Sukses

Famadaya Harimao, Keperkasaan Perang dan Pertobatan

Tujuh tahun sekali warga Desa Hilisimaetanao menggelar Famadaya Harimao. Upacara digelar untuk mengenang keperkasaan sekaligus pertobatan atas dosa perang yang telah dilakukan para leluhur.

Liputan6.com, Nias: Suatu pagi, saat embun masih terasa di kulit, warga Desa Hilisimaetanao, Pulau Nias, Sumatra Utara, tampak sibuk. Perhelatan adat Famadaya Harimao akan digelar. Upacara tujuh tahunan itu untuk mengenang keperkasaan masyarakat Hilisimaetanao saat berperang di masa lampau. Warga setempat memang bangga dengan kepandaian leluhur mereka berperang, sehingga perlu dibuat upacara khusus. Namun, seolah penyesalan, upacara juga dilaksanakan untuk pertobatan atas dosa-dosa perang para pendahulunya.

Sebelum perayaan, para tokoh desa seperti Si Uluk [raja] Jupiter Dachi, para Si Ila [panglima perang], dan kepala desa berkumpul untuk bermusyawarah. Mereka berembuk untuk memutuskan pembagian daging babi yang akan disembelih pada puncak upacara. Sejumlah tokoh dipersilakan mengemukakan pendapat. Namun keputusan akhir ada di tangan Si Ila. Sementara Si Uluk yang menjadi pimpinan tertinggi dan kades sebagai pimpinan formal, hanya diam menyaksikan rapat. Sebab, Si Uluk dan kades memang tak dimintai pertimbangan. Kendati demikian, merekalah yang akan memutuskan jika musyawarah gagal mencapai mufakat.

Di luar, warga mempersiapkan perlengkapan prosesi upacara, terutama babi. Binatang berkaki empat ini syarat mutlak dalam Famadaya Harimao. Tanpa babi, upacara mustahil dilakukan. Sementara para remaja putri bersolek dan mengenakan busana adat yang dilengkapi dengan selendang Kain Kabo serta Mahkota Tareha yang dikenakan di kepala mereka.

Kaum prianya juga tak kalah menarik. Mereka mendadani diri dengan baju perang Ereba dan kalung Kalabubu. Atribut ini di masa silam digunakan sebagai perisai untuk menghindari kayau (memotong leher dan mengambil kepala lawan) musuh. Tak hanya itu, di pinggang para pria ini juga terselip golok dengan Rago Gigi yang menempel di ujung gagang pedang. Rago gigi ini mengandung mantra yang bisa digunakan menyembuhkan luka. Tangan mereka juga dilengkapi Toho Balusa atau tombak dan Baluse sebagai perisai. Saat semua kelengkapan upacara siap, maka Famadaya Harimao pun siap digelar.

Famadaya Harimao dimulai saat Jupiter keluar dari kediamannya yang bernama Omo Hada. Si Uluk kemudian disambut dengan tarian para gadis. Saat itu, Si Uluk yang mengenakan pakaian kebesaran didampingi anak dan istrinya. Pakaian yang dikenakan warga saat upacara menunjukkan status sosial seseorang. Si Uluk, misalnya. Pakaiannya berbeda dengan yang dikenakan Si Ila dan para prajuritnya.

Saat upacara berlangsung, Si Uluk sebagai pimpinan sosial dan spiritual tertinggi harus membuat pemberkatan seekor babi yang hendak disembelih. Upacara juga dimeriahkan dengan atraksi Hombo Batu atau Lompat Batu yang menjadi ciri khas Nias. Famadaya Harimao mencapai puncaknya saat para lelaki yang mengenakan pakaian perang beraksi. Mereka mengarak patung harimau yang merupakan simbol kekuatan, kelincahan, dan keberanian.

Saat petang tiba, upacara Famadaya Harimao diakhiri dengan pembagian daging babi. Daging dibagi berdasarkan status sosial. Si uluk dan kades mendapatkan bagian yang sama, kepala babi yang dibelah dua. Si Ila mendapatkan bagian rahang. Dan, sisanya dibagikan merata ke seluruh warga desa. Dengan usainya perhelatan ini, tuntas sudah warga Hilisimaetanao memenuhi janjinya untuk meneruskan tradisi yang telah diwariskan para leluhur.

Famadaya Harimao awalnya adalah sebuah tradisi yang dilakukan untuk memberi semangat prajurit berperang dan tolak bala bagi warga. Namun, seiring pergantian waktu, nilai sakral dan makna upacara berkurang. Satu di antara penyebabnya perkembangan agama Kristen yang pesat di daerah yang dulunya merupakan kerajaan ini.

Kendati demikian, Famadaya Harimao tetap menunjukkan identitas diri orang-orang Nias sebagai keturunan ahli-ahli perang. Perhelatan ini sekaligus menunjukkan bahwa perang menjadi tema besar dalam pemikiran komunitas Hilisimaetanao. Tak heran jika Hilisimaetanao termasuk sebuah kerajaan yang sangat disegani di Nias Selatan. Selama di bawah pimpinan Si Uluk Raja Molo, Hilisimaetanao berhasil menaklukkan 16 desa atau raja di sekitarnya. Asal tahu saja, Raja Molo adalah Si Uluk yang memerintah selama tiga generasi sebelum raja yang sekarang.

Tradisi lompat batu pada upacara itu juga bagian dari budaya perang. Lompat batu diciptakan sebagai ajang latihan anak muda agar bisa melompat pagar tembok yang mengelilingi perkampungan musuh. Lompat batu juga berkembang sebagai satu fase inisiasi bagi seorang lelaki. Jika seseorang pria sudah punya kemampuan melompati batu, maka dia dianggap sudah dewasa. Dia bisa ikut serta berperang dan menikah.

Kini, masa kejayaan Hilisimaetanao telah berakhir. Hilisimaetanao berubah menjadi sebuah desa administratif yang menjadi bagian dari sebuah pemerintahan yang lebih besar. Perang pun sudah tak ada lagi. Kendati demikian, kehidupan sehari-hari rakyatnya masih menggambarkan sebuah sistem budaya yang didasarkan pada ide-ide tentang keagungan perang.

Struktur pelapisan sosial yang dibangun berdasarkan keberanian nenek moyang dalam perang di masa silam pun masih dipertahankan. Sementara wibawa dan kharisma seseorang juga masih dilihat berdasarkan keberanian dan kecerdikan menghadapi orang asing. Cerita tentang keperkasaan perang ini juga telah membuat sejumlah kegiatan yang berkaitan dengan ilmu kesaktian, hidup dengan subur di tanah ini. Satu di antara yang paling populer adalah Ilmu Pencak Silat. Dan hampir semua pria dewasa di Hilisimaetanao pandai bersilat.(LIA/Dian Wignyo dan Bambang Triono)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini