Sukses

Kutu Loncat, 'Hama' Politik Jelang Pemilu

Layaknya padi yang akan panen, hama politik mulai menyerang. Adalah, politisi kutu loncat.

Satu tahun lagi, tepatnya pada 9 April 2014, rakyat Indonesia berpesta demokrasi. Layaknya padi yang akan panen, 'hama' politik mulai menyerang. Adalah, politisi kutu loncat.

Fenomena politisi kutu loncat atau pindah dari satu partai politik (parpol) ke parpol lain, bukan hal baru. Hampir setiap pemilu, politisi kutu loncat selalu menghinggapi parpol.

Jelang Pemilu 2014 ini, sejumlah nama politisi berpindah parpol. Yang pertama adalah Akbar Faisal. Mantan politisi Partai Demokrat yang menjadi anggota DPR dari Fraksi Partai Hanura ini, kini menjadi salah satu Ketua Bidang di DPP Partai Nasdem. Akbar yang telah menyatakan diri secara resmi mundur dari anggota DPR, dan mundur dari Partai Hanura pada Jumat 8 Februari lalu mengaku jenuh di duduk di Senayan.

Meski begitu, ia menyatakan tidak takut disebut sebagai kutu loncat. "Kalau hanya melihat satu pandangan, itulah, pindah-pindah, waktu di Demokrat saja jadi ketua pemuda, tapi saya tidak dianggap," ujarnya.

Jejak Akbar diikuti mantan politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mukhamad Misbakhun yang beralih ke Partai Golkar. Menurutnya, jadi politisi kutu loncat adalah pilihan politik pribadi dengan banyak pertimbangan dan alasan. Misbakhun mengaku sudah mengikuti proses orientasi sebagai fungsionaris Partai Golkar.

Misbakhun menegaskan, pengabdian untuk masyarakat bisa melalui banyak cara dan jalan. Begitu juga atas pilihan melalui partai politik mana yang harus dipilih untuk melakukan tugas pengabdian ke masyarakat.

"Dalam sejarah politik Indonesia, Partai Golkar sudah mempunyai sejarah panjang pengabdiannya bagi bangsa Indonesia dan sudah teruji secara struktural di masyarakat. Saya ingin menjadi bagian dari sejarah cemerlang Partai Golkar di masa yang akan datang untuk membangun bangsa dan negara," kata dia.

Selain Misbakhun, politisi PKS lain yang pindah partai adalah Yusuf Supendi. Pendiri Partai Keadilan (sekarang Partai Keadilan Sejahtera) itu mendaftar jadi calon anggota legislatif (caleg) dari Partai Hanura untuk daerah pemilihan Bogor, Jawa Barat. Yusuf mengaku bergabung ke partai pimpinan Jenderal TNI Purn Wiranto sejak Maret lalu. Keputusan itu diambil setelah ada komunikasi dengan Wiranto.

Yusuf mengaku tak sendirian bergabung ke Hanura. Sejumlah kader PKS juga dia ajak bergabung ke partai bernomor urut 10 itu. "Saya membawa sekitar 10 orang caleg. Pertama dapil Aceh, 2 orang caleg Jabar, salah satunya merupakan aktivis PKS dan punya pengalaman 2009," ucap Yusuf.

Tak lama setelah Yusuf bergabung ke Hanura, Lily Wahid juga memutuskan melanjutkan karier politiknya ke partai yang kini dihuni bos MNC Hary Tanoesoedibjo itu, setelah dipecat dari PKB. Adik Gus Dur itu mengaku memiliki kesamaan visi-misi dengan Hanura. Salah satu hal yang akan segera diperjuangkannya bersama Hanura adalah memberantas korupsi.

"Karena kepentingan Indonesia, makanya saya mau bergabung dengan Hanura pimpinan Pak Wiranto. Musuh kita cuma satu yaitu korupsi, dan ini yang harus kita lawan bersama," imbuh Lily.

Setali dua uang, politisi yang juga dipecat PKB Effendi Choirie atau akrab disapa Gus Choi, secara resmi juga telah bergabung dengan Partai Nasdem. Politisi yang enggan disebut sebagai kutu loncat itu menyatakan, alasan kepindahannya adalah persamaan visi dengan Nasdem. Dia pun sudah menjadi politisi bebas setelah dipecat dari PKB. "Dan saya di PKB itu berjuang selama 2 tahun untuk mempertahankan diri. Sebenarnya saya gelisah, untuk menyelamatkan PKB," ucap Gus Choi.

Politisi PKB lainnya yang juga loncat ke Partai Nasdem adalah Hermawi Taslim. Ia mengaku mengikuti langkah Gus Choi. Hermawi beralasan, ia bersedia bergabung ke Partai Nasdem karena partai besutan Surya Paloh itu memiliki slogan yang sesuai dengan idealismenya. "Kalau kata Gus Dur, temanya perubahan. Kata Gusdur tidak ada yang abadi selain perubahan. Apalagi kalau Nasdem kan mengusung tema perubahan. Itu yang saya cocok," ujarnya.

Politisi kutu loncat tak hanya dari parpol menengah. Partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu 2009, juga ditinggalkan salah satu kadernya. Adalah Sadewo yang berganti kendaraan politik ke Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Menurut Ketua Fraksi Partai Demokrat, Nurhayati Ali Assegaf kepindahan Sadewo ke partai pimpinan Prabowo Subianto itu sudah santer terdengar di internal Demokrat.

Meski kehilangan satu kadernya, namun Partai Demokrat juga mendapatkan politisi kutu loncat, yakni Yenny Wahid. Walau belum final, ada beberapa alasan mengapa putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur itu melirik partai bentukan Susilo Bambang Yudhoyono itu. "Kesamaan ideologi. Demokrat itu nasionalis-religius. Gus Dur itu mengembangkan nilai-nilai nasional yang berbasis keagamaan. Jadi chemistry-nya sama," kata Sekretaris Jenderal PKBIB yang juga orang dekat Yenny, Imron Rosyadi Hamid dalam perbincangan dengan Liputan6.com.

Selain itu, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) La Ode Ida juga resmi bergabung ke Partai Amanat Nasional (PAN). Alasannya, ia memiliki hubungan batin dengan partai yang dipimpin Hatta Rajasa tersebut. Hubungan batin itu ia rasakan saat pendiri PAN, Amien Rais menggerakkan reformasi. "Waktu itu saya yang bergerak dari Salemba menjatuhkan Pak Harto," kata La Ode.

Pecundang Politik

Pengamat politik Yudi Latif menilai politisi kutu loncat itu bisa dikatakan sebagai pecundang jika hanya mencari uang dan mencari jabatan di partai baru. "Bila itu dilandasi karena uang dan tidak tersalurkannya ambisi di partai lama, maka perpindahan ke tempat yang baru itu bisa dibilang pecundang," kata Direktur Eksekutif Reform Institute itu.

Kutu loncat pecundang, kata Yudi, bisa juga terjadi karena posisi politisi itu telah bertentangan dengan pimpinan partainya yang mengakibatkan tidak tersalurkannya ambisi politiknya di partai yang lama.

Yudi menduga, banyaknya politisi yang hijrah ke partai lain lantaran para politisi tersebut tak mampu bersaing dengan politisi senior yang memiliki jam terbang matang di dunia politik. Karena itu, para politisi yang merasa tidak mampu bersaing untuk mendapatkan posisi tertentu akhirnya berpindah ke partai yang lain dinilai mampu memberikan kesempatan untuk mendapatkan posisi jabatan itu.

Tapi sebaliknya, kata Yudi, bila mereka yang lompat pagar itu berlandaskan untuk memperjuangkan asprasi rakyat, maka itu patut diapresiasi. "Apabila dia ingin memperjuangkan ideologi untuk kepentingan masyarakat dengan berpindah dari patai lamanya ke partai yang baru maka itu bisa diacungi jempol," kata dia.

Sedangkan Wakil Ketua DPR Pramono Anung menganggap, politisi kutu loncat bukanlah contoh demokrasi yang baik. "Ini bukan contoh demokrasi yang baik ya. Dalam periode sekarang ini, kita dipertontonkan. Memang tidak ada aturan yang melarang itu. Ini merupakan hal yang ke depan perlu diatur," ujar mantan Sekjen DPP PDIP itu.

Pramono menilai, saat ini mutasi seolah menjadi hal biasa dan jelek bagi kehidupan demokrasi. Seharusnya mereka belajar dari para senior. "Rasanya tak ada tuh dulu pindah-pindah dan sebagainya. Karena memang orang itu terjun dalam dunia politik memilih sebuah partai karena keyakinan atau ideologi yang melekat dalam dirinya. Bukan karena faktor-faktor yang katakanlah dia mendapatkan jabatan, kesempatan dan lainnya," tegasnya.

Aturan KPU Diperketat

Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat syarat ketat untuk bakal caleg DPR, DPRD Provinsi Kabupaten/Kota agar hanya memiliki satu keanggotaan partai politik. Sehingga, nantinya tidak ada lagi bakal calon yang memiliki jabatan ganda, baik berasal dari partai politik maupun pejabat lain.

Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay menjelaskan, bagi anggota parpol lama yang mendaftar sebagai bakal calon dari parpol baru, diharuskan melampirkan surat pernyataan pengunduran diri dari partai asalnya.

"Peraturan yang lama harus ada tandatangan persetujuan pimpinan parpol. Tapi kita cukupkan dia untuk membuat pernyataan telah mundur. Kalau parpol enggak kasih, kasihan juga kan?" ujar Hadar.

Menurut dia, jika ternyata surat pernyataan mundur dari bakal calon adalah palsu dan masih tetap menjadi anggota parpol lama, atau ada laporan masyarakat yang menguatkan pemalsuan, KPU akan memprosesnya. "Ini bisa dilaporkan ke Bawaslu atas dugaan dokumen palsu."

Sementara untuk bacaleg yang sebelumnya menjadi anggota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten atau Kota, Hadar menegaskan, harus membuat surat pernyataan pengunduran diri dari anggota dewan, juga harus mengisi formulir dari KPU yang menyatakan telah berhenti.

"Itu nanti dilampirkan dengan surat keputusan pemberhentian, dan atau dokumen itu masih bisa ditunggu pada masa perbaikan DCS (daftar calon sementara). Kalau SK (surat keputusan) belum keluar bisa digantikan dengan pimpinan dewan atau sekwan yang menyatakan pengunduran diri, dia bisa diterima," paparnya. (Mut)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini