Sukses

Bualan Sederhana di Tengah Ultah Miliaran

Di tengah demonstrasi antikenaikan tarif, Presiden Megawati menghadiri HUT ke-30 PDI-P di Bali. Biayanya Rp 1,2 miliar, kontras dengan seruannya untuk mengencangkan ikat pinggang.

Liputan6.com, Jakarta: Di suatu siang yang terik dua prajurit menghadap Alexander The Great atau lebih dikenal sebagai Iskandar Zulkarnain. Raja Macedonia ini sedang memimpin perjalanan melintasi belantara gurun panas dan kering. Sudah dua minggu mereka berjalan. Haus yang menyergap, membuat mereka nyaris mati kelelahan. Kepada Alexander, dua prajurit itu memberi semangkuk air yang diambil dari kolam kerontang, yang airnya tak akan cukup dibagikan untuk ke seluruh pasukan. Reaksi Alexander? Ia menolak dan membuang air itu sehingga merembes cepat di atas pasir gurun. Lalu Sang Kaisar memekik, "Tak ada gunanya bagi seseorang untuk minum di saat banyak orang sedang kehausan!"

Seandainya Megawati Sukarnoputri mengerti keteladanan Alexander selama masa kekuasaannya, sekitar 356-323 sebelum Masehi, boleh jadi, dia akan memerintahkan kader partainya menghentikan peringatan hari jadi ke-30 PDI-P di lapangan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, dan mengubah perayaannya menjadi sederhana saja. Maklum, biaya perhelatan yang dihadiri ratusan ribu orang, 33 duta besar negara sahabat serta 13 menteri Kabinet Gotong Royong itu, tak kepalang tanggung: Rp 1,2 miliar.

Sayang, Mega tak mengubah acara yang sudah terencana sejak lama itu. Bahkan, dengan kalemnya, ia mengajak seluruh rakyat mengencangkan ikat pinggang agar perekonomian Indonesia tak lagi bergantung pada bantuan luar negeri. "Apakah saudara-saudara sanggup hidup sederhana tapi akhirnya mendatangkan kemandirian?" seru Megawati, membakar semangat para kader. Putri sulung mantan Presiden Sukarno ini juga mengimbau kepada para pejabat negara, elite politik, memberikan teladan hidup sederhana. Tak cuma itu, Megawati juga menyoroti kinerja lembaga yudikatif dalam upaya penegakan hukum. Padahal rakyat kebanyakan sedang pusing dua belas keliling memikirkan agar dapurnya bisa ngebul, di tengah harga-harga yang merangkak gila-gilaan.

Kontras, memang. Tapi barangkali memang begitulah gaya kepemimpinan putri Bung Karno ini. Paling mutakhir adalah kebijakannya menaikkan harga bahan bakar minyak, tarif dasar listrik, dan telepon. Megawati menyatakan sadar memilih kebijakan tidak populis yang memberatkan masyarakat tersebut. Namun, dia menganggap kebijakan itu bersifat konstruktif untuk jangka panjang. "Saya lebih memilih membuat kebijakan yang tidak populis tetapi kunstruktif untuk jangka panjang, dari pada membuat kebijakan populis tetapi menjerumuskan," ujar Megawati. Mega menambahkan, kebijakan yang cukup menyakitkan masyarakat kali ini adalah obat. Alasannya, tak ada pilihan lain dan tidak ada kebijakan lain yang dapat diambilnya untuk membebaskan Indonesia dari ketergantungan akan pihak luar. Hanya dengan kebijakan seperti itulah dapat membebaskan Indonesia yang kaya raya dengan sumber daya alam ini dari kubangan utang luar negeri.

Menurut Megawati, di lembaga legislatif telah mengalami proses reformasi, bahkan kadang-kadang kebablasan. Sedangkan lembaga eksekutif sudah memperbaiki persoalan dan bisa menata kembali keadaan menjadi lebih baik. Tetapi, imbuh Mega, masalahnya ada di Yudikatif. Itu tampak saat kepolisian dan kejaksaan sudah susah payah memberikan bukti tuntutan hukum ke pengadilan, tapi dalam proses pengadilannya hingga ke proses Mahkamah Agung malah dibebaskan. "Kita (pemerintah) minta MA untuk mengikuti alam reformasi ini," tandas Mega.

Presiden Megawati memang boleh menggalang dukungan atau berdalih maupun mengkritik. Namun yang jelas, pemerintahan Megawati memang dikritik para penentangnya sebagai pemerintah yang kurang peduli terhadap penderitaan rakyat. Bahkan, santer terdengar bahwa beberapa petinggi PDI-P dan sebagian menteri sibuk menghimpun dana. Duit itu diperkirakan buat kepentingan memenangkan PDI-P dalam Pemilu 2004. Suasana lingkungan dan sekeliling Mega yang diduga beraroma korupsi, kolusi, nepotisme itu memang tak jauh berbeda dengan pemerintahan-pemerintahan terdahulu. Tidaklah mengherankan bila ada yang menyebut bahwa pemerintahan Megawati sebagai "pemerintahan aji mumpung".

Pemerhati politik Tjok Atmaja yang juga mantan Rektor Universitas Ngurah Rai, Bali, mengatakan, selama ini kelemahan semua pokok pikiran yang disampaikan dalam pidato Megawati tersebut ada pada elite dan kader partai. "Mereka-mereka inilah yang selama ini tidak mampu secara maksimal membumikan harapan-harapan dari pidato sang ketua umum. Malah para elite dan kader yang ada di lingkar kekuasaan partai, baik di pusat maupun di daerah, cenderung lebih banyak memanfaatkan partai demi kepentingan pribadi" papar Atmaja.

Pidato Megawati yang mengenai permasalahan yang terjadi di Tanah Air, memang ditanggapi berbeda oleh sejumlah pengamat dan praktisi. Ada yang mengerti, ada pula yang ragu-ragu akan upaya nyata yang dilakukan pemerintah. Pengamat politik Syamsuddin Haris menyesalkan pernyataan Mega dilakukan pada hari ulang tahun PDI-P yang dirayakan secara mewah dengan menelan biaya sekitar miliaran rupiah. Hal itu sangat bertentangan dengan komitmen partainya yang mengedepankan perjuangan kepada wong cilik. Makanya, Syamsuddin memprediksikan bahwa pernyataan dan kebijakan Mega yang tak mau mendengar keluhan masyarakat ini tentu akan berpengaruh terhadap masa depan kepemimpinannya di masa datang. Terutama dalam pencalonannya kembali menjadi presiden untuk Pemilu 2004.

Kritik cukup pedas dilontarkan Ketua Umum Ikhwanul Muslimin Indonesia Habib Husein Alhabsyi. Dalam kacamata Alhabsyi, kemiskinan di mana-mana bertambah, terutama semenjak Indonesia di bawah pemerintahan Mega. Di satu sisi rakyat disuruh mengencangkan ikat pinggang, tapi di lain pihak seorang keluarga Megawati (Taufik Kiemas--Red) justru merayakan hari ulang tahunnya di Bali, secara glamor. "Tentu ini sangat bertentangan dengan perasaan, hati nurani. Ini sangat-sangat membahayakan. Bagaimana kalau seorang pemimpin atau keluarganya tidak menjadi teladan, tidak menjadi panutan kepada rakyat. Jadi apa yang sebenarnya mau diharapkan dari rakyat lagi? Konglomerat dan orang-orang kaya itu sebenarnya tidak sangat menderita dengan adanya kenaikan harga BBM dan listrik. Tapi justru hal ini yang akan sangat menderita adalah rakyat jelata," kata Alhabsyi.

Ratusan ulama se-Jawa dan Sumatera yang berkumpul di Pusat Pengembangan Islam Bogor, Jawa Barat, kemarin, juga mengkritik berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan Megawati. Mereka memandang kebijakan itu tak sejalan dengan aspirasi masyarakat. Para ulama menyoroti lima hal pokok dari kebijakan yang dilakukan pemerintah yang dipandang merugikan rakyat. Kebijakan yang menjadi sorotan adalah lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan; divestasi PT Indosat; masalah pemberian release and discharge; kenaikan harga BBM, TDL, dan telepon; serta penangkapan terhadap sejumlah ulama. Para ulama juga mengingatkan pemerintah untuk mendengar aspirasi yang diberikan kelompok masyarakat, termasuk ulama. Bila tidak diselesaikan dalam tempo satu bulan, para ulama akan bersatu padu mendesak Presiden Megawati diganti.

Apa pun, suara kritik yang terlontar untuk Mega sudah sepatutnya didengar. Adalah tak bijaksana, misalnya, suara-suara masuk telinga kanan dan loncat di telinga kiri. Kesalahan di rezim Soeharto sebaiknya tak perlu ada. Kini, terpulang pada diri penyelenggara negara, mau mengencangkan ikat pinggang atau cuma ingin membual agar terlihat merakyat?(ANS)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.