Sukses

Keluarga Terdakwa Korupsi Chevron Adukan Hakim Tipikor ke KY

Keluarga 2 terdakwa korupsi proyek fiktif bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), Ricksy Prematuri dan Herland bin Ompo, mendatangi Komisi Yudisial (KY).

Keluarga 2 terdakwa korupsi proyek fiktif bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), Ricksy Prematuri dan Herland bin Ompo, mendatangi Komisi Yudisial (KY). Mereka menilai vonis 5 tahun yang diketok Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi janggal.

Pihak yang datang adalah istri terdakwa Ricksy Prematuri, Ratna Irdiastuti dan terdakwa Herland Bin Ompo, Sumi. Maksud kedatangan mereka ke KY adalah melaporkan adanya pelanggaran kode etik yang diduga dilakukan majelis hakim.

Menurut kuasa hukum keluarga terdakwa, Nur Ridhowati, pihaknya melihat sejumlah kejanggalan selama proses persidangan berlangsung bagi terdakwa Ricksy dan Herlan yang sudah divonis 5 tahun itu.

"Ada beberapa hal yang kami nilai janggal dari majelis hakim selama persidangan berlangsung sampai dengan putusan dijatuhi," kata Nur di Gedung KY, Jakarta Pusat, Selasa (14/5/2013).

Hal pertama, tutur Nur, adalah tindakan yang diduga diskriminatif dari majelis hakim terhadap semua terdakwa kasus tersebut. Yakni, perbedaan penahanan selama para tersangka menjalani proses persidangan. Terdakwa Ricksy dan Herlan ditahan sebagai tahanan titipan kejaksaan, sedangkan terdakwa lainnya tidak ditahan.

"Sama-sama terdakwa, tapi yang 2 di dalam tahanan, 4 lagi di luar tahanan. Bahkan kami berkali-kali minta penangguhan penahanan tapi tidak dikabulkan," kata Nur.

Kejanggalan lain, lanjut Nur, pemberian tenggat waktu dari majelis hakim bagi tim kuasa hukum terdakwa Ricksy dan Herlan untuk menghadirkan saksi-saksi begitu pendek, yakni kurang lebih satu minggu. Sementara waktu yang diberikan kepada jaksa penuntut umum (JPU) untuk menghadirkan saksi mencapai sekitar 4 bulan.

Alhasil, kata Nur, dari 24 saksi yang disiapkan tim kuasa hukum, hanya 9 saksi yang bisa dihadirkan. "Waktu yang diberikan begitu mepet, jadi tidak semua saksi bisa kita hadirkan. Sedangkan jaksa punya waktu yang panjang sampai 4 bulan untuk menghadirkan saksi," kata Nur.

Ditolak

Nur lebih jauh menjelaskan, karena waktu yang diberikan sangat singkat, permintaan tim kuasa hukum untuk mengajukan saksi ahli bioremediasi dari Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas), yakni Profesor Doktor Udiarto ditolak majelis hakim yang diketuai Sudharmawatiningsih.

"Yang paling kami sesalkan ketika kami ingin menghadirkan saksi ahli bioremediasi, tapi malah ditolak. Jadi saksi-saksi dari kami tidak bisa diakomodir karena waktu yang begitu mepet," ucapnya.

Menurut Nur, tim kuasa hukum juga sudah meminta kepada majelis hakim untuk meninjau lapangan terkait dengan kasus bioremedasi ini. Namun, hal itu tidak dilakukan majelis hakim. Apalagi jika dilihat kasus bioremedasi pada dasarnya bukan masuk kategori delik korupsi.

"Kemudian kejanggalan dalam putusan, terdapat dissenting opinion dari majelis hakim. Kami merasa putusan itu dibuat dengan semena-mena. Kami melihat ada kepentingan lain dalam putusan itu," katanya

Ketua KY Eman Suparman menerima laporan ini. Dia mengatakan, KY akan memprioritaskan laporan ini dan menelusuri lebih jauh. "Saya terima pengaduan ini, kontennya nanti saya lihat seperti apa. Kami akan prioritaskan laporan ini dan mendalaminya," kata Eman.

Vonis Itu

Sebelumnya, Ricksy Prematuri, Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI) divonis 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsidair 2 bulan kurungan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Selain itu, majelis hakim juga mewajibkan PT GPI untuk membayar uang ganti rugi sebesar US$ 3.089.

Dalam putusan, terdakwa Ricksy terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama yang menguntungkan dirinya, dan orang lain, serta korporasi.

Majelis hakim juga menjatuhkan vonis 6 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsidair 3 bulan kurungan penjara kepada Herland Bin Ompo, Direktur PT Sugimita Jaya yang merupakan kontraktor proyek bioremediasi PT Chevron Pasific Indonesia (CPI). Majelis hakim juga mewajibkan PT Sumigita Jaya untuk membayar uang pengganti US$ 6,9 juta.

Dalam putusan tersebut, sebagai kontraktor, perusahaan Herland terbukti secara sah tidak mengantongi izin sebagai perusahaan pengelolaan limbah dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sebagaimana diatur dalam PP Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun.

Hakim anggota Octavianus Widjantono juga menyatakan dalam putusannya, PT Sumigita Jaya dalam pelaksanaan proyek bioremediasi tidak sesuai dengan Kepmen Menteri Lingkungan Hidup 128/2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah.

Alhasil, proyek yang dikerjakan perusahaan Herland tersebut mengakibatkan kerugian negara mencapai US$ 6,9 juta berdasarkan penghitungan biaya proyek bioremediasi dengan mekanisme cost recovery.

Namun dalam putusan tersebut terjadi dissenting opinion dari hakim anggota Sofiadi yang menyatakan dalam putusannya, bahwa Herland tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi atas proyek tersebut.

Sebanyak 4 dari 5 terdakwa lainnya dalam kasus ini yang berasal dari PT CPI, yakni Endah Rubiyanti (ER), Widodo (WD), Kukuh (KK), dan Bachtiar Abdul Fatah (BAF) masih dalam proses persidangan. Sedangkan satu tersangka lagi, yakni Alexiat Tirtawidjaja (AT) hingga saat ini masih belum dapat dipulangkan ke Tanah Air lantaran masih berada di California, Amerika Serikat. (Ary/*)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini