Sukses

VIDEO: Perempuan Batu dari Banjarnegara

Mimpi RA Kartini, pelopor gerakan emansipasi wanita yang hidup di abad 19 rupanya tak pernah betul-betul jadi kenyataan yang manis.

Habis gelap tetap saja gelap. Tak seperti kumpulan surat RA Kartini yang terkenal dengan gairah habis gelap terbitlah terang, sesungguhnya cahaya memang tak pernah singgah di Desa Giri Tirta, Kecamatan Pejawaran, Banjarnegara, Jawa Tengah.

Mimpi Kartini, pelopor gerakan emansipasi wanita yang hidup di abad 19 rupanya tak pernah betul-betul jadi kenyataan yang manis.

Di desa ini, cerita tentang emansipasi kaum hawa seperti tumbuh salah kaprah. Andai Kartini masih hidup, boleh jadi dia tak akan pernah bisa tidur lantaran sebagian besar perempuan Giri Tirta harus menelan nasib sebagai buruh pemecah batu.

Alasan klise nomor 1 sudah tentu menjadi latar belakang. Kemiskinan yang mengakar, memicu mereka untuk rela bergelut di dunia kasar yang lazimnya diemban para lelaki jagoan.

Tapi pekerjaan ini telah hidup bertahun-tahun. Keanehan yang tak lagi ajaib dan mengherankan, sehingga adalah biasa sudah para ibu di sini bergelut dengan pecahan-pecahan koral.

Komari adalah satu dari banyak contoh. Perempuan ini sudah mengabdikan diri di dunia bebatuan koral sejak 4 tahun silam. Komari adalah simbol penyamarataan derajat yang ironis. Kata terpaksa tak lagi masuk kantong, karena rutinitas yang dia jalani memang semata-mata untuk kebutuhan dapur. Ditambah lagi suaminya tak berdaya terserang stroke.

Komari-komari lain juga sama saja dengan sejuta macam alasan. Suatu kenyataan yang hanya menabalkan Banjarnegara memang gudangnya perempuan tahan banting, predikat yang telah terekam ratusan tahun silam.

Sebagai bagian dari tanah Mataram yang wilayahnya jauh dari pusat pemerintahan, Keranton, Banjarnegara memang mewarisi sisi heroik dan kegigihan para perempuan.

Desa Tak Terurus

Meski menyimpan kekayaan alam melimpah, Giri Tirta adalah potret desa tak terurus. Satu dari sekian banyak desa terbelakang yang menjadi korban omong kosong semangat pemerataan pembangunan.

Cukup mudah menemukan penduduk Giri Tirta menyantap tiwul. Sulit setengah mati menemukan warga di sini punya kehidupan yang wah. Berkah kesuburan tanah dan limpahan koral di lereng-lereng gunung, hanya menempatkan lelaki dan perempuan di sini sebagai kaum proletar.

Memang kondisi ini membuat mereka punya 2 mata penghasilan, berladang dan pemecah batu. Tapi, itu tak serta merta membuat mereka makmur. Upah sebagai buruh tani atau kuli pemecah bebatuan tak lebih dari Rp sepuluh ribu per hari.

Andai bebatuan di Giri Tirta bisa bicara, boleh jadi kaum perempuan akan mereka larang bekerja. Tapi kemiskinan memang sudah mendarah daging. Suami dan istri harus bekerja sama agar kebutuhan hidup terpenuhi. Maka bukan hal aneh jika tak cuma lelaki yang mencari nafkah. Nyaris perempuan di Giri Tirta adalah pengangkut atau pemecah bebatuan gunung.

Komari paham betul beratnya hidup di Giri Tirta. Tiap pagi buta, sebelum berangkat ke lumbung limbah-limbah koral, Komari tetap melakoni kodratnya sebagai konco wingking yang harus siap dengan segala tetek bengek urusan dapur sumur dan kasur.

Stroke yang menyerang suami, tak membuat Komari menyerah. Tak ada waktu bagi Komari untuk merutukki nasib. Tak ada pilihan bagi Komari selain menggantikan tugas suami.

Komari mulai jalan ngambilin batu hingga mecahin batu setiap hari dan mengangkut batu 8 kali. Sekali pikul, dia bisa dapat 35 kilogram. Napas senjanya di usia 60-an tak menyurutkan tekad Komari.

Biasanya, pemborong membeli bebatuan yang telah menjadi kerikil. Itulah sebabnya habis memikul, Komari tak lantas bisa leha-leha. (Frd)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini