Sukses

Pasola, Pertarungan Menghapus Dosa

Awal musim tanam disambut masyarakat Sumba dengan menggelar pasola. Para petarung saling lempar lembing dari atas kuda. Darah dan luka dianggap pengorbanan demi panen yang melimpah.

Liputan6.com, Sumba: Musim tanam nyaris tiba di Pulau Sumba. Biasanya itu terjadi pada pertengahan Februari hingga Maret. Saat itu, tanah-tanah mulai basah disirami hujan. Cacing laut atau nyale mulai berani keluar dari sela karang.

Tanda alam ini menandai bulan penuh pantangan. Masa perilaku-perilaku kotor dibuang jauh-jauh. Ucapan sia-sia disembunyikan di balik lidah. Niat menyakiti orang lain, wajib dihalau. Begitulah ajaran para Marapu--leluluhur yang didewakan-- yang masih diyakini masyarakat di Pulau Sumba Nusatenggara Timur. Dengan begitu mereka bisa berhubungan dengan Sang Pencipta.

Para Marapu telah mengatur bagaimana orang Sumba bertingkah laku agar hidupnya tenteram dan sejahtera. Kepercayaan pada alam dan kekuatan gaib itu masih tumbuh subur di pulau yang memiliki banyak padang savana ini. Hingga kini, bangunan megalitikum--peninggalan bersejarah berupa batu-batu besar-- masih ada dan sering menjadi tempat pemujaan para Marapu.

Kepercayaan animisme ini juga mengajarkan manusia agar bisa membaca tanda-tanda alam untuk meramalkan peristiwa yang akan terjadi. Termasuk kehadiran nyale yang muncul setahun sekali. Jika cacing lautnya banyak dan gemuk-gemuk, artinya tanah akan subur dan panen bakal berlimpah.

Pada saat itulah, warga turun ke laut untuk mencari nyale. Mereka berlomba memburu cacing-cacing yang hanya muncul satu atau dua hari. Itu pun cuma di tengah malam hingga pagi buta. Nyale bukan satu-satunya tanda yang diajarkan para Marapu. Agar panen berkelimpahan, warga juga mesti mempersembahkan ayam dan babi. Para Rato adat silih berganti melihat hati ayam yang disembelih untuk membaca pesan gaib yang tersirat. Kali ini, ayam kampung itu "berbicara" harus ada pengorbanan yang lebih besar: darah manusia.

Berangkat dari gambaran mistis itu, para tetua adat memutuskan untuk mempersembahkan pasola. Tradisi berperang antara dua kelompok pemuda terpilih ini akan menjadi tumbal bagi kesuburan satu dari tiga pulau besar di Nusa Cendana itu. Biasanya pasola diselenggarakan di Lamboya dan Kodi pada Februari dan selama Maret digelar di Gaura dan Wanukaka, Waikabubak, Sumba Barat. Yang pasti upacara yang sudah menjadi obyek wisata ini digelar beberapa hari setelah bulan purnama.

Di masa pembersihan diri ini, dilarang keras menangisi kematian, membunyikan gong, menggunakan perhiasan, memakai pakaian berwarna cerah, membunuh binatang, melewati arena pasola, dan menyeberangi muara sungai. Setelah periode ini usai, Rato memimpin upacara pembukaan pasola.

Para perempuan mempersiapkan berbagai persembahan seperti sirih dan pinang. Mereka memohon para leluhur memberkahi pasola. Sementara para pemuda dari kedua kubu mulai mempersiapkan perawatan tempur berupa kuda, lembing, dan pakaian adat. Mereka yang berlaga adalah pemuda yang memang diakui berani serta tangkas mengendalikan kuda sekaligus jitu melemparkan lembing ke sasaran. Sebab, mereka mewakili beberapa daerah di pulau yang terkenal dengan kuda sandlewood itu.

Busana yang mereka pakai beragam, lengkap dengan ikat kepala dengan warna cerah secemerlang matahari yang menyinari arena pertempuran. Beragam kain tenunan Sumba bermutu baik membungkus pinggang hingga setengah paha para petarung. Kuda-kuda dihiasai berbagai hiasan termasuk giring-giring hingga bergemirincing seirama derap binatang perkasa itu.

Masyarakat memenuhi tolara, arena pasola, yang dianggap suci. Aturan pertandingan ditentukan Rato yang sekaligus bertindak sebagai wasit. Tanda perang dibunyikan. Ratusan pemuda dan kuda dari dua kelompok saling menyerang dan menghindar. Tempik sorak bergema begitu lembing menyentuh sasaran. Riuh rendah juga membahana ketika seseorang berhasil mengelak serangan dan mengambil lembing lawan untuk membalas.

Luka dan darah bukan masalah besar. Sebab, masing-masing kelompok memang membawa dukun untuk mengobati luka para petarung dengan ramuan tradisional. Selain itu, mereka memang berperang. Tapi, bukan untuk saling menyakiti. Tak ada dendam. Sebaliknya, begitu kembali ke kampung halaman, para petarung disambut bak pahlawan yang baru pulang bertempur. Kemudian digelar syukuran untuk kesuburan tanah dan dan panen yang berlimpah. Begitulah sebagian kehidupan orang Sumba yang dipenuhi tawa, luka, kegembiraan, sekaligus harapan tentang masa depan.(TNA/Tim Potret)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini