Sukses

Kasus Salah Vonis, Kontras Minta Penegak Hukum Cari Solusi

Kasus salah vonis yang mengakibatkan 2 dari 3 orang harus menghadapi hukuman mati jadi potret buram penegakan hukum di Indonesia.

Kasus salah vonis yang mengakibatkan 2 dari 3 orang harus menghadapi hukuman mati jadi potret buram penegakan hukum di Indonesia. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pun meminta instansi terkait untuk segera menyelesaikan ini.

Kasus ini dialami Ruben Pata Sambo dan Markus Pata Sambo. Keduanya dituduh melakukan pembunuhan berencana terhadap pasangan suami istri Andarias Pandin dan Martina La'biran.

Kasus salah vonis itu terkuak saat pelaku pembuhuhan sebenarnya tertangkap pada 30 November 2006. Mereka ialah Agustinus Sambo, Yulianus Maraya, Juni, dan Petrus Ta'dan. Keempatnya telah membuat pernyataan khusus yang menyatakan Ruben beserta anaknya tidak bersalah dan bukan merupakan pembunuh. Namun, Ruben tetap saja dijatuhi hukuman mati.

Keduanya dijatuhi vonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Makale Tana Toraja pada tahun 2006. Upaya hukum telah dilakukan bahkan sampai ke tingkat Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung. Namun, hasilnya MA menolak PK tersebut.

"PK yang diajukan ditolak oleh Hakim Agung M Hatta Ali, Dirwoto, dan Djafri Djamal. Alasannya novum atau bukti yang dihadirkan bukan bukti baru atau sudah pernah dihadirkan pada persidangan," kata Koordinator Eksekutif Nasional Kontras, Haris Azhar di Jakarta, Kamis (13/6/2013).

Putusan PK No. 70/2008 itu membuat Ruben dan anaknya tetap dijatuhi hukuman mati. Ada satu anak Ruben bernama Martinus Pata yang juga dituduh terlibat. Namun, dia tidak dihukum mati, hanya hukuman 6 tahun penjara.

Untuk itu, sambung Haris, Kontras akan mengirim surat kepada Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, serta Mabes Polri untuk menyelesaikan masalah ini.

"Kami mendesak instansi tersebut untuk segera berkoordinasi mencari solusi dengan cara konstutisional dan legal untuk membebaskan 3 korban rekayasa kasus yang berujung pada hukuman mati," ujar Haris.

Secara khusus, Kontras menuntut Kejaksaan Agung untuk menghapus nama Ruben dan anaknya dalam daftar orang yang akan dieksekusi tahun ini. "Karena kami dengar mereka masuk dalam daftar itu," ucapnya.

Selain itu, ia juga meminta Menteri Hukum dan HAM untuk menjembatani penuntasan rekayasa kasus ini. Untuk Mabes Polri, Kontras meminta agar petugas yang melakukan penyiksaan selama memeriksa Ruben segera dihukum.

"Kami juga sudah menjalin komunikasi informal kepada pihak Mabes Polri untuk menemukan oknum polisi yang melakukan penyiksaan dan harus ditindak secara hukum," paparnya.

Terkahir, Kontras mendesak Komisi Yudisial untuk memeriksa hakim di Pengadilan Negeri Makale Tana Toraja, Pengadilan Tinggi Makassar, dan Mahkamah Agung.

"Yang paling penting ditingkat MA. Bagaimana seorang hakim agung tidak bisa menggunakan keagungannya untuk menilai bahwa kasus ini merupakan rekayasa yang berujung pada hukuman mati," tandas Haris. (Mut)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.