Sukses

KPAI Sesalkan Penundaan UN di 11 Provinsi

KPAI menyatakan penundaan UN membuktikan mismanajemen pemerintah di bidang pendidikan dan kekerasan struktural yang dilakukan negara.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan kekecewaannya terhadap penundaan penyelengara Ujian Nasional di 11 provinsi akibat tidak tersedianya soal UN. Hal ini mengakibatkan jutaan siswa tidak bisa mengikuti UN yang sedianya dimulai hari ini.

Ketua KPAI Badriyah Fayumi mengatakan kejadian ini menunjukkan adanya mismanajemen UN. Menurutnya dengan ditundanya penyelanggaraan UN itu akan berdampak kepada anak.

"Kita belum mendengar kebijakan Kemendiknas ya, tetapi dari sisi perlindungan anak, kalau UN susulan dilakukan dengan format yang sama itu sudah dengan sendirinya terjadi kebocoran karena mismanajemen. Ini tidak baik, baik bagi siswa yang sudah ikut duluan dan yang belum," ungkap Badriyah di kantor KPAI, Menteng, Jakarta, Senin (15/4/2013).

"Yang (ujian nasional) belakangan yang sebetulnya bisa mengikuti, bisa saja dianggap dapat bocoran. Ini anak dalam posisi yang dirugikan," imbuh Badriyah.

Ia menegaskan seyogyanya semua anak harus mendapat perlakuan yang tidak diskriminatif. Kalau ujian ya ujian. Kalau yang salah itu manajemen UN maka pihak manajemen UN yg harus memperbaiki. Tapi kalau ujian susulan harus soal yang baru.

"Kalau soal ujian yang itu-itu juga, nanti anak terstigma, ya enak dapat bocoran dan yang duluan merasa iri karena yang belakangan dapat bocoran," imbuh Badriyah.

Ia mengimbau dengan kejadian ini saatnya Kemendiknas selaku penyelenggara untuk berpikir bahwa UN itu tidak perlu diberlakukan lagi sebagai penentu kelulusan. Pasalnya, menimbulkan ketegangan dan ketertekanan massal. Tidak hanya siswa sekolah tapi juga kepala sekolah.

"Kepsek tertekan karena ditekan siswanya, kepala dinasnya. Untuk siswanya harus lulus semua dan seterusnya. Begitu juga kepala dinas ditekan kepala derahnya. Jadi menurut saya ini sudah ke pencitraan pemerintah sendiri, baik pusat maupun pencitraan pemdanya," ungkap dia.

Ia menjelaskan salah satu solusi dikembalikan ke Sisdiknas. Dan diperlukan evaluasi secara nasional yang dilakukan oleh satu badan tersendiri untuk mengukur tingkat pencapaian pendidik nasional.

"Tetapi ini bentuknya malah UN seperti ini. Kalau bagi KPAI, UN itu mengukur anak sesuai kemampuan. Bukan mengukur sesuai kemauan negara. Karena setiap anak mempunyai kelebihan yang berbeda, misal di matematika tertinggal, tapi di bidang musik dia bagus," jelas Badriyah.

"Kemudian dia harus tidak lulus karena tidak bisa matematika. Selain itu proses pendidikan dan layanan berbeda-beda antara satu sekolah dengan sekolah lain. Kemudian standar IQ (intelligence quotient) anak juga berbeda-beda, kemudian anak harus dihadapkan sesuatu yang sama, itu ketidakadilan," tambah Badriyah.

Ia menegaskan UN di negara ini, menurut penilaian KPAI sebagai kekerasan struktural yang dilakukan negara.(Adi)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini