan juga dialami oleh Ruben. "Ayah dan kakak saya pun saat ditangkap diberlakukan dengan cara kasar dengan dipukul," tutup Martinus. (Eks/Ism)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.