Sukses

Ironi Orang Bijak Taat Pajak

Pargono Riyadi telah lama diintai KPK dan Direktorat Jenderal Pajak.

Satu lagi pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan tersandung hukum. Kali ini menimpa seorang PNS pada Direktorat Pajak Jakarta. Peristiwa ini terjadi di tengah gencarnya masyarakat membayar pajak tahunannya. Ironi.

Pargono Riyadi SE, tertangkap tangan KPK saat sedang menerima sebuah bungkusan di lorong pintu selatan Stasiun Gambir. Saat dibuka KPK, bungkusan itu berisi uang pecahan Rp 100 ribu, jumlahnya Rp 125 juta.

Bungkusan itu diterima Pargono dari seorang yang diduga kurir, Rukimin Tjahjanto. "Mereka berdua janjian. Ketemu dari dua sisi yang beda, yang satu dari parkiran yang satu sudah di dalam stasiun. Ketemu di satu titk di lorong Pintu Selatan Gambir. Keduanya ketemu langsung kasih tas, langsung pergi dengan arah berbeda," kata Juru Bicara KPK, Johan Budi SP. (Baca kronologi penangkapan di sini)

Tim KPK pun langsung membawa keduanya ke Gedung KPK. Rukimin dan Pargono tiba di Gedung KPK pada Selasa (9/4) sekitar pukul 17.26. Rukimin tiba dengan tangan terborgol, sedangkan Pargono menutupi mukanya.

Tim KPK tak berhenti di situ. Satu tim mengejar seorang lagi di daerah Depok. Sekitar pukul 18.10, seorang pria mengenakan kaos putih mendatangi KPK dengan menutupi mukanya. Belakangan pria itu diketahui bernama Asep Hendro. Dia adalah seorang mantan pembalap nasional yang kini mengelola sebuah perusahaan otommotif yang dinamakan Asep Hendro Racing Sport.

Tak hanya itu, KPK pun sempat menjemput 2 orang lainnya dari lokasi berbeda. Total ada 5 orang yang diamankan KPK.

Setelah menjalani pemeriksaan hampir 24 jam, KPK akhirnya menyimpulkan untuk memulangkan 4 orang, termasuk Asep Hendro. Sedangkan Pargono harus menginap di Rutan KPK.

KPK beralasan, Asep dan 3 rekannya dibebaskan karena tidak terbukti menyuap Pargono. "AH (Asep Hendro) sudah membayar pajak sesuai dengan yang ditentukan. Tapi PR (Pargono Riyadi) memeras AH seolah-olah pembayaran AH bermasalah," jelas Johan.

Akibat perbuatannya, Pargono dijerat dengan Pasal 12 huruf e atau Pasal 23 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 421 KUHP.


Diintai Sejak Lama

Tindakan Pargono yang melakukan pemerasan terhadap wajib pajak ini ternyata sudah diendus bos-bosnya di Direktorat Jenderal Pajak. "Kami memang sudah mengawasi sejak beberapa waktu lalu dan karena kami bekerja sama dengan KPK, semua langsung diproses KPK," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kismantoro Petrus.

Bahkan, Dirjen Pajak Fuad Rahmany, tidak menyangsikan kemungkinan adanya komplotan yang diduga menyalahgunakan wewenang di dalam lembaganya. Namun ia memastikan pihaknya akan kooperatif dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar kasus PR tidak terulang.

"Memang ada komplotan-komplotan kecil tapi kita lawan terus. Itu saja yang penting," katanya Rabu (10/4/2013).

Mantan Kepala Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) memastikan pihaknya akan terus berkomitmen melakukan pencegahan dan penindakan tegas terhadap segala bentuk penyalahgunaan wewenang.

Menyusul penangkapan tersebut, Dirjen Pajak memberikan sanksi pemecatan. Pemecatan tidak dengan hormat kepada Pargono diharapkan menimbulkan efek jera.

Untuk memastikan lembaganya bersih dari koruptor, Dirjen Pajak menegaskan akan kembali lakukan investigasi secara perorangan, dan bukan secara kelembagaan, bersama KPK.

"Iya investigasi. Tapi tak bisa kelembagaan. Ini kan orang perorangan. Kalau lembaganya, lembaga yang bagus. Terbukti tahun lalu Jakarta Pusat itu bisa mencapai target," kata dia.

Kismantoro menambahkan, terkuaknya tindakan korupsi yang dilakukan Pargono ini berkat diperketatnya sistem pengawasan internal di Ditjen Pajak yang disebut whistle blowing system.

Saat ini, setiap pegawai pajak tidak hanya diawasi oleh atasannya, tapi juga rekan sejawat dan bawahannya. "Kami memang sudah mengawasi sejak beberapa waktu lalu dan karena kami bekerja sama dengan KPK, semua langsung diproses KPK." katanya.

Dia menuturkan pihaknya terus berkomitmen melakukan pencegahan dan penindakan terhadap segala bentuk penyalahgunaan wewenang. Proses penangkapan ini merupakan konsekuensi logis dari proses reformasi di Ditjen Pajak.


Aktor-aktor Pajak Tersandung Hukum

Kasus tertangkapnya Pargono ini seperti mengulang kasus-kasus orang pajak sebelumnya. Ditjen Pajak harus kembali menelan pil pahit atas tingkah polah pegawainya.

Menilai jauh ke belakang, kasus suap di jajaran pegawai pajak belum sepenuhnya sirna. Instansi yang menampung dana dari masyarakat ini terus menjadi sorotan manakala muncul kasus suap maupun penggelepan pajak.

Dari penelusuran Liputan6.com, Rabu (10/4/2013), berikut adalah kasus-kasus suap yang melibatkan oknum pegawai di lingkungan pajak:

1. Gayus Tambunan

Kasus yang melibatkan alumnus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN)tahun 2000 ini mungkin yang paling menghebohkan masyarakat. Pria dengan jabatan terakhir sebagai penelaan keberatan Ditjen Pajak ini diduga menerima gratifikasi dan suap namun tak dilaporkan ke KPK dan justru disimpan di safe deposit box Bank Mandiri.

Nilainya tak kecil, yaitu mencapai Rp 74 miliar.

Menurut jaksa, Gayus menempatkan harga kekayaan sebesar US$ 659,8 ribu dan Sing$ 9,68 juta yang diduga hasil tindak pidana ke penyedia jasa keuangan.

Gayus diketahui terlibat kasus suap Kepala Rutan Mako Brimbo dan juga paspol palsu. Pria kelahiran Mei 1979 ini juga diketahui terlibat dalam perkara penggelapan pajak PT Megah Citra Raya.

2. Bahasyim Assafii

Oknum pajak yang juga kedapatan melakukan tindak pidana korupsi adalah Bahasyim Assafii. Pria kelahiran Juni 1952 ini pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta VII.

Sejak 2005, Bahasyim diketahui memiliki uang Rp 30 miliar. Uang itu ditabungnya di BNI dan dikelola sehingga bisa menggelembung menjadi Rp 64 miliar.

Pada April 2010, Dirkrimsus Polda Metro Jaya menetapkan Bahasyim sebagai tersangka dan ditahan setelah 11 jam diperiksa. Penyidik menemukan 47 transaksi keuangan mencurigakan di rekening Bahasyim.

Aparat kepoliian kemudian memblokir uang milik anak dan instri Bahasyim di BCA dan BNI. Dari temuan diketahui ada transaksi mencapai Rp 35 miliar ditambah US$ 1 juta. Di rekening dua putrinya ditemukan dana Rp 19 miliar dan Rp 2,1 miliar.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan transaksi mencurigakan Bahasyim terdeteksi sejak 1998. Temuan lainnya di 2004 hingga 2008.

3. Dhana Widyatmika

PNS Golongan IIIC ini menjabat posisi terakhir sebagai Staf Unit Pajak Kecamatan Setiabudhi, Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta. PPATK menemukan angka mencurigakan dari rekening Dhana.

Kasus Dhana bermulai ketika seorang pegawai bank melaporkan ke PPATK ada pegawai pajak yang sedang menarik dana hingga miliar rupiah. Dari kecurigaan ini, PPATK dan Kejaksaan melakukan penelusuran setelah ditemukan adanya 28 rekening dengan isi yang berbeda-beda.

Dari laporan harta kekayaan, KPK melansir Dhana memiliki kekayaan berupa harta tak bergerak berjumlah Rp 686,72 juta. Aset tersebut berupa tanah seluas 125m2 di Depok senilai Rp 108,34 juta dan tanah dan bangunan warisan 300 m2 dan 100 m2 di Jakarta Timur senilai Rp 576,32 juta.

Dhana juga diketahui memiliki harta bergerak senilai Rp 165 juta serta harta bergerak lainnya senilai Rp 57,32 juta. Kekayaan lain berupa surat berharga Rp 312,12 juta, giro dan setara kas Rp 10,47 juta.

Sementara kekayaan Dhana menurut versi Kejagung diantara berupa mobil Daimler Chrysler, rumah mewah di Cipinang Melayu, Makasar, Jakarta Timur, Showroom jual beli truk bekas, serta minimarket.

4. Tommy Hidratmo

Kasus terakhir dugaan suap atau korupsi yang melibatkan pegawai pajak dilakukan oleh pegawai nonaktif Kantor Pelayanan Pajak Sidoarjo Selatan, Jakarta Timur, Tommy Hindratno.

Tony divonis bersalah karena menerima uang Rp 280 juta dari Komisaris Independen PT Bhakti Investasi Tbk. Uang itu merupakan imbalan membantu konsultasi pengembalian pajak lebih bayar perusahaan sebesar Rp 3,4 miliar.

Tommy yang dibantu 3 rekannya, sebetulnya bakal menerima uang sebesar Rp 340 juta. Dana sebesar Rp 280 juta yang ditangkap tangan KPK itu merupakan pembayaran fee tahap pertama. (Ary)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini