Sukses

Balugu Baru di Ori Laraga

Desa Ori Laraga di Nias Utara, Sumut, memiliki Sozaro Totofanu Telambanua sebagai Balugu atau pemimpin adat. Meski mulai langka, kehadiran Balugu menjadi penentu kebijakan masalah adat.

Liputan6.com, Nias: Hari masih pagi benar. Namun, kesibukan keluarga besar Telambanua di Desa Ori Laraga, Nias Utara, Sumatra Utara, membangunkan ayam jantan. Dalam sejurus kokokan ayam jago mengiringi persiapan mereka menggelar penobatan pemimpin adat atau Balugu di omo hada atau rumah adat Ori Laraga, beberapa waktu silam.

Matahari mulai menyirami daerah pegunungan di bawah kaki Gunung Sitoli itu. Para gadis berdandan secantik-cantiknya. Para pemuda tak mau kalah mematut-matut penampilannya. Para penari yang sudah berlatih berminggu-minggu juga bersolek dan mengenakan kostumnya. Para tetua adat, sanak famili, dan tamu bersiap-siap pula. Hari itu mereka akan menyelenggarakan pelantikan Balugu baru. Prosesi langka yang nyaris dilupakan ini sekaligus mengingatkan kembali bahwa orang Nias Utara masih memegang tradisi di tengah gempuran modernitas.

Para tamu mulai mengerumuni oma hada yang berada di atas bukit Gunung Sitoli. Pantun-pantun bolihae berisi salam persahabatan didendangkan para wakil tuan rumah untuk menyambut para tamu. Para undangan datang berkelompok berdasarkan klan keluarga dan disambut para pemuda dengan tarian selamat datang. Para tamu pun menyampaikan kabar kedatangan mereka melalui alunan kidung para ibu yang menggambarkan kebahagiaan mereka atas pelantikan pemimpin baru.

Di Ori Laraga, setiap kegiatan adat selalu dilakukan di omo hada. Semua upacara digelar di tengah keterbatasan ruangan berdinding dan berlantai kayu itu. Sebab, tempat ini menjadi pusat spiritual bagi orang Nias Utara. Bahkan, mereka tidak diperbolehkan melakukan kegiatan lain selain di rumah adat tersebut.

Sozaro Totofanu Telambanua dan istrinya turun dari oma hada. Sozaro mengenakan jubah kebesaran berwarna dominan kuning keemasan dengan sentuhan warna merah. Di kepalanya tersemat rai ana`a atau mahkota kebesaran peninggalan Balugu sebelumnya. Sedangkan sang istri terlihat menawan saat mengenakan aya bambagi ni fatofato dan rai nandrulo atau kalung dan mahkota emas khas Nias Utara.

Seorang sesepuh adat menyampaikan dasar-dasar pemilihan Sozaro sebagai Balugu yang sudah disepakati beberapa waktu sebelumnya. Kepala Desa Iraonogeba itu dianggap layak menjadi Balugu karena memenuhi beberapa syarat. Sozarao adalah figur yang berprestasi, mempunyai jabatan, dan memiliki garis darah yang sama dengan Balugu-Balugu sebelumnya.

Di hadapan para tamu, Sozaro disetujui untuk menjadi Balugu dengan gelar Balugu Sangehowu. Meski terkesan formalitas, persetujuan ini sangat penting. Tanpa persetujuan tersebut, Sozaro bisa saja batal menjadi Balugu. Dalam sebuah prosesi ringkas, Sozaro pun diarak menuju makam Balugu pertama Ori Laraga untuk mendapat restu dari para leluhur.

Pulau Nias memang memiliki banyak tradisi yang unik. Daerah di barat laut pulau Sumatra yang berdiri di tengah keganasan gelombang Samudera Hindia ini memang jauh dari pusat perkembangan peradaban. Posisinya yang terpencil membuat Nias tumbuh dengan peradaban tersendiri yang unik dan menyimpan banyak cerita sejarah yang mengagumkan. Bahkan, bisa jadi Nias adalah satu-satunya pulau di dunia yang masih mempunyai tradisi-tradisi budaya megalitikum yang sangat kuat.

Peninggalan-peninggalan dari zaman batu besar ini sampai sekarang masih bisa dijumpai di beberapa perkampungan kuno di Kabupaten Nias Selatan. Konon, tradisi ini muncul karena persaingan yang sangat kuat dalam memperebutkan lahan. Beberapa pemimpin klan yang kemudian menjadi kelompok bangsawan dengan sebutan Si Ulu menciptakan simbol-simbol kebesaran melalui peninggalan batu-batu besar ini. Tradisi perang antarklan atau antarkampung yang di masa silam disebut sebagai sebuah wilayah kerajaan membuat Nias juga dikenal dengan tradisi hombo batu atau lompat batu.

Orang Nias atau yang lebih dikenal dengan ono Niha memiliki paras yang khas. Fisik mereka berbeda dengan orang Sumatra pada umumnya. Muka dan postur tubuh mereka lebih mendekati ras Mongoloid daripada ras Melayu. Mata sipit, kulit putih, dan tubuh yang tak terlalu tinggi.

Konon mereka adalah keturunan para pendatang dari Teluk Tonkin di Cina Selatan yang hijrah ke pulau ini. Kini, ratusan tahun setelah nenek moyang pertama ono Niha datang ke pulau terpencil ini, Nias pun berubah. Pulau yang terkenal dengan kawasan penuh tantangan untuk surfing ini menjadi sebuah wilayah yang banyak dipengaruhi unsur-unsur asing. Nias menjadi kabupaten yang berkembang layaknya kota-kota kabupaten lain di Tanah Air.

Nias Utara sebagai pusat pemerintahan berkembang pesat dan mulai melupakan akar tradisi mereka. Namun, Nias Selatan yang jauh dari jangkauan pemerintah, tumbuh lebih independen dengan tradisi-tradisi lama yang masih dijaga. Pengaruh luar yang begitu deras masuk ke Nias Utara sebagai pintu gerbang ke pulau ini membuat orang Nias Utara kini sulit mencari jati diri mereka.

Memang pemimpin adat adalah jabatan yang sebenarnya saat ini mulai ditinggalkan orang Nias Utara. Tapi, di Desa Ori Laraga, keberadaan Balugu masih dianggap penting. Sebab, sang pemimpinlah yang akan mewarisi oma hada dan menjadi penentu kebijakan jika terjadi masalah-masalah adat. Bahkan, kini, Ori Laraga memiliki Balugu baru. Merayakan sukacita, para tamu dan keluarga besar Tembalanua bergerak serempak menarikan maena, tarian yang menggambarkan kegembiraan masyarakat Nias Utara.(TNA/Dian Wignyo dan Bambang Triono)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.