Sukses

Dari Warakas Melawan Jokowi

Gubernur Jokowi masih memuji Lurah Warakas, Mulyadi. Tapi apakah pujian itu akan berakhir pemecatan? Belum bisa dipastikan. Yang pasti, perlawanan dari Warakas ke Balaikota belum berakhir.

Kamis petang (2/5/2013) di sebuah masjid di Jakarta Utara. Banyak anak-anak asyik main bola di pekarangan. Seorang pria tua berbatik cokelat emas datang ke pelataran masjid. Setiba di tangga masjid, pria itu langsung mengambil posisi duduk di pelataran lantai masjid. Setengah bersila. Dia menyapa dan mengucap salam. "Ya, gimana mas Harun," kata Mulyadi, Lurah Warakas, Jakarta Utara dengan tampang yang sedikit lelah. Nama Mulyadi kini mencuri perhatian publik karena melawan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo atau Jokowi dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Mulyadi bukan melawan Jokowi-Ahok. Tapi dia menentang kebijakan lelang jabatan lurah dan camat yang dicanangkan duet Jokowi-Ahok. Bagi Mulyadi, lelang jabatan harusnya dilakukan untuk mengisi posisi yang akan ditinggalkan si empunya kursi. Atau untuk mereka yang akan memasuki masa pensiun. "Saya maju terus, saya tahu ini akan jadi pro-kontra di tengah masyarakat," kata Mulyadi kepada Liputan6.com, Kamis (2/5/2013).

Menurut Mulyadi proses pengangkatan dan pemberhentian lurah sudah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri. Bukan dengan lelang. Mulyadi yang juga wong Solo itu tak segan menyeret atasan sekampungnya itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika dipecat. "Kalau hari ini saja Jokowi pecat saya, saya langsung PTUN-kan," berang Mulyadi. Berani melawan kebijakan lelang jabatan itu karena merasa tak digaji oleh Jokowi-Ahok. Menurutnya, dia digaji melalui dana APBD. "Dari uang masyarakat yang dikumpulkan dan menjadi APBD," kata Mulyadi.

Meski sudah berkonsultasi dengan Yusril Ihza Mahendra, Mulyadi belum menunjuk secara resmi Ketua Dewan Syura Partai Bulan Bintang (PBB) itu sebagai kuasa hukumnya. Mulyadi mengaku telah bertemu dan berteman dengan Yusril sejak lama. Selain Yusril, Mulyadi mengaku mengenal banyak orang dari Kemenkumham. Orang-orang inilah yang dianggapnya bisa diajak mendiskusikan program lelang jabatan. "Dari dulu saya kenal Yusril. Dan banyak teman saya dari Kemenkumham untuk share masalah ini. Kan Yusril juga sering isi acara seminar dengan Walikota Jakarta Utara," ujarnya.

Suara Mulyadi makin lantang. Menurutnya, jabatan bukanlah barang bekas yang bisa dilelang. "Memangnya lurah itu besi rongsokan? barang bekas? Kenapa dilelang?". Program lelang itu dinilai melanggar Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri). Program ini dinilai tak memiliki konsep yang jelas. Karena itu, Mulyadi enggan mendaftarkan diri sebagai salah satu calon peserta lelang jabatan ini.

Mulyadi menolak ikut uji kompetensi. Tetapi, Pemda DKI melalui Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Jakarta Utara sedikit 'merayu'. "Saya ditelepon BKD. Saya disuruh ikut uji kompetensi karena akan ada waktu perpanjangan waktu untuk lurah yang belum ikut uji kompetensi kemarin," kata Mulyadi di Jakarta Utara, Selasa (30/4) lalu. Meski uji kompetensi untuk para lurah sudah usai, Mulyadi mengaku tetap menolak ajakan itu. Mulyadi menegaskan tidak akan mengikuti uji kompetensi dan tetap menentang kebijakan itu. "Saya tetap tidak akan mengikuti uji kompetensi itu," tegas dia.

Pada uji kompetensi hari Sabtu 27 April 2013 lalu, Mulyadi tidak hadir. Alasannya masih sama, lelang jabatan itu sepatutnya digelar untuk posisi camat dan lurah yang kosong saja. Mulyadi juga berencana mengoordinasikan kepada penasihat hukum bagi para PNS yang menolak proses itu. Rencananya, lelang jabatan itu akan digugat ke MK. "Jadi 80 PNS dari Lurah dan Camat, Seketaris Lurah, Wakil Lurah yang tidak ikut, nantinya berencana tuntut ke MK," kata dia.

Akibat disibukkan dengan rencana lelang itu, Mulyadi mengaku penyakit jantungnya kumat. Bahkan saat ini, Mulyadi harus memeriksakan diri ke RS Harapan Kita. "Harus dipasang ring 1, pemeriksaan rutin 1 bulan sekali ambil obat di rumah sakit. Sudah sejak dulu saya sakit Jantung," ungkapnya. Kedatangan Mulyadi ke rumah sakit hari ini guna ambil obat dan pemeriksaan kolestrol dan asam urat. Mulyadi khawatir kandungan kolesterol dan asam urat yang dimilikinya berpotensi menyerang jantungnya. "Saya sekalian check up kolesterol," jelasnya.

Siapa Mulyadi

Sikap Kritis yang ditunjukkan Mulyadi untuk menolak kebijakan menuai polemik di tengah masyarakat. Pria kelahiran tahun 1952 ini berkenan membagi sedikit cerita kepada Liputan6.com tentang hidupnya. Menjadi Lurah merupakan inspirasi dari warga di kampungnya. Hingga Mulyadi memutuskan bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Jakarta. Dan itu membutuhkan waktu yang tidak singkat.

"Awalnya lihatin tetangga dulu di Solo. Guru dan pegawai negeri kayaknya dihormati orang lain apalagi Kepala Desa, dihargai banget. Butuh waktu hampir 18 tahun sebelum menjabat Lurah sekarang ini," kata Mulyadi.

Bapak 3 anak ini mengawali karirnya dengan menjabat sebagai Kepala Seksi (Kasie) Pemerintahan di Kelurahan Papanggo, Tanjung Priok, Jakarta Utara pada tahun 1995. Jabatan itu disandang setelah lulus dari jurusan Sosial Politik Universitas 17 Agustus 1945. Sekitar 3 tahun kemudian, Mulyadi pindah dan menjabat sebagai Sekretaris Kelurahan (Sekkel) Sunter Agung, Tanjung Priok. Posisi yang dipercayakan kepada dirinya selama 4 tahun.

"Saya juga sempat sekolah S2 di Universitas Krisnadwipayana tahun 2001. Lalu setelah jadi Sekretaris Kelurahan, saya jadi Wakil Lurah Sunter Agung selama 1 tahun," kata dia. Karirnya terus menanjak. Mulyadi diberi amanat untuk Wakil Lurah Warakas dari 2006 sampai 2010. Dan pada akhirnya menjadi orang nomor satu di kelurahan Warakas sejak 2010. "Sampai sekarang," ceritanya.

Bagi warga Warakas, Mulyadi dikenal berani dan tegas menyikapi permasalahan di lingkungan warganya seperti narkoba. Mulyadi dinilai dapat membawa perubahan dan berani. "Sikap seperti masyarakat yang melanggar tata tertib atau yang biasa menggunakan narkoba, biasanya melakukan peneguran secara persuasif," kata warga sekaligus tokoh masyarakat Warakas, Tasimun Mudjiarto di rumahnya, Jakarta, Selasa (30/4/2013). Mulyadi seperti 'Jokowi versi Kelurahan'. Perubahan yang digawangi salah satunya soal penghijauan di lingkungan Warakas. Bahkan mendapatkan juara setingkat DKI soal lingkungan. Program Potisasi atau tanaman dalam pot. "Juara dua tingkat DKI untuk penghijauaun lingkungan tahun kemarin, kalau anda keliling semua rumah warga pasti ada pot yang berisi tanaman," ujar Tasimun.

Sebuah rumah biru di Jalan Raya Semper, Plumpang, terparkir mobil Toyota Kijang Innova bernomor polisi B 1676 UOU. Dari balik rumah yang hampir sama dengan rumah-rumah sekitarnya, terdapat rumah-rumah lain. Harris (52), selaku warga sekitar mengatakan Lurah Mulyadi mempunyai beberapa rumah yang secara khusus disewakan. Harganya pun bervariasi dari sewa per bulan Rp 600 ribu hingga Rp 6,8 juta pertahunnya. "Yah dia memang punya 3 rumah, persis di belakang rumahnya. Dan yang baru jadi yang di dalam gang dua lantai," kata Harris, Jakarta Utara, Kamis (2/5/2013). Mulyadi juga juragan kontrakan.

Kata Jokowi-Ahok

Spanduk bertuliskan, "Warakasku Warakasmu, Warakas kita semua" itu dibentangkan di depan gapura kantor Lurah Warakas, Jakarta Utara, Rabu 1 Mei. Spanduk dukungan ini muncul setelah Mulyadi memprotes dan berencana menggugat program lelang jabatan yang digelar Pemprov DKI. Mulyadi banjir dukungan. Suara Ahok sedikit tegas soal Mulyadi. Tegas tapi santai. Ahok menyatakan, Pemprov DKI Jakarta bisa saja melakukan protes balik kepada Mulyadi karena tidak menghadiri ujian kompetisi bidang dalam program lelang jabatan pada Minggu 28 April kemarin. "Kami juga bisa protes sama dia nanti," ucap Ahok di Balaikota, Jakarta, Selasa (30/4/2013). Apakah Ahok akan mencopot Mulyadi sebagai Lurah Warakas? "Memang untuk ganti atau copot lurah itu hak kita. Sekarang saja kalau kita mau copot bisa kok, tapi urusannya apa? Nggak ada urusan itu," kata Ahok.

Lambat laun, Ahok tak mau lagi menanggapi Mulyadi yang kian populer. Itu merupakan hak Mulyadi untuk bertindak. Namun Ahok mengingatkan Mulyadi. Seberapapun besar dukungan yang diberikan warga Warakas kepadanya, Mulyadi tetaplah seorang PNS yang dipilih Pemprov DKI Jakarta. Kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan ada di tangan pemerintah. "Saya ingatkan lurah itu PNS, bukan kades (kepala desa). Kalau kades sih boleh-boleh saja karena diangkat oleh warga. Tapi lurah itu PNS, kami yang berhak untuk memilih mereka," katanya.

Lantas, apakah dengan sikap tetap menolak lelang jabatan lurah tersebut, Mulyadi akan dicopot sebagai lurah. Ahok memilih tak menjawab dan akan menyerahkan sepenuhnya kepada Badan Kepegawaian. "Mungkin nanti BKD akan memanggil, surat panggilan belum dikirim. BKD yang lagi mau atur penyelesaian masalah ini. BKD yang urus. Saya nggak ngurusin," cetus Ahok.

Berbeda dengan Ahok, Jokowi lebih memilih untuk tidak terlalu meladeni ocehan Mulyadi. Jokowi tidak akan mnuntut balik. Bagi Jokowi itu tidak perlu. Jokowi mengaku hingga saat ini belum terpikir untuk menuntut anak buahnya itu. Bahkan Jokowi pun enggan memanggil Mulyadi yang mengaku sekampung dengannya itu untuk meminta penjelasan terkait pernyataannya. "Ya masak atasan tuntut bawahan, bawahan tuntut atasan. Itu ndak mendidik dong. Jangan kan nuntut, manggil saja saya ndak mau," terang Jokowi di Balaikota, Jakarta, Rabu, (1/5/2013).

Tapi hingga kini Jokowi masih mempertanyakan alasan Mulyadi takut menghadapi uji kompetisi. Padahal, program lelang jabatan ini dilakukan secara terbuka dan transparan. "Apa sih, hanya tes kaya gini saja," kata Jokowi. "Saya itu kan perlu evaluasi, saya enggak kenal semuanya."

Menurut mantan Walikota Solo itu, program lelang jabatan camat dan lurah merupakan cara terbaik untuk menempatkan orang-orang berkualitas sebagai pimpinan di wilayah kecamatan dan kelurahan. "Ini reformasi birokrasi, bagaimana saya bisa ngerti kalau tidak di-assessment, uji kompetisi dilakukan, uji publik, ini kan terbuka. Kenapa harus takut?" ucap Jokowi. Jokowi menduga Mulyadi tak siap berkompetisi. Dan bisa diartikan sudah tidak siap kerja. Semestinya, kata Jokowi, kalau memang Mulyadi seorang PNS yang loyal dan siap bekerja, maka tak perlu takut dengan kebijakan lelang jabatan. "Kalau memang dia siap melayani, kalau memang dia siap untuk bekerja, diadu dengan siapa pun harusnya berani-berani saja, kenapa harus takut," katanya.

Mengenai alasan Mulyadi yang menganggap Lelang jabatan melanggar SK Gubernur dalam peraturan menteri dalam negeri (Permendagri), Jokowi mengaku tak mau menghiraukan alasan tersebut dan menganggap alasan tersebut terlalu mengada-ada. "Masalah-masalah kayak gitu, disebut melanggar SK-lah, melanggar apalah. Saya itu yang gitu-gitu sudah gak masuklah. Ini langkah awal reformasi birokrasi," ujar Jokowi.

Soal dukungan warga kepada Mulyadi, Jokowi memberikan apresiasi. Bagi Jokowi, yang namanya lurah itu harus didukung. warga itu harus mendukung lurahnya. "Yang benar seperti itu," tutup Jokowi. Jokowi masih memuji, tapi apakah pujian itu akan berakhir pemecatan? Perlawanan dari Warakas ke Balaikota belum berakhir. (Ism)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.