Sukses

Ritual Nyangku di Bumi Panjalu

Setiap bulan Maulud, di Desa Panjalu digelar prosesi Nyangku, memandikan benda-benda pusaka. Satu di antara benda pusaka itu adalah pedang Khalifah Ali bin Abi Thalib.

Liputan6.com, Ciamis: Pagi datang menguak gelap, di sebuah danau keramat di Desa Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Alam kembali memutar siklus kehidupan di pucuk pedesaan Tanah Pasundan. Situ Lengkong, demikian dunia kecil ini disebut, adalah sebuah danau, tempat semua makluk bisa hidup selaras dalam ekositem yang tak pernah terganggu. Di sini pepohonan dan binatang hidup bebas tanpa terusik tangan-tangan jahil manusia. Sebuah fenomena luar biasa di tengah rusaknya sebagian besar belahan bumi oleh keserakahan.

Warga Desa Panjalu memang tak pernah berani mengusik kelestarian alam Situ Lengkong. Mereka memanfaatkan ala kadarnya melalui sebuah rapat adat yang ketat. Bagi mereka, ini adalah danau keramat, yang muncul bukan karena proses alam, namun karena kesaktian seorang leluhur di masa silam, Prabu Borosngora.

Syahdan, ketika masih menjadi putra mahkota, Borosngora berkelana ke tanah Arab untuk mendapatkan ilmu sejati. Saat pulang ia membawa dua buah benda pusaka: pedang Sayidina Ali dan semangkuk air zamzam. Air zamzam itu dia tuangkan ke tanah keraton. Ajaib, seketika di sekeliling keraton menjelma danau yang kemudian disebut Situ Lengkong itu.

Kini, Kerajaan Panjalu hanya tinggal kenangan sejarah. Panjalu pun telah berubah menjadi nama sebuah desa dan kecamatan. Tapi legenda Prabu Borosngorah kini telah menarik minat datangnya ratusan pengunjung untuk berziarah. Bagi mereka, kisah Prabu Borosngora tentu bukanlah sekadar mitos atau dongeng pengantar tidur. Karena itu, bagi mereka, adalah suatu keharusan untuk menghormati dan mengkeramatkan Borosngora, setidaknya pada jasanya yang telah membawa masuk ajaran Islam ke tanah Panjalu.

Dan saat bulan Maulud tiba, penghormatan itu pun akan mereka wujudkan dalam sebuah prosesi yang mereka sebut Nyangku--sebuah upacara yang dilakukan dengan cara memandikan beberapa pusaka Panjalu, termasuk pedang Sayidina Ali. Upacara ini menjadi agenda rutin setiap tanggal 24 bulan Maulud.

Saban tanggal itu tiba, kesibukan mulai terlihat di Desa Panjalu, pertanda upacara Nyangku akan digelar. Hampir semua warga Panjalu terlibat dalam prosesi besar. Para warga pun berkumpul di bumi alit, tempat pusaka raja-raja Panjalu disimpan. Agar lancar, para pupuhu atau sesepuh Panjalu telah mengatur warga dalam beberapa kelompok. Para pemuda bertugas sebagai tenaga jagabaya untuk mengamankan jalannya prosesi. Sedangkan kaum ibu sebagai pembawa air suci yang akan diambil dari sembilan mata air--simbol sembilan raja yang pernah menjadi pemimpin Panjalu.

Pusat segala prosesi ini berada pada keturunan langsung raja-raja Panjalu. Merekalah yang bertugas membawa benda-benda pusaka yang akan dibersihkan. Menjelang siang, upacara pengambilan benda-benda pusaka mulai dilakukan. Dalam sebuah ruangan khusus, juru kunci bumi alit memimpin jalannya prosesi. Sang juru kunci alias kuncen sebenarnya tak termasuk keturunan langsung raja-raja Panjalu. Namun jabatan sebagai penjaga benda-benda pusaka Panjalu, diperolehnya secara turun-temurun. Di antara pusaka ini ada sebuah pusaka yang dianggap paling keramat, yakni pedang Sayidina Ali. Sebuah pedang yang konon dibawa Borosngora dari tanah Arab, pemberian Khalifah Ali bin Abi Thalib.

Selepas pembacaan doa, giliran para pangais atawa pembawa benda pusaka bekerja. Mereka khusus dipilih dari lingkar kerabat keturunan raja-raja Panjalu. Dalam sebuah rombongan besar, pusaka-pusaka ini diarak ke Situ Lengkong dan dimandikan di balai desa.

Dan puncak acara Nyangku pun dimulai. Dalam iringan musik gembyung, benda-benda pusaka diarak menyusuri jalan desa untuk dibawa ke pemandian. Prosesi diawali pembawa dupa, diikuti para keturunan Borosngora sebagai pembawa pusaka atau pangais. Bagi masyarakat Panjalu, arakan ini bukan sekadar tontonan. Prosesi yang kental dengan nuansa Islami ini juga penuh dengan makna-makna simbolik tentang kematian dan ketidaklanggengan kehidupan. Itu ditunjukkan melalui sosok pangais yang membawa pusaka dengan cara seperti menggendong sesosok mayat.

Tak berapa lama arakan tiba di Situ Lengkong dan peserta upacara pun menyeberang ke Pulau Nusa Gede. Di pulau yang diyakini sebagai bekas pusat pemerintahan Panjalu ini, doa kembali dipanjatkan. Mereka memohon kepada Yang Maha Asih untuk mengampunkan dosa-dosa nenek moyang. Salawat kembali didengungkan untuk mengiringi pusaka yang akan dimandikan di sebuah panggung. Layaknya jenazah manusia yang meninggal dunia, pusaka-pusaka yang dibungkus kain mori ini dibuka ikatannya untuk segera dimandikan.

Inilah sebuah momen setiap tahun, saat warga Desa Panjalu dapat melihat langsung benda-benda pusaka warisan leluhur mereka dalam bentuknya yang asli. Satu demi satu pusaka-pusaka keramat ini dimandikan. Namun kehebohan terjadi saat Pedang pemberian Sayidina Ali dan kujang milik Sang Hyang Prabu Borosngora dimandikan. Ribuan penonton yang hadir mengelilingi panggung berebut untuk menampung air yang dipakai untuk mencuci pusaka-pusaka tersebut. Sebuah fenomena yang memang terkesan irasional.

Namun, bagi mereka ada sebuah kepercayaan dan keyakinan bahwa apapun yang bersentuhan dengan pusaka-pusaka ini mengandung kedigdayaan untuk memberikan berkah bagi kehidupan mereka. Mereka meyakini bahwa air ini bisa menyembuhkan penyakit dan menolak malapetaka. Ritual Nyangku berakhir menjelang petang. Benda-benda pusaka kembali dibungkus dalam kain mori untuk disimpan lagi di bumi alit. Maulud tahun depan, ritual yang sama akan digelar dan pusaka-pusaka itu akan kembali dimandikan.(RSB/Tim Liputan 6)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.