Sukses

Minuman Maut Itu Bermerek <i>Pinaraci Boulevard</i>

Sekelompok warga Kampung Loyang, Kairagi, Manado, Sulut, asyik mencicipi minuman keras merek Pinaraci Boulevard. Nyawa tiga orang melayang. Minuman maut itu belum ditarik dari peredaran.

Liputan6.com, Manado: Nyawa melayang seusai menenggak minuman tradisional berkadar alkohol tinggi di Manado, Sulawesi Utara, bukanlah suatu kasus yang aneh. Bahkan, ada pameo lama yang diperhatikan betul oleh sebagian besar petani Minahasa di Sulut. Pameo itu menyebutkan: minum satu seloki "Cap Tikus", cukup untuk menambah darah; dua seloki bisa masuk penjara; dan minum tiga seloki bakal masuk neraka. Peringatan itu ternyata tak diindahkan sekelompok pemuda asal Kampung Loyang, Kairagi, Manado, Sulut, meski menenggak minuman keras merek lain.

Menjelang akhir April silam, Joni Pangke terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Malalayang, Manado. Dia harus dirawat selama beberapa hari, setelah mengkonsumsi minuman keras merek "Pinaraci Boulevard" di kediaman keluarga Salendeho, tetangganya. "Gejalanya semua sama. Panas dari leher sampai ke dada. Lalu ke kepala. Rasanya mau cabut ini batang leher. [Sakitnya] sampai ke saraf," ucap Joni, kapok. Joni memang telah meninggalkan ruang perawatan dan kembali ke rumah. Akan tetapi, rasa sakit yang dideritanya masih ada. "Masih barasa (berasa) sakit kapala (kepala). Kalau mau duduk terlalu lama atau berdiri, pusing. Mau tidur di bantal, pusing. Bangun pagi, pusing lagi," ujar Joni sembari memegangi kepala.

Keluhan rasa sakit setelah menghabiskan isi botol Pinaraci Boulevard tak hanya dirasakan Joni. Puluhan warga Kampung Loyang yang turut minum menjelang penyelenggaraan pesta pernikahan seorang anggota keluarga Salehendo, juga merasakan penderitaan yang sama. Termasuk ayah Joni, Jon Edi Pangke. Sang ayah ternyata meminum miras lebih dari satu seloki. "Bareng-bareng sama teman. Terus saya pulang. Perasaan memang nyanda (tidak) enak. Besoknya buang-buang air. Dan terus rasa haus. Kepala sakit, berpindah-pindah sampai di belakang kepala sini," kata Jon sambil memegang kepalanya. Rasa sakit yang tak tertahankan juga dialami Rustam, pemuka Kampung Loyang. "Dada itu perih. Baru kapala itu sakit. Denyut jantung saya rasakan lebih cepat," ungkap Rustam.

Namun, penderitaan yang dialami mereka belum apa-apa. Mereka boleh dikatakan masih beruntung. Tiga warga lainnya, Yulius Salendeho, Mei Salendeho, dan Frankie Satali justru harus meregang nyawa meski dalam waktu tak berbarengan. Yulius, misalnya. Lelaki ini tewas secara tragis pada Jumat malam 25 April silam, atau hanya berselang lima jam setelah meminum Pinaraci Boulevard. Istri Yulius, Agusta Tanalau, mengungkapkan,"Waktu saya pulang dari pasar, dia bilang pusing. Dari pusing langsung ke tempat tidur. Setengah jam dari tempat tidur, langsung tidak tahu apa-apa lagi. Sebelumnya, menurut Agusta, Yusuf mengaku sakit di kepala dan merasakan hawa panas di dada.

Semula, warga Kampung Loyang menyangka kematian Yulius akibat penyakit yang diderita korban dan bukan karena minuman keras. Mereka baru menyadari adanya suatu kejanggalan. Ini setelah korban lainnya, Mei Salendeho dan Frankie Satali meninggal dunia empat hari kemudian. Itje Salendeho, adik Mei, menuturkan,"[Saat kejadian] Dia [kakaknya] pusing-pusing, seperti orang kena gurumi [kerasukan,Red]. Waktu saya datang, kakak saya di tempat tidur. Sudah seperti orang tidak punya pengharapan untuk hidup". Penuturan serupa juga diungkapkan ayah Frankie, Martin Satali.

Kematian tiga warga Kampung Loyang yang diduga akibat mengkonsumsi Pinaraci Boulevard akhirnya diendus personel Kepolisian Resor Kota Manado, 30 April silam. Polisi pun mendatangi Kampung Loyang. Selain menyelidiki dengan mengambil sampel minuman keras di tempat kejadian. Polisi juga meminta jenazah Frankie Satali yang belum sempat dikubur untuk diautopsi. Langkah tersebut dibenarkan Kepala Polresta Manado Ajun Komisaris Besar Polisi Hengkie Kaluara. Menurut Kapolresta, jajarannya memang meneliti dan menyelidiki secara detail. Terutama untuk mengetahui sebab-musabab kematian benar-benar karena minuman keras atau faktor lain.

Keterangan Hengkie diperkuat hasil autopsi Rumah Sakit Umum Daerah Manado. Menurut ahli forensik RSUD Manado Djemi Tomuka, hasil autopsi menunjukkan tanda-tanda umum adanya pembendungan hebat pada seluruh organ tubuh. "Mulai otak, organ-organ dalam dada dan perut. Kemudian bintik-bintik pendarahan pada organ dada dan perut," ungkap ahli forensik itu.

Kendati demikian, hasil autopsi di RSUD Manado belum bisa menyimpulkan secara pasti penyebab kematian Frankie. Itulah sebabnya, sampel organ tertentu dari korban kemudian dikirim ke Laboratorium Forensik Markas Besar Polri di Jakarta. Sayangnya, hingga saat ini, hasil tes forensik tersebut belum diperoleh.

Meski hasil tes forensik belum diketahui, Polresta Manado berinisiatif mencari bukti tambahan untuk mengungkap kasus kematian tiga warga Kampung Loyang. Polisi pun mendatangi pabrik minuman keras Pinaraci Boulevard. Lokasi pabrik terletak di kawasan Tateli, Kabupaten Minahasa, yang berbatasan dengan Kotamadya Manado. Setelah mengambil beberapa sampel produk, polisi akhirnya menyegel pabrik yang dikelola CV Cawan Mas ini. Sampel tersebut kemudian diserahkan kepada Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Sulut.

Berdasarkan hasil uji laboratorium BPOM Sulut, ternyata sampel yang diambil di lokasi pabrik memiliki kandungan yang sama dengan contoh minuman keras yang diperoleh di Kampung Loyang. Kandungan itulah yang diduga menjadi penyebab kematian tiga warga tersebut. Kesamaan itu mencakup kandungan cairan bahan baku yang disebut Cap Tikus, yakni berkadar alkohol sebesar 17,28 persen serta kandungan methanol sebesar 40 persen. Berarti, kandungan methanol sebesar itu jauh di atas ambang batas aman bagi manusia yang hanya sebesar 0,1 persen. Dengan kata lain, siapa pun yang mengkonsumsi produk minuman keras itu bakal menemui ajal.

Hasil tersebut jelas mengejutkan Kapolresta Manado. Menurut Kapolresta, bukti permulaan ini sudah cukup untuk menyeret sejumlah pihak yang mengedarkan dan memproduksi minuman beracun itu. Polisi pun bergerak. Karena diduga memproduksi minuman yang membahayakan keselamatan jiwa, empat orang yang terlibat dalam proses produksi dan distribusi minuman Pinaraci Boulevard akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah Ade Tandayu (bos CV Cawan Mas), Marthinus Tandayu (penanggung jawab produksi perusahaan), serta dua penyalur. Namun sejauh ini, yang ditahan di Markas Polresta Manado, hanyalah Marthinus Tandayu yang berperan sebagai peracik minuman.

Kapolresta Manado beralasan, Marthinus adalah peracik. "Dia pula yang mencampur jenis-jenis miras ini sehingga menjadi produk Pinaraci Boulevard. Kami melihat inilah yang harus kita jaga ketat. Karena dia yang paling tahu, bagaimana dia harus melaporkan kalau jenis minuman yang diramu ini. Ada kewajiban dia untuk melapor kepada Balai POM," kata Kapolresta, menjelaskan.

Sayangnya, tersangka Marthinus yang biasa dipanggil Koh Sin tak bersedia memberikan keterangan kepada Tim Derap Hukum SCTV. Terutama mengenai cara ia meracik minuman keras Pinaraci Boulevard yang diduga telah merenggut tiga nyawa warga Kampung Loyang. Begitu pula ketika ditanyakan seputar perusahaannya. Berkali-kali Marthinus mengelak. Ia hanya mengatakan, "No Comment, Pak. Ini saya serahkan pada yang di Atas, Yang Maha Kuasa. Itu aja," ucap Marthinus.

Marthinus boleh saja mengelak. Walau demikian, para tersangka kasus minuman keras Pinaraci Boulevard ini bakal dihadapkan ke "meja hijau". Mereka bakal dijerat dengan Undang-undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, serta UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan terhadap Konsumen. Karena telah mengakibatkan korban jiwa, para tersangka juga dapat dijerat dengan Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Kelalaian yang Mengakibatkan Orang Lain Meninggal Dunia. Termasuk Pasal 204 KUHP tentang Penggunaan Bahan-bahan Beracun.

Dan, seiring penyegelan pabrik dan penahanan Marthinus, Polisi telah merekomendasikan penarikan seluruh produk CV Cawan Mas dari pasaran. Polisi sekaligus mengusulkan pencabutan izin perusahaan tersebut. Kenyataan di lapangan, ternyata lain. Hingga Sabtu silam, penarikan minuman keras Pinaraci Boulevard dari peredaran belum resmi dilakukan. Usut punya usut, ternyata Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Manado sebagai instansi yang berwenang selain BPOM setempat masih belum mengeluarkan kebijakan resmi mengenai hal itu.

Wakil Kepala Disperindag Manado Yopie Warouw mengakui, jajarannya memang belum menarik Pinaraci Boulevard dari peredaran. Untuk menarik minuman tersebut, Yopie beralasan, jajarannya harus terlebih dahulu melakukan semacam edaran. Ketika didesak miras itu telah menelan tiga korban tewas, Yopie cuma mengatakan bahwa pihaknya harus menunggu suatu petunjuk pelaksanaan akan hal itu. Termasuk menunggu hasil pengujian yang lebih konkret di lapangan. Sungguh mengherankan memang, apalagi kendala birokrasi dijadikan alasan.

Seolah membantah asumsi tersebut, Yopie mengungkapkan, jajarannya telah berusaha melakukan pengujian rutin terhadap produk minuman beralkohol. Namun, upaya itu kerap menghadapi kendala. "Jadi kalau ikut aturan, kan, setiap hari baik Balai POM maupun Balai Industri harus melakukan pengujian. Cuma dia punya keterbatasan, mungkin petugas yang turun ke lapangan dan sebagainya. Dia mungkin hanya menjadwalkan minggu atau bulan, kan," ujar Yopie, mengelak.

Sayangnya, hingga kini, BPOM Sulut belum bersedia memberikan keterangan tentang upaya pengawasan minuman beralkohol yang beredar di wilayah setempat. Padahal, kematian tiga warga Kampung Loyang itu bukanlah kasus pertama yang berkaitan dengan minuman keras di Provinsi Sulut. Pada November 2001, misalnya, tercatat paling tidak 43 orang tewas di berbagai wilayah, terutama di Manado dan Minahasa [baca: Puluhan Pemabuk Mati Rame-Rame di Manado].

Penyelidikan polisi mengungkapkan, para korban tewas setelah mengkonsumsi minuman keras merek "Pinaraci 234" dan "Champion" yang oleh masyarakat setempat lebih dikenal dengan nama "Kampiun". Namun, dalam kasus tewasnya puluhan orang itu, hanya seorang yang diseret ke pengadilan, yakni Dicky Loupati. Bahkan, belakangan, pengelola perusahaan produsen kedua merek minuman keras tersebut hanya divonis hukuman percobaan selama enam bulan.

Terlepas soal jerat hukum itu, kematian tiga warga Kampung Loyang ini masih menyisakan duka mendalam bagi keluarga masing-masing. Terutama bagi keluarga Mei Salendeho. Terlebih, Itje Salendeho, adik korban, sempat mengingatkan sang kakak berhenti minum. "Saya sempat bilang sama kakak saya untuk berhenti minum. Dia malah bilang,"Masih ada kesempatan minum, ya, minum," tutur Itje.

Kepedihan serupa masih pula terasa di rumah korban tewas lainnya, Yulius Salendeho yang juga sepupu Mei. Agusta Tanalau--istri Yulius--tak pernah menyangka bila suaminya yang memang akrab dengan minuman keras sejak dulu akhirnya tewas setelah mengkonsumsi Pinaraci Boulevard. "Ya dari dulu, dari nyong-nyong [remaja] memang sudah suka minum. Dan minumannya dari dulu bukan yang ringan-ringan begini. Cap tikus itu, dibakar menyala," ucap Agusta, menahan isak tangis.

Kendati kehilangan orang yang paling dicintai, keluarga ketiga korban mengaku tak akan gegabah menuntut perusahaan yang memproduksi Pinaraci Boulevard. Ayah Frankie, misalnya. Martin mengaku akan menunggu hasil autopsi. "Kalau terbukti akibat minuman, terpaksa kami harus bikin tuntutan," kata Martin. Sikap Martin tak jauh berbeda dengan Rustam. Tokoh masyarakat Kampung Loyang ini juga masih akan menunggu hasil autopsi. "Kita sebagai korban tentu kita mengadakan tuntutan. Yang penting jelas dulu dasarnya," ujar Rustam, yang sempat mencicipi miras maut itu.

Yang jelas, kematian tiga orang itu bakal menjadi pelajaran berharga bagi warga Kampung Loyang. Terutama untuk lebih selektif dalam memilih minuman keras yang akan dikonsumsi. Upaya tersebut adalah upaya maksimal mengingat kebiasaan minum-minum sudah mentradisi di kalangan warga setempat. Dengan kata lain, sukar dihilangkan begitu saja. Tradisi ini dibenarkan oleh Joni Pangke yang sempat sakit lantaran menenggak Pinaraci Boulevard. Seolah tak kapok, ia mengatakan, "Orang bilang kalau berhenti sama sekali, nanti malah sakit. Lebih baik minum sedikit-sedikit dan bisa setengah [botol], kalau sudah biasa. Jadi tetap minum walaupun hanya sekali sehari".(ANS/Tim Derap Hukum SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.