Sukses

Kejanggalan-kejanggalan Penyerangan LP Sleman Versi Idjon Djanbi

Ia membeberkan sejumlah kejanggalan yang mematahkan bahwa pelaku penyerangan lapas itu adalah anggota Kopassus seperti yang selama ini disebu-sebut.

Akun Facebook dengan nama Idjon Djanbi, yang merupakan nama Komandan pertama Kopassus, menuding bahwa pasukan siluman yang menyerang dan menembak 4 tahanan di Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta itu adalah aparat kepolisian. Ia membeberkan sejumlah kejanggalan yang mematahkan bahwa pelaku penyerangan lapas itu adalah anggota Kopassus seperti yang selama ini disebu-sebut.

Berikut sejumlah kejanggalan yang di-posting dalam notes di akun Facebook Idjon Djanbi pada Selasa 2 April 2013:

1. Bripka Juan diinfokan sudah dipecat, ternyata masih aktif. Proses pemecatan Bripka Juan tidak sesuai dengan prosedur dan ini juga harus diperhatikan oleh Tim Investigasi.
 
2. Bripka Juan dan Adi tidak terlibat pengeroyokan Serka Santoso, namun kedua orang ini ditahan dan dijadikan tersangka dan dititipkan ke LP Sleman.
 
3. Saat penyerangan LP Sleman, seluruh CCTV yang memantau lalu lintas dari Yogyakarta hingga Klaten dan Sukoharjo, dalam keadaan tidak menyala, yang memiliki wewenang dalam hal ini adalah Polri, mengapa? agar pelarian pelaku penyerangan di LP Sleman tidak terpantau oleh CCTV.
 
4. Kuat diduga, pelaku penyerangan adalah anggota Polda Yogyakarta yang mencuri kalung salib dan uang Rp 20.000.000 milik Decky, untuk menghilangkan jejak.
 
5. Seluruh korban terlibat kasus narkoba.
 
6.  Bripka Juan dan kawan-kawan sengaja disingkirkan atas pemintaan Kartel Narkoba Yogyakarta. Yang melibatkan anggota dan petinggi Polri.
 
7. Ormas Kotikam ini sudah sering membuat onar dan melakukan kejahatan serta mengedarkan narkoba di Yogyakarta serta pembunuhan:
 
a. Pada Bulan Februari 2013, anggota Ormas Kotikam yang bernama Joko melakukan pengeroyokan terhadap anggota Yonif-403.
 
b. Pada tahun 2012, Ormas Kotikam juga pernah mengeroyok mahasiswa Yogyakarta asal Bali hingga tewas.
 
c. Pernah membunuh warga Papua.
 
8. Media dan Polri mengatakan, pelaku penyerangan LP Sleman masuk dan memberondong korban dengan tembakan, hal ini dilakukan untuk menutupi kejadian yang sebenarnya, bahwa sebelum ditembak korban disiksa terlebih dahulu, dari hasil otopsi dan forensik, terbukti bahwa Bripka Juan disiksa terlebih dahulu, yang mengakibatkan lengan kirinya patah, 2 luka tusuk di dada kanan, dan 1 tusukan di dada kiri. Sedangkan Adi pergelangan tangan kirinya patah. Berarti polisi telah berbohong dan media massa digiring untuk mengalihkan dan membentuk opini publik bahwa bukan polisi pelakunya.
 
9. Ada pemaksaan kehendak dan melampaui wewenang yang tidak sesuai dengan prosedur yang dilakukan oleh Polda Yogyakarta dan Lapas Sleman.
 
10. Saat otopsi, ditubuh ke 4 korban ditemukan 31 proyektil peluru kaliber 7,62 mm, tapi keterangan awal ditemukan 13 selongsong peluru 7,62 mm, bagaimana mungkin 13 menjadi 31? Dan sangat tidak mungkin proyektil 7,62 mm bersarang di tubuh korban, jika demikian 7,5 butir dihujamkan ke setiap 1 korban, sedangkan di tiap korban terdapat 3 luka tembak, sedangkan Dedy 3 tembakan termasuk mengenai mulutnya dari sebelah kiri.
 
11. Adalah bohong ada tahanan yang berteriak "Hidup Kopassus" saat 4 korban di tembak, bagaimana mungkin jika Kopassus melakukan penyerangan, kemudian menunjukkan identitas, ini hanyalah akal-akalan Polda Yogyakarta  untuk mengalihkan perhatian, seolah-olah pelakunya adalah Kopassus. Dan sangat tidak mungkin di tengah orang melakukan pembunuhan Anda berteriak kegirangan.
 
12. Para pelaku penyerangan meledakkan granat, tapi aneh tidak ada pintu maupun jendela yang rusak, apalagi mengenai pelaku, jika benar itu granat, mengapa pintu tidak ada serpihan pecahan granat di pintu? Jika itu bahan peledak, berarti itu adalah C-4, di Indonesia yang memiliki bahan peledak C-4 hanyalah Densus 88.
 
13. Pelaku meledakkan pintu dengan granat, kedengarannya aneh, bagaimana mungkin meledakkan granat dalam ruangan, tapi pecahannya tidak mengenai siapapun? termasuk saksi yang melihat dan mendengar ledakkan.
 
14. Di TKP hanya terdapat 13 selongsong amunisi, sekarang mulai dibuat-buat, seolah-olah terlihat brutal dan sadis, belakangan ditemukan 31 proyektil di tubuh ke 4 korban, teorinya Amerika dipakai, tinggal angkanya di balik. Bertambah lagi kebodohan aparat ini, sama dengan kasus Antasari, sangat aneh dan janggal, senapan amunisi 7,62 mm pelornya bersarang di badan? Jika manusia dijejer 4 orang kemudian ditembakkan dengan senapan AK-47 maka ke 4 orang tersebut akan tembus, jadi, tidak mungkin amunisi kaliber 7,62 MM bersarang di badan.

Terkait kejanggalan-kejanggalan ini, Polri menegaskan tidak akan mengusut kasus 'surat kaleng' atas nama Idjon Djanbi. Polri akan fokus pada perkara penyerangan Lapas Cebongan yang menewaskan 4 tahanan itu. "Kami sedang fokus pada perkaranya," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar di Mabes Polri, Rabu 3 April kemarin.

Menurut Boy, informasi dari dunia maya sangat bervariatif. Siapa saja bisa membangun cerita-cerita dan opini. Karena ini eranya globalisasi informasi. "Siapa saja bisa membuat akun facebook atau twitter. Itu sarana yang efektif untuk membangun opini," jelas Boy kemarin.

Masyarakat juga diimbau pandai-pandai menyaring berita dan informasi, terutama dari dunia maya. Kendati hak masyarakat untuk mengakses segala informasi dari dunia internet. "Tapi apabila ada yang menyesatkan dan mengadu domba, sebaiknya tidak ditanggapi. Itu berbeda dengan proses investigasi yang selalu dirujuk fakta akurat," kata Boy lagi.

Sementara itu, Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jendral Promono Edhie Wibowo mengatakan, aparat TNI memang masih menggunakan peluru kaliber 7,62 mm. "Kaliber 7,62 mm ini tetap kita gunakan untuk hal-hal tertentu," ujar Pramono di Markas Besar Angakat Darat, Jalan Veteran Nomor 5, Jakarta Pusat, Jumat 29 Maret lalu.

Pramono mengatakan, sebenarnya peluru yang biasa digunakan oleh militer khususnya pada infanteri saat ini adalah kaliber 5,56 mm. Adapun peluru kaliber 7,62 mm digunakan pada senjata jenis G3, AK47, ST762. Senjata itu masih digunakan terutama di angkata Darat.

Meski demikian, Pramono mengingatkan, penemuan peluru kaliber 7,62 mm dalam penyerangan Lapas Cebongan tidak ada kaitannya dengan TNI. "Tidak ada kaitannya. Jenis peluru kaliber 7,62 mm ini masih digunakan karena memang senjata untuk jenis peluru itu masih kita gunakan," cetus Pramono.

Penyerangan Lapas Sleman terjadi pada Sabtu 23 Maret sekitar pukul 00.30 WIB. Pelaku diketahui membawa senjata dan mencari 4 tersangka yang ditahan akibat kasus pengeroyokan anggota Kopassus Sertu Santoso hingga tewas. 4 tahanan itu tewas dengan luka tembakan, yakni Dicky Sahetapy, Dedi, Aldi, dan Johan. (Mut)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini