Sukses

Soeyono: Kerusuhan Mei 1998 Perlu Diselidiki Lagi

Ada nuansa pertentangan elite militer saat terjadi kerusuhan massal Mei 1998. Diduga, saat itu hubungan antara Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto dan Pangkostrad Letjen TNI Prabowo tak harmonis.

Liputan6.com, Jakarta: Mantan Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan dan Keamanan Letnan Jenderal Purnawirawan Soeyono membenarkan dugaan bahwa saat kerusuhan massal Mei 1998 ada nuansa pertentangan elite militer. Saat itu diduga terjadi perang dingin antara Menteri Pertahanan/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto dan Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat Letnan Jenderal TNI Prabowo Subianto. Namun dugaan ini masih perlu diselidiki lebih lanjut. "Konflik [Wiranto-Prabowo] itu sebenarnya ada. Hanya tak terlihat saja," kata Soeyono dalam sebuah diskusi untuk memperingati Tragedi Mei 1998 di Jakarta, Senin (12/5).

Menurut Soeyono, penyelidikan bisa difokuskan waktu sebelum mantan Presiden Soeharto lengser. Saat itu, sejumlah panser diparkir di depan Gedung Dephankam. Menurut Soeyono, perseteruan kedua petinggi militer itu semakin mengerucut. "Saat itu ada acara yang seharusnya dihadiri seseorang [Prabowo]. Namun tidak hadir dengan alasan yang sangat tidak masuk akal yakni terlambat bangun karena tidak ada yang membangunkan," papar Soeyono. Wiranto dikabarkan sangat marah atas ulah Prabowo tersebut.

Soeyono adalah jenderal yang terdepak setelah peristiwa pengambilalihan Kantor Partai Demokrasi Indonesia, 27 Juli 1996. Saat itu, Soeyono menjabat sebagai Kepala Staf Umum ABRI. Pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 60 tahun silam ini kehilangan jabatannya karena saat peristiwa 27 Juli, ia sedang tidak berada di Jakarta. Hingga Mei 1998, Soeyono tak menempati posisi apapun. Namun kemudian, dia diminta Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto menjadi Sekjen Dephankam.

Perseteruan bekas ajudan (Wiranto) dan menantu Soeharto (Prabowo) sebenarnya sudah dikupas habis dalam buku Biografi Soeyono berjudul "Bukan Puntung Rokok". Dalam buku yang diluncurkan Maret silam itu diceritakan bahwa rivalitas dua petinggi militer itu semakin meningkat karena beredar berita bahwa Soeharto akan menerbitkan semacam Surat Perintah Sebelas Maret untuk mengendalikan keadaan [baca: Rivalitas Jenderal di Balik Kerusuhan Mei 1998]. Prabowo diduga sangat berminat untuk mendapatkan pelimpahan kewenangan tersebut. Namun oleh Soeharto surat itu, justru diserahkan kepada Jenderal Wiranto. Untungnya surat yang memiliki kewenangan sangat besar itu tak dijalankan karena Wiranto memilih proses reformasi yang konstitusional.(DEN/Olivia Rosalia dan Eko Purwanto)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.