Sukses

ICW: Ada 2 Poin Kekeliruan Hakim Terhadap Vonis Angie

ICW menyatakan ada 2 poin dasar kekeliruan Majelis Hakim PN Tipikor dalam memberikan vonis Angie.

Koalisi LSM kembali mengadu ke Mahkamah Agung terkait vonis rendah Angelina Sondakh. Ia dihukum 4,5 tahun dalam kasus penggiringan anggaran di Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Peneliti ICW Bidang Hukum Febridiansyah menjelaskan, ada 2 poin mendasar yang menurut pihaknya merupakan kekeliruan Majelis Hakim PN Tipikor, Jakarta Pusat. Kekeliruan tersebut menyebabkan mantan Putri Indonesia itu divonis sangat rendah.

"Itu yang menyebabkan putusan rendah bagi Angie, yakni hanya 4,5 tahun penjara," kata Febri di Gedung MA, Jakarta, Rabu (30/1/2013).

Dia mengatakan, dalam fakta persidangan, Angie sebenarnya terlihat berperan aktif dalam kasus penggiringan anggaran tersebut. Mulai dari pertemuan-pertemuan, negosiasi fee, hingga upaya untuk memengaruhi pihak Kemendiknas.

"Ada 2 saksi yang kita petik di sana, yaitu Sekretaris Dirjen Dikti Kemendiknas dan beberapa pejabat di Kemendiknas lainnya untuk memengaruhi penggiringan anggaran proyek," ujarnya.

Dengan begitu, lanjut dia, seharusnya janda Adjie Massaid itu bisa dikenakan ancaman pidana maksimum 20 tahun penjara melalui Pasal 12 a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan majelis hakim hanya mengenakan Angie dengan Pasal 11 UU Nomor 31/1999 yang ancamannya sangat ringan, yaitu 5 tahun.

"Fakta persidangan sebenarnya sudah diyakini oleh Tim Pengadilan Tipikor. Misalnya hakim mengatakan penerimaan uang Rp 2,5 miliar dan 1,2 juta US dolar itu adalah realisasi dari janji terkait dengan upaya penggiringan anggaran di Kemendiknas," jelasnya.

Menurut dia, majelis hakim yakin ada hubungan kausalitas antara perbuatan penggiringan anggaran itu dan pemberian uang. Oleh sebab itu yang seharusnya dikenakan adalah Pasal 12 a UU Nomor 31/1999 dengan ancaman pidana maksimum 20 tahun. "Itu poin kekeliruan pertama kita kemari," katanya.

Poin kedua adalah terkait dengan pemiskinan koruptor. Putusan Majelis Hakim PN Tipikor untuk Angie kemarin dinilai telah menghambat upaya pemiskinan koruptor. "Terutama untuk penggunaan Pasal 18 yang mengatur tentang perampasan aset hasil korupsi atau aset yang digunakan untuk melakukan korupsi dan uang pengganti," terangnya.

Jaksa, jelas Febri, sebenarnya sudah melakukan penyidikan dan sudah meminta uang pengganti tersebut. Namun majelis hakim mengatakan Pasal 18 tidak bisa diterapkan, karena uang suap itu bukan uang negara.

"Ini sangat fatal sekali. Seolah-olah pasal perampasan aset itu hanya bisa dikenakan untuk korupsi yang ada indikasi uang negara. Atau korupsi yang terjadi sesuai Pasal 2 dan Pasal 3. Padahal, korupsi itu ada banyak dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 14," tegasnya.

"Dan ditegaskan dalam UU, bahwa hukuman perampasan ini dapat dikenakan untuk semua tindakan korupsi," imbuhnya. (Frd)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini