Sukses

Menko Polkam: Pemberontakan OPM Sudah Tamat

Sebanyak 42 anggota OPM dan pimpinannya menyerahkan diri dan menyatakan bergabung dengan NKRI di Papua. Fakta ini dianggap Menko Polkam sebagai akhir riwayat pemberontakan OPM.

Liputan6.com, Jakarta: Selain Nanggroe Aceh Darussalam, gerakan separatis sempat pula tumbuh subur di Papua. Di Bumi Cenderawasih itulah, sejak 1965, pemerintah Indonesia direpotkan oleh pemberontakan bernama Organisasi Papua Merdeka (OPM). Namun, ada perkembangan yang cukup melegakan. Kabar ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta, belum lama berselang.

Menko Polkam mengungkapkan, 42 anggota OPM dan pimpinannya menyerahkan diri dan menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka juga menyerahkan sejumlah senjata api dan tajam. Menurut Yudhoyono, fakta tersebut sekaligus menunjukkan adanya upaya menyelesaikan konflik di Papua secara damai. Dengan demikian, pemerintah menganggap pemberontakan OPM telah selesai. Selanjutnya, tambah Yudhoyono, pemerintah terus mengintensifkan dialog dengan masyarakat Papua. Terutama untuk membicarakan implementasi tuntutan otonomi khusus sebagai solusi penyelesaian konflik.

Seperti dilansir Kantor Berita Antara, kemarin sekitar pukul 10.45 WIT, Gubernur Papua Yaap Salossa menerima 42 anggota Tentara Pembebasan Organisasi Papua Merdeka (TPN OPM) pimpinan Kolonel Bernardus Papiri di Aula Markas Kepolisian Daerah Papua. Ke-42 eks TPN OPM yang menyatakan kembali ke pangkuan ibu pertiwi itu sebelumnya beroperasi di Kecamatan Genyem, Denta, dan Sarni.

Sedangkan kontak senjata antara TNI dan OPM terakhir dilaporkan terjadi di Distrik Tiom, Kabupaten Jayawijaya, Papua, selama dua hari pada pertengahan Mei silam. Insiden ini menewaskan dua orang anggota OPM [baca: Baku Tembak TNI-OPM di Jayawijaya, Dua Tewas]. Pertempuran itu diduga berkaitan erat dengan upaya pembersihan yang dilakukan jajaran TNI untuk mengejar pembobol gudang senjata 4 April silam [baca: OPM Membobol Gudang Senjata Kodim Wamena]. Ketika itu, tentara pembebasan nasional Papua Merdeka berhasil menggondol tujuh pucuk senjata terdiri dari lima pucuk M-16 dan satu jenis SP2.

Seperti diketahui, gerakan separatis di Papua dimulai sejak 1961. Saat itu, Lodevik Mandacan memimpin suatu perlawanan terhadap Indonesia di Manokwari, atau disebut pemberontakan Mandacan. Para pengikut Mandacan kemudian mengobarkan perang gerilya yang akhirnya disebut Organisasi Papua Merdeka (OPM). Namun, pemberontakan OPM secara resmi dikibarkan oleh Serma Permenas Ferry Awom sekitar tahun 1965.

Padahal, menurut hasil Konferensi Meja Bundar pada 1949, semua daerah jajahan Belanda dikembalikan kepada Indonesia. Atas dasar itulah, tahun 1961, di hadapan ratusan masyarakat Biak, Presiden Soekarno secara transparan mengajak warga Papua bergabung dengan Indonesia. Ketika itu tokoh sentral Biak, Frans Kaisiepo, bersama beberapa tokoh lain dipilih Bung Karno menjalankan berbagai misi penggabungan Irian Barat ke dalam negara RI.

Namun, perjuangan RI merebut kembali Irian Barat sangat tak mudah. Selain melalui jalur diplomasi, Presiden Soekarno sempat mengobarkan Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk membebaskan Irian Barat dari tangan Belanda pada 19 Desember 1961. Langkah militer yang pertama adalah pembentukan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat, 2 Januari 1962. Brigadir Jenderal Soeharto--mantan presiden RI--menjadi Panglima Komando Mandala.

Dalam rentang Maret dan Agustus 1962, Indonesia menggencarkan serangkaian operasi pendaratan pasukan, melalui laut dan udara. Pihak Indonesia juga merencanakan serangan besar-besaran ke Irian, dengan nama Operasi Jayawijaya. Namun, sebelum Operasi Jayawijaya benar-benar dilaksanakan, tercapai kesepakatan antara Indonesia-Belanda di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, 15 Agustus 1962. Kedua pihak sepakat, pengembalian Irian akan ditetapkan berdasarkan Resolusi PBB yang dikenal sebagai Perjanjian New York (New York Agreement).

Perjanjian ini intinya berisi, Belanda menyerahkan Irian melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Kesepakatan New York ini juga mengamanatkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang ditawarkan kepada penduduk setempat. Mereka diminta memilih antara tetap berada dalam NKRI atau berpisah. Akhirnya, sejak 14 Juli hingga 2 Agustus 1969, Pepera dilangsungkan. Hasil Pepera menyatakan bahwa rakyat Irian Barat memilih bergabung dengan NKRI. Ini kemudian disahkan PBB pada 19 November 1969 melalui Resolusi PBB Nomor 2504.

Kendati Irian Barat yang kemudian disebut Irianjaya telah resmi kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, pemberontakan OPM tak serta merta padam. Bahkan, pemerintah Orde Baru sempat menerapkan Daerah Opersi Militer di Irianjaya. Setelah 20 tahun diberlakukan, DOM di Irianjaya akhirnya dicabut pada 5 Oktober 1998.

Di era reformasi, ternyata soal separatis masih membelit Bumi Cenderawasih. Terinspirasi oleh jajak pendapat di Timor Timur--30 Agustus 1999--sejumlah pemuka Irianjaya mulai mencetuskan deklarasi kemerdekaan Papua yang berlangsung di kediaman Theys Hiyo Eluay pada 12 November 1999. Mereka pun mendirikan Presidium Dewan Papua (PDP). Namun, tak seperti OPM, PDP justru berjuang melalui jalur diplomatik atau dialog.

Akan tetapi, 10 November 2001, Ketua PDP Theys ditemukan tewas di kawasan Koya, sekitar 25 kilometer luar kota Jayapura [baca: Theys Tewas]. Setelah Theys meninggal dunia, tingkat diplomasi dan lobi-lobi dipercayakan kepada Tom Beanal (wakil ketua PDP), Willy Mandowen (moderator PDP), dan Thoha Al Hamid (Sekretaris Jenderal PDP).(ANS/Adhar Hakim dan Yudhi Wibowo)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.