Sukses

Tobelo, Manusia Belang Kutukan Sang Dewa

Alkisah, ada satu keluarga mengusik kemesraan sepasang kuda belang jantan dan betina. Sang dewa marah lantas mengutuk keluarga itu berkulit belang seperti kuda.

Liputan6.com, Bulu Pao: Tak ada manusia yang bisa memilih terlahir dari keluarga atau keturunan tertentu. Seperti juga suku Tobalo yang tinggal di tempat terpencil di Pegunungan Bulu Pao, yang membentang melintasi wilayah Kabupaten Baru dan Pangkep, Sulawesi Selatan. Sejak menjejakkan kaki ke bumi, setiap orang dari keturunan kelompok ini punya rupa kulit tak lazim: sekujur tubuh terutama kaki, badan, dan tangan, penuh bercak putih. Sementara tepat di tengah dahi mereka, bercak tersebut juga terpampang nyaris membentuk segitiga. Karena itu mereka disebut kaum Tobelo. Yang dalam bahasa Bugis, To berarti manusia sedangkan Belo sama dengan belang. Manusia belang.

Perbedaan itu rupanya membuat mereka mengasingkan diri dari kumpulan sosial sehingga tak pernah membangun koloni di daerah yang ramai. Konon, sikap tersebut sudah mereka lakukan sejak berabad silam saat Kerajaan Bugis masih jaya. Namun, oleh raja-raja zaman dahulu, kelainan tersebut sempat dianggap tanda kepemilikan kesaktian yang membuat mereka sering dipilih menjadi pengawal raja.

Di tengah hiruk pikuk kemajuan zaman, kaum Tobalo seakan tenggelam ditelan kesunyian pelosok tempat tinggal mereka. Populasi ini kini tinggal segelintir. Maklum, menurut kepercayaan mereka, jumlah satu keluarga tak boleh lebih dari 10 orang. Jika tidak, keluarga ke-11 dan berikutnya harus mati. Entah dibunuh langsung atau dibuang ke suatu tempat sampai diyakini tak bernyawa.

Satu di antara yang sedikit itu tersebutlah keluarga Nuru bin Rien. Bersama satu istri, dua anaknya Rakdak dan Mantang, serta beberapa anggota keluarga, dia membangun sebuah gubuk di sebuah sudut Pegunungan Bulu Pao. Di petak sempit inilah, kehidupan Nuru sekeluarga terkotak. Mereka bercengkrama, memasak, bercocok tanam ubi, jagung, dan kacang, serta mengolah gula merah. Tapi sesekali mereka turun gunung juga untuk menjual hasil bercocok tanam serta gula merah ke Pasar Kamboti, Desa Bulo-Bulo. Dari pekerjaan ini, mereka menerima duit yang tak seberapa. Tapi hasil itu sudah membuat senyum mereka tersungging. Cukuplah untuk membeli persediaan ikan asin selama sepekan dan sepasang sandal jepit yang sudah lama diidamkan Rakdak, putra sulung Nuru yang kini duduk di kelas empat sekolah dasar.

"Aku ingin jadi polisi," kata Rakdak dengan tatapan mata lugu ketika ditanya soal cita-citanya. Sebuah keinginan sederhana bagi sebagian orang tapi bak bintang buat Rakdak dan keluarganya. Betapa tidak, Rakdak tak bisa setiap hari ke sekolah karena jarak yang harus ditempuh dari rumahnya dengan berjalan kaki sekitar tiga jam. Belum lagi kegiatan rutinnya. Saban pulang sekolah, bocah yang kini duduk di SD Instruksi Presiden (Inpres) Bulo-Bulo, Kecamatan Pujananting, Kabupaten Baru, ini mesti menjaga adiknya.

Kalau tidak, Rakdak menggembalakan kuda yang diberikan pemerintah setempat beberapa waktu silam. Kalaupun bisa belajar, dia tak memiliki peralatan yang lengkap. Pun penerangan hanya didapat dari sinar lampu teplok. Tapi seperti ketangguhannya menaklukkan alam sekitar, begitu pula semangat Rakdak untuk menjadi pintar. Setidaknya sampai sekarang dia tak meninggalkan status pelajar seperti yang dijalani anak-anak Tobalo yang akhirnya sibuk bermain dan membantu keluarga.

Menurut Abu Hamid, antropolog dari Universita Hasanuddin, Makassar, kelainan yang diidap kaum Tobelo bukanlah penyakit melainkan pembawaan gen. Namun, masyarakat setempat meyakininya sebagai kutukan dewa. Alkisah suatu hari, ada satu keluarga yang menyaksikan sepasang kuda belang jantan dan betina yang hendak kawin. Bukan hanya menonton, keluarga itu juga menegur dan mengusik kelakuan kedua kuda itu. Maka marahlah dewa lantas mengutuk keluarga ini berkulit seperti kuda belang atau belo. Ada pula kisah versi lain. Para kaum Tobelo percaya, manusia dan kuda turun bersama dari langit saat pertama bumi diciptakan. Artinya, hewan berkaki empat itu bersaudara dengan manusia. Nah, orang-orang yang percaya dengan cerita ini otomatis akan berkulit belang.

Abu Hamid menambahkan, kaum Tobelo bisa keluar dari masalah kulit ini jika mereka menikah dengan orang lain yang punya gen kulit normal. "Selama ini kebanyakan mereka kawin antarmereka saja. Padahal terbukti, jika ada kaum Tobelo yang kawin dengan orang di luar kelompoknya, sang anak akan berkurang belangnya," jelas Abu Hamid. Kelihatannya, perlu ada penyuluh yang menyambangi mereka ke dusun terpencil itu untuk menjelaskan keadaan sebenarnya. Agar mereka segera keluar dari keterkungkungan yang disebabkan perasaan berbeda dari manusia lain.(MTA/Tim Potret SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini