Sukses

Kisah Pria yang Merawat 30 Ribu Korban Pemerkosaan

Selain penderitaan para korban, kisahnya Denis menguak fakta mengerikan: pemerkosaan menjadi senjata perang di Kongo.

Republik Demokratik Kongo bisa disebut sebagai "pusat pemerkosaan dunia". Di mana pemerkosaan massal kerap terjadi, oleh militan pemberontak maupun tentara pemerintah. Tiap tahunnya, hampir setengah juta perempuan menjadi korban kebiadaban seksual.

Di tengah situasi barbar tersebut, ada Denis Mukwege, seorang ginekolog. Bersama timnya, ia telah merawat 30 ribu korban pemerkosaan, mengembangkan teknik baru dalam perawatan cedera seksual serius. Selain soal penderitaan para korban, kisahnya juga menguak fakta mengerikan: pemerkosaan menjadi senjata perang di Kongo.

Denis menceritakan, saat perang pecah tahun 1998 lalu, 35 pasien di rumah sakitnya di Lemera, sebelah timur Kongo, meninggal di tempat tidur mereka. Akibat diserang.

Ia pun melarikan diri ke Bukavu, 100 kilometer ke utara. Di sana Denis mendirikan rumah sakit darurat dari tenda, yang dilengkapi bangsal melahirkan dan ruang operasi. Sayangnya rumah sakit itu tak bertahan lama, hancur akibat perang. Setahun kemudian Denis membangunnya kembali.

Di tahun 1999 itulah, kali pertama ia menerima pasien korban pemerkosaan. "Setelah diperkosa, peluru ditembakkan ke paha dan alat kelamin korban," kata Denis, seperti dimuat BBC, Selasa (19/2/2013).

Kala itu, Denis berpikir, itu tindakan barbar yang kerap terjadi dalam perang. Namun, ia luar biasa kaget saat 3 bulan kemudian 45 perempuan datang ke rumah sakit, dengan cerita yang sama. "Orang-orang datang ke desaku, memperkosa dan menyiksaku," kata Denis, menirukan pengakuan korban.

Kali lain seorang perempuan datang dengan luka bakar, akibat disiram cairan kimia oleh pemerkosanya.

Pemerkosaan Jadi Strategi Perang

Denis pun lantas bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi. Belakangan ia menemukan jawaban. "Ini bukan hanya sekadar aksi kekerasan, tapi sebuah strategi perang," kata dia.

Ketika sejumlah perempuan diperkosa dalam waktu bersamaan, bahkan dengan kurang ajar dilakukan di depan masyarakat, mereka tak hanya menyakiti korban, tapi juga warga lain yang dipaksa menyaksikan tindakan biadab itu.

"Hasil dari strategi ini adalah masyarakat dipaksa meninggalkan desanya, meninggalkan lahan pertanian, sumber daya mereka, apapun."

Denis yang tak berdaya menghentikan perang, akhirnya berkonsentrasi menyelamatkan korban. Ia mengembangkan sistem perawatan. Sebelum melakukan operasi besar pada korban, akan dilakukan pemeriksaan psikologis, untuk mengetahui apakah mereka siap menerima pembedahan.

Tahap dua adalah operasi atau perawatan kesehatan. "Kemudian adalah perawatan sosial dan ekonomi. Kebanyakan pasien datang tanpa membawa apapun, bahkan tanpa pakaian," kata dia. "Kami harus memberi korban makan, merawat mereka."

Setelah dipulangkan dari rumah sakit, para korban amat rentan jika tak punya kemampuan untuk mempertahankan hidup mereka sendiri. "Jadi, kami pun harus mendampingi mereka dalam hal sosial dan ekonomi, membantu para korban mengembangkan keahlian baru atau mengembalikan para gadis korban pemerkosaan ke sekolah," kata dia.

Masih ada tahap keempat, yakni pendampingan hukum. "Seringkali pasien tahu siapa penyerang mereka dan kami memiliki pengacara yang membantu membawa kasus para korban ke pengadilan."

Pada tahun 2011, kasus pemerkosaan menurun, Denis menduga itu adalah akhir dari "neraka" yang mendera perempuan Kongo. Namun, dugaan, atau harapannya ternyata tak tercapai. "Sejak tahun lalu, saat perang kembali terjadi, kasus pemerkosaan kembali meningkat. Jelas, fenomena itu sangat terkait dengan perang."

Denis menegaskan, konflik di Republik Demokratik Kongo bukan antara kelompok fanatik agama. Juga bukan konflik antar-negara. Ini adalah konflik yang disebabkan oleh kepentingan ekonomi -- yang dilancarkan dengan cara menghancurkan perempuan Kongo.

Lari ke Luar Negeri

Konflik kali ini, Denis pun menjadi korban. Suatu hari sepulang dari perjalanan ke luar negeri, ia ditunggu oleh 5 orang, 4 bersenjata senapan AK-47, orang kelima memegang pistol.

Ia diserang, namun berhasil melarikan diri. Tapi para penyerang itu menyandera 2 anak perempuan dan keponakannya. Setelah peristiwa penyerangan itu, Denis dan keluarganya lari ke Swedia, lalu ke Brussel.

Dan bulan lalu, ia memutuskan untuk kembali ke Kongo. Trauma, pasti, namun ia terinspirasi tekad perempuan Kongo yang gagah berani untuk melawan kekejaman atas mereka.

"Dengan berani, perempuan-perempuan ini memprotes serangan atas diriku ke pemerintah. Mereka bahkan patungan untuk membayar tiket pulang untukku -- para perempuan luar biasa ini, yang tak punya apapun."

Sejak kembali ke Kongo, Denis hidup di rumah sakit, seraya mengantisipasi ancaman keamanan atas dirinya. Kebebasannya terenggut.

Yang membikin dia terharu, para perempuan yang pernah ditolongnya bertekad menjaga keamanannya. "Mereka bergiliran mengawalku, satu kelompok berjumlah 20 orang, siang dan malam," kata dia. "Padahal mereka tak punya senjata apapun, tak punya apa-apa."

Tindakan para perempuan itu mungkin tak efektif menyelamatkan nyawanya. Namun, Denis merasa dekat dengan mereka. "Antusiasme mereka membuatku percaya diri untuk menjalankan tugasku," kata dia. Hati Denis hangat, ia tak berjuang sendirian.(Ein)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini