Sukses

Yusril: Kontroversi KPU Potensial Ciptakan Krisis Konstitusional

Jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) gagal menyelenggarakan pemilu, maka potensi terjadinya krisis konstitusional di negara ini sangat besar.

Menjelang Pemilu 2014, sejumlah kontroversi dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jika KPU gagal menyelenggarakan pemilu, maka potensi terjadinya krisis konstitusional di Indonesia pun sangat besar.

"Jika terjadi krisis konstitusional yang hebat, maka berdasarkan noodstaatsrecht, yakni presiden menggunakan hukum negara dalam darurat," jelas Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra di Jakarta, Senin (18/2/2013).

Menurut praktisi Hukum Tata Negara itu bisa saja presiden mengeluarkan dekrit perpanjangan masa jabatannya, meski hal itu di luar konstitusi. Ia mencontohkan, era Presiden Sukarno yang mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

"Langkah presiden biasanya didahului dengan pernyataan darurat sipil maupun militer, tergantung keadaannya. Itulah revolusi hukum yang berawal dari staatsnoodrechts dan noodstaatsrecht," urai Yusril.

Dekrit, ucap mantan Menteri Hukum dan HAM itu, pada dasarnya adalah revolusi hukum, bukan noodstaatsrecht. "Saya berbeda pendapat dengan Prof. Djokosutono. Dalam keadaan darurat, yang memegang kendali kekuasaan adalah presiden. Dia bisa berbuat apa saja dengan alasan untuk menyelamatkan bangsa dan negara," imbuh Yusril.

Namun, jika darurat militer yang diberlakukan, maka kendali kekuasaan negara berada di tangan Panglima TNI. Itulah beberapa hal yang patut direnungkan jika terjadi krisis konstitusional di negara ini. MPR yang mengamandemen UUD 1945 tidak memikirkan bahwa perubahan yang mereka lakukan, bisa menimbulkan krisis konstitusional.

"Saya cintai negara ini dengan sepenuh hati. Saya tahu akan ada masalah besar seperti krisisis konstitusional, yang tidak banyak orang memikirkannya," ujar Yusril.

Yusril yang pernah menduduki jabatan di kementerian sejak era Presiden Soeharto hingga Susilo Bambang Yudhoyono itu menjelaskan, pada 1998 pernah meyakini kelak Presiden Soeharto agar mundur menempuh jalan konstitusional. Kalau tidak, mungkin bangsa ini perang saudara pada waktu itu.

"Padahal pada tahun 1998 itu, banyak orang memaki saya ketika menyarankan bagaimana cara presiden berhenti, dan presiden mengikuti saran saya," tandas dia.

Dia melihat kejadian itu bisa saja terulang. Namun waktu jualah yang akhirnya menjadi hakim sejarah apakah suatu langkah itu benar atau tidak. "Semoga kita tidak lupa kepada sejarah," tutup Yusril.(Ais)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.