Sukses

Kawin Lari Ala Orang Osing

Masyarakat Osing di Banyuwangi, Jatim, kerap menggelar tradisi Gredoan tepat di malam menjelang Maulid Nabi. Saat itulah, seorang pemuda dapat mencolong gadis pujaan hatinya untuk dinikahkan.

Liputan6.com, Banyuwangi: Kegembiraan terpancar dari sebuah pedusunan di ujung timur Pulau Jawa, tepatnya Dusun Banyuputih, Desa Macanputih, Kabupaten Banyuwangi. Dusun ini adalah satu di antara permukiman masyarakat Osing, komunitas penduduk asli Banyuwangi yang menjalani hidup dan mempertahankan tradisi mereka. Pertengahan Mei silam menjelang tanggal 12 Rabiul Awal 1424 Hijriah, mereka bersiap memperingati tradisi tahunan, Maulid Nabi. Masyarakat Osing mengawali perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW selama dua hari penuh itu dengan pawai obor. Seluruh warga Dusun Banyuputih pun tumpah ruah di pinggiran jalan desa.

Namun, di sela-sela kemeriahan karnaval, sebuah keramaian lain terjadi di kediaman Mastapin, orang Osing asli kelahiran Banyuputih. Keramaian muncul akibat ulah adik Mastapin yang bernama Samsuri. Betapa tidak, tanpa diketahui kalangan keluarga maupun handai taulannya, Samsuri ternyata memanfaatkan kesibukan pesta karnaval untuk mencuri seorang gadis tetangganya. Berita ini pun begitu cepat menyebar. Tak lama berselang, para tetangga bergerombol di depan rumah Samsuri. Mereka semua ingin melihat gadis yang telah dibawa lari Samsuri.

Kawin colong atau kawin lari yang diperbuat Samsuri sebenarnya bukanlah sebuah kisah aneh. Bagi masyarakat Osing, kawin colong adalah bagian dari adat mereka yang dilindungi undang-undang. Tradisi ini biasanya meningkat saat perayaan Maulid Nabi. Apalagi hampir seluruh orang yang bermukim di luar desa maupun luar kota memang menyempatkan diri mengunjungi Banyuputih.

Sebagian dari mereka adalah anggota, sedangkan sisanya warga luar desa yang sengaja datang sebagai pelabot atau tenaga sukarela untuk membantu di rumah-rumah penduduk. Lantaran perayaan kelahiran Rasullah bersifat kolektif, maka para pelabot membantu keluarga yang telah dikenal. Mereka tak menerima upah, kecuali kesempatan bersosialisasi dengan para pemuda. Dari para pelabot inilah, kemudian muncul tradisi Gredoan.

Gredoan hanya terjadi satu malam dalam setahun, yaitu malam menjelang Maulid Nabi atau malam ketika pawai obor digelar. Saat seperti inilah, seorang pemuda diizinkan mengajak seorang gadis pergi keluar rumah melihat karnaval. Bila si gadis bersedia, orang tua tak berhak melarang anak perempuan atau pelabotnya dibawa pergi sang pemuda. Maka, bagi kalangan muda-mudi, kesempatan ini akhirnya menjadi ajang mencari jodoh.

Akan tetapi, kisah Samsuri agak berbeda. Samsuri sebenarnya telah lama berpacaran dengan Kotimah, perempuan yang kini dicurinya. Awalnya, hubungan mereka sulit diteruskan ke jenjang perkawinan mengingat Kotimah masih mondok di sebuah pesantren. Nah, ayah Kotimah, Makih, berkeras tak menikahkan putrinya sebelum selesai mondok. Samsuri jelas kecewa dan tak sabar. Dia pun menggunakan kesempatan malam Gredoan buat melarikan sang pujaan hati.

Kisah pencurian Kotimah tergolong unik. Malam itu, Samsuri bersama temannya, Saiful, mendatangi rumah Kotimah ketika ayah sang kekasih tengah sibuk menerima seorang tamu. Sesuai tradisi Gredoan, mereka kemudian meminta izin masuk dengan menyodorkan sebatang lidi melalui lubang dinding bambu di dapur rumah Kotimah. Jika lidi ditarik empu rumah, itu menjadi pertanda bahwa mereka dibolehkan masuk.

Setelah masuk, Samsuri dan Saiful bergabung dengan Kotimah dan sejumlah pelabot lainnya. Mereka pun bercengkerama. Tak lama berselang, mereka menyelinap pergi. Ternyata, secara diam-diam, Samsuri dan Kotimah membelokkan arah perjalanan menuju kediaman orang tua Samsuri. Mudah ditebak, seisi rumah geger. Bukan apa-apa, soalnya pihak keluarga Samsuri harus segera mengirim colok atau utusan kepada keluarga Kotimah. Terutama untuk menjelaskan masalah tersebut. Bersamaan dengan itu, Kotimah harus disembunyikan di dalam sebuah kamar.

Sesuai tradisi masyarakat Osing, sebelum colok dikirim, orang tua sang gadis berhak berbuat apa saja terhadap lelaki yang dituduh melarikan anaknya. Di sisi lain, bila colok telah dikirimkan, orang tua sang gadis tak berhak bertindak kasar terhadap calon menantunya. Itulah sebabnya, saat menerima colok, keluarga Makih hanya bisa pasrah. Tradisi lama berulang, kini yang menjadi korban adalah dirinya sendiri. Bagi Makih, yang bisa dilakukan hanyalah menentukan yang terbaik buat sang anak yang telah dicuri.

Malam itu juga, Makih menemui anak gadisnya di rumah Samsuri. Di sana, kedua keluarga pun melangsungkan dialog atau negosiasi. Setelah kata sepakat tercapai, Kotimah akan dinikahkan dengan Samsuri segera seusai bulan Maulid. Tapi, selama menunggu waktu pernikahan, Samsuri dilarang berdekatan dengan Kotimah.

Kisah kawin colong Samsuri pun berakhir dengan kebahagiaan. Ketika sang surya mulai menyinari Dusun Banyuputih, sisa-sisa kehebohan tadi malam tak lagi berbekas. Pagi itu, Samsuri, sang pembuat heboh, memulai kegiatan seperti yang biasa dilakukan setiap tanggal 12 Rabiul Awal. Ia menghias sebuah pohon pisang dan menancapkan puluhan kembang telur yang telah dihias dengan kertas warna-warni. Kembang telur adalah bagian tradisi yang tak bisa dilupakan pada setiap perayaan Maulid Nabi di desa-desa orang Osing di Banyuwangi. Hiasan itu terdiri dari sebuah telur rebus yang ditancapkan pada sebatang bambu kering dengan aneka kertas berbentuk bunga.

Bentuk hiasan tersebut dianggap simbol jati diri junjungan mereka, Nabi Muhammad. Telur diibaratkan sebagai dunia, dan Rasullah disimbolkan kembang yang telah membuat dunia berseri karena keindahannya. Setiap tahun, Samsuri memang selalu bertugas mempersiapkan menara kembang telur untuk diarak menuju masjid bersama warga lain yang membawa ancak, bungkusan berisi kue beraneka jenis.

Berbeda dengan acara malam hari, perayaan Maulid Nabi pada pagi hari 12 Rabiul Awal dilaksanakan dalam nuansa yang lebih religius. Warga Banyuputih mengundang tokoh-tokoh masyarakat di berbagai dusun tetangga untuk hadir dan bersama-sama melantunkan doa memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW di masjid desa.

Pada tradisi yang disebut sakralan ini, shalawat nabi dan puji-pujian tak henti-hentinya dikumandangkan demi menghormati kelahiran Muhammad, utusan Sang Penguasa Jagat Raya. Menjelang siang, perayaan tahunan ini usai. Kembang telor dan ancak yang semalaman disiapkan warga Banyuputih dalam ritual Gredoan dibagikan kepada para tamu. Sedangkan sisanya dibagikan kepada para janda, fakir miskin, dan anak terlantar. Pembagian kenduri tersebut menyimbolkan sebuah kebersamaan sosial yang sepenuhnya didasari suri teladan Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan wahyu Illahi bagi keselamatan seluruh umat manusia dan segenap isi alam semesta.(ANS/Budi Prastowo dan Sujatmoko)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini