Sukses

KALEIDOSKOP SOSIAL: Kisah Waria Hingga Pencuri Sandal Jepit

Hingga menjelang berakhirnya 2012, bentrokan antarwarga kerap terjadi. Suku, agama, ras, jenis kelamin, menjadi pemicunya. Akankah persoalan ini tuntas dan tak akan terulang lagi pada 2013?

Hingga menjelang berakhirnya 2012, berbagai peristiwa kelam menodai Bumi Pertiwi. Bentrokan antarwarga kerap terjadi. Suku, agama, ras, jenis kelamin, organisasi massa, status ekonomi, sosial, dan bahasa menjadi pemicunya. Akankah persoalan ini tuntas dan tak akan terulang lagi pada 2013?

Pengamat sosial dan budaya Irfan Abu Bakar memprediksi hal itu masih mungkin terjadi. "Mungkin akan muncul di tempat lain, karena Indonesia ini kan luas. Yang nggak kebagian akan terjadi tergantung status sosialnya," kata Irfan di Jakarta.

Kawasan yang rawan terjadi konflik, tutur dia, adalah daerah yang cenderung homogen dan relasi antara kelompok yang berbeda belum terbangun dengan baik. Termasuk yang rawan adalah daerah yang belum punya pengalaman untuk hidup berdampingan dengan kelompok berbeda. Hal ini berbeda dengan kawasan yang di dalamnya terdapat masyarakat individual, berpendidikan tinggi, dan kurangnya pengalamannya terhadap perbedaan. Di kawasan seperti ini akan jarang terjadi konflik sosial.

Irfan menilai langkah pemerintah menindak tegas pelanggar hak asasi manusia sejauh ini sudah benar. Tapi efektivitas tindakan pemerintah tersebut masih dipertanyakan. Tindakan penanganan hukum tidak dilakukan dalam upaya untuk menyelesaikan atau memperkecil tindakan serupa di masa yang akan datang, tapi biasanya muncul karena tekanan dari berbagai pihak, kemudian melakukan tindakan kepada pelakunya.

"Dalam hal ini, elite agama juga bertanggung jawab bagaimana caranya melindungi keyakinan umat tanpa harus menjatuhkan korban orang lain," saran Irfan.

Berikut adalah kasus-kasus sosial yang mengiringi perjalanan 2012:

1. Waria

Kehadirannya selalu menuai kontroversi di masyarakat. Ada yang ektrem menolak, ada yang netral, ada pula yang menyambutnya. Akhirnya mereka pun seringkali menyingkir dan tersingkir dari kehidupan sosial masyarakat. Pada 3 Desember 2012, ormas FPI membubarkan secara paksa acara kontes kecantikan di antara sesama waria. Kontes yang bertajuk Miss Waria 2012 itu dituding tidak memiliki izin. Hal itu pun diiyakan Kepala Bagian Operasi Polres Metro Jakarta Selatan Ajun Komisaris Besar Yossi Prihambodo. Yossi menyatakan kegiatan yang diadakan di Gedung Nyi Ageng Tirtayasa, Kuningan, Jakarta, itu tidak mendapatkan rekomendasi dari Pemda DKI. Akhirnya acara yang dihadiri 400 peserta itu pun bubar juga. FPI mendapatkan laporan dari warga sehari sebelum acara berlangsung. Tidak hanya di Ibukota, kejadian serupa terjadi pula di Tegal, Jawa Tengah.

Bintang Idol Dangdut, sebuah kontes menyanyi yang diadakan para waria di Dedy Jaya Plaza, Kota Tegal, harus berakhir karena dibubarkan ormas Majelis Talim Darunnadzir Al Barokah. Sama seperti Miss Waria 2012, kegiatan Paguyuban Waria Tegal dan Shinta Management ini akhirnya pun urung dilaksanakan. Meski kecewa, para waria itu tak dapat berbuat banyak.

Untuk menyuarakan aspirasi kaumnya, Ketua Forum Komunikasi Waria se-Indonesia (FKWI) Yulianus Rotteblaut (50) mencalonkan diri sebagai komisioner Komnas HAM pada 20 Januari 2012, namun tak lolos. Keinginan waria yang akrab disapa Mama Yulie ini mendapatkan restu dari puluhan rekannya di FKWI. Sosoknya hadir untuk memperjuangkan kaum-kaum marginal, seperti halnya kaum transgender. Calon komisioner Komnas HAM yang kandas dalam fit and proper test di DPR pada 2007 lalu ini menuntut hak atas kaumnya dihargai sebagai warga negara. Perjuangan serupa dilakukan Dede Oetomo dengan menjadi calon komisioner Komnas HAM. Namun aktivis gay dalam komunitas Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender (LGBT) serta pendiri komunitas GAYa Nusantara ini kandas juga di DPR pada Oktober 2012.

Meski demikian kehadiran kaum waria mendapat perhatian lebih dari Wagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Lelaki yang akrab disapa Ahok ini mengingatkan waria pun makhluk ciptaan Tuhan yang harus diberikan hak dan mendapat tempat yang sama. Pria berkacamata ini pun mengimbau tegas penanganan penderita AIDS yang di antaranya adalah kaum waria. "Masak kalau ada keluarga kita seperti itu, apa mesti kita bunuh? Kita buang?" cetus Ahok. Tak salah memang jika pada Pilkada DKI Jakarta, kaum waria melalui Mama Yulie menyatakan dukungannya pada Joko Widodo alias Jokowi dan Ahok.

2. Konflik Beragama

Sulit Beribadah di 'Rumah' Sendiri. Majelis Jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin mengalami kesulitan menjalankan ibadah. Mereka tak bisa masuk ke GKI Taman Yasmin, Bogor, Jawa Barat karena disegel dan digembok warga. Peristiwa itu terjadi sejak 2010 hingga 2012. Mereka sampai mengadu ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan mendatangi Istana Merdeka, Jakarta Pusat, pada 12 Februari 2012 dan 11 Maret 2012. Para jemaat terus mendesak dan tak akan meninggalkan lokasi sampai mereka bisa beribadah di GKI Taman Yasmin. Apalagi mengingat mereka sudah mengantongi izin mendirikan gereja dari Mahkamah Agung dan rekomendasi Ombudsman.

Ahmadiyah, Terasing di Negeri Sendiri. Kekerasan juga dialami warga Ahmadiyah. Persoalan jemaah pengikut Mirza Ghulam Ahmad itu kembali mengemuka setelah kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, pada awal Februari 2011. Sejumlah ormas Islam pada 13 November 2012, kembali mendesak Pemerintah Kabupaten Sukabumi melarang segala aktivitas keagamaan Ahmadiyah dan membubarkan aliran tersebut. Di Cianjur, Jabar, massa FPI bahkan mendatangi masjid Ahmadiyah dan mengusir seorang warga yang sedang salat di dalam tempat ibadah. Pada 26 Oktober 2012, puluhan orang dari FPI Bandung Raya merusak kaca Masjid An Nasir milik jemaah Ahmadiyah di Astana Anyar, Kota Bandung.

Perseteruan Panjang Sunni Versus Syiah. Tak kalah panas terjadi konflik Sunni dan Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur, 26 Agustus 2012. Keributan dipicu penyerangan muslim Sunni terhadap warga Syiah di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang. Kasus ini berawal dari persoalan keluarga sejak 2004 antara Tajul Muluk dan Rois. Dari masalah pribadi kemudian menyebar di masyarakat luas.

Pertikaian pun berujung bentrok antarwarga yang terjadi pada 29 Agustus 2012. Insiden itu menewaskan dua orang dan lainnya cedera, serta belasan rumah dibakar. Korban meninggal adalah kakak beradik, Muhammad Khosim (45) dan Thohir (40). Usai kejadian itu banyak warga Syiah mengungsi dan menempati GOR Wijaya Kusuma sebanyak 276 orang. Majelis Ulama Indonesa (MUI) Kabupaten Sampang berencana menekan warga Syiah masuk Sunni jika ingin kembali ke Desa Karang Gayam. Ini mengingat masih ada 75 persen warga Syiah menolak masuk Sunni.

30 Jemaah Syiah di Sampang, sempat dipaksa menandatangani surat pernyataan pindah aliran dari Syiah ke Sunni. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya Andy Irfan Junaidi mengatakan, warga Syiah itu mendapat tekanan atau intimidasi untuk berpindah keyakinan atau akan dibakar rumahnya.

Dalam kasus ini Polri menetapkan Roisul Al Hukuma sebagai tersangka. Adik kandung Tajul Muluk, pimpinan Syiah Sampang itu mendekam di Polda Jawa Timur dan diadili di Pengadilan Negeri Surabaya. Rois dijerat pasal berlapis yakni, Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan, Pasal 354 tentang penganiayaan berat, Pasal 170 tentang pengeroyokkan dan perusakan, serta Pasal 55 dan 56, yakni turut serta membantu melakukan kejahatan.

3. Konflik Horisontal

Pertikaian Berdarah di Mesuji. Kasus pertikaian berujung maut warga di Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung sudah berlangsung lama, yaitu sejak 1996. Masalah yang sudah mengakar itu murni dipicu sengketa lahan warga dengan perusahaan. Anggota Komisi III DPR Azis Syamsuddin pun menilai sengketa tanah perkebunan kelapa sawit menjadi akar masalah utama kasus Mesuji, baik di Provinsi Lampung dan Sumatera Selatan.

Sementara anggota DPR Zainun Ahmadi menganggap hingar-bingar pemberitaan kasus Mesuji, baik di Kabupaten OKI atau di wilayah Lampung, tak menyentuh akar permasalahan. Zainun berpendapat banyak kasus serupa di Tanah Air, tapi selalu berujung tidak pada akar masalahnya yaitu salah urus agraria dan sumber daya alam. Anggota Komisi II ini menyatakan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Mesuji yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, lebih senang menganalisa kejanggalan dalam informasi yang disampaikan Mayor Jenderal Purnawirawan Saurip Kadi kepada DPR.

Pada tahap awal, TGPF Mesuji menyodorkan enam butir rekomendasi kepada pemerintah untuk penuntasan insiden sengketa lahan antara perusahaan dan warga yang menewaskan sembilan orang. Rekomendasi disampaikan Ketua TGPF Mesuji Denny Indrayana, saat melaporkan hasil investigasinya kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto di Jakarta, 2 Januari 2012. Berikutnya TGPF Kasus Mesuji merampungkan hasil penyelidikan mereka terhadap bentrokan, baik di Mesuji Lampung dan Sumsel, 16 Januari 2012.

Saat awal terjadi kehebohan jumlah korban tewas berjumlah 30 orang. Belakangan Polri merilis kronologis dan data penyelidikan terkait kasus dugaan pembantaian di Mesuji, Lampung dan Sumatera Selatan. Dari tiga peristiwa di Ogan Komering Ilir dan Lampung, Polri mencatat 9 orang meninggal dalam kurun waktu 2010-2011.

Kasus yang mengemuka di Mesuji antara lain masalah pengelolaan lahan milik adat di areal kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) Register 45 Way Buaya. Kejadian di Talang Pelita Jaya, Desa Gunung Batu, Mesuji, Lampung mencuat sejak Februari 2006. Selanjutnya, kasus sengketa tanah lahan sawit seluas 1533 hektar (ha) antara warga Desa Sodong, Mesuji, Sumsel dengan PT Sumber Wangi Alam (SWA) yang berakhir dengan tragedi pembantaian terhadap dua orang petani di tengah kebun sawit pada 21 April 2011.

Pada wilayah yang sama, sengketa tanah lahan sawit seluas 17.000 (ha) antara warga desa Sri Tanjung, Kagungan Dalam dan Nipah Kuning, Mesuji, Lampung dengan PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) yang puncaknya berujung pada kematian Zaini pada 10 November 2011.

Tolak Harga BBM Naik Berujung Aksi Anarkis Warga. Keputusan pemerintah menaikkan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi memicu gelombang protes warga di Jakarta dan daerah. Unjuk rasa mahasiswa berujung bentrok dengan aparat di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, 29 Maret 2012 malam. Pengunjuk rasa memblokade Jalan Diponegoro, sebagai bentuk penolakan rencana kenaikan BBM. Pos polisi yang dirusak massa membuat situasi tak terkendali. Serangan batu dan botol pun dibalas tembakan gas air mata aparat.

Masih di Jakarta. Forum Masyarakat Miskin berunjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta. Selain berorasi, demonstran juga menggelar spanduk berisi penolakan. Setali tiga uang dengan protes warga di Bogor Jawa Barat. Ratusan warga SUTET atau saluran udara tegangan ekstratinggi sekabupaten Bogor ramai-ramai mengubur diri selama sekitar lima jam. Seorang di antaranya pingsan saat beraksi.

Sementara unjuk rasa anti kenaikan BBM berlangsung anarkis di Ternate, Maluku Utara. Bandara Baabullah diserbu, fasilitas keselamatan bandara tak luput dari amukan massa. Ratusan mahasiswa di Kendari, Sulawesi Tenggara pun berunjuk rasa menolak kenaikan BBM bersubsidi. Mereka merusak mobil milik anggota DPRD Kabupaten Konawe Utara. Sedikitnya 25 mahasiswa diringkus dalam insiden itu. Kemudian seribu lebih mahasiswa di Pontianak, Kalimantan Barat yang berdemonstrasi menduduki halaman gedung DPRD Kalbar.

Sedihnya saat warga Jakarta berunjuk rasa menolak kenaikan, di daerah harga BBM malah sudah naik. Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Koordinator Wilayah Tengah Endang Kesumayadi mengatakan, survei Kadin terhadap 17 kabupaten di 4 provinsi yang berbatasan dengan negara, harga BBM bersubsidi di kawasan ini sudah naik jauh lebih tinggi dari Rp 1.000 per liter.

Pada akhirnya hasil rapat paripurna DPR disepakati untuk menunda rencana kenaikan harga BBM pada 1 April 2012. Dengan demikian harga BBM bersubsidi tidak jadi naik. Belakangan DPR membolehkan pemerintah menaikkan harga BBM tahun 2013 setelah RUU APBN 2013 disetujui menjadi UU.

Teror Berkepanjangan di Bumi Papua. Serangkaian penembakan masih terjadi di bumi Papua. Suasana ini mengusik ketenangan warga. Ini mengingat banyak korban tewas adalah warga, selain aparat kepolisian. Masih hangat terjadi teror tersebut dialami Beni Yamamo dan Piter Tumoka yang menumpang mobil Kepala Desa Nayaro, Papua. Beni cedera di dada kanan dan Piter terluka di kaki. Kendaraan mereka ditembaki orang tak dikenal (OTK) di Mile 37 area PT Freeport Indonesia. Atas kejadian itu, dua dari lima penumpang mobil terluka.

Anggota Brimob, Briptu Ronald yang sedang bertugas tewas ditembak orang tak dikenal. Kasus penembakan bermula saat Ronald bersama sembilan rekannya yang lain tengah berpatroli di Mile 37 Freeport, Papua, pada 7 Februari 2012 sekitar pukul 08.15 WIT.

Di kawasan areal Freeport juga mendapat teror. Seorang korban di antaranya Seperius Yamiru yang dirawat di Rumah Sakit Mitra Masyarakat, Timika. Seperius merupakan satu dari empat korban penembakan di areal PT Freeport. Tercatat penembakan di kawasan PT Freeport, sejak Juli 2009 hingga 9 Februari 2012 sedikitnya 15 orang tewas. Sedangkan 54 orang terluka.

Seorang wanita bernama Fredika Metal Neki misalnya. Perempuan berusia 38 tahun itu ditembak orang tak dikenal di kawasan Trans-Papua dekat Sungai Digul, Distrik Mandobo, Kabupaten Boven Digoel, 21 November 2012. Fredika tewas dengan bekas luka tembak di bagian pelipis kiri. Ketika itu, petugas menemukan Fredika dalam kondisi tak bernyawa. Dalam penyelidikannya Mabes Polri mendapati barang bukti peluru kaliber 4,5 mm, 1 selongsong peluru, tas, dan sandal yang diduga milik Fredika.

Korban lain yakni Pendeta Rika Metalmety. Sang pendeta yang bertugas selama sepuluh tahun di Gereja Betlehem, Boven Digoel ditemukan tewas di pinggir Jalan Trans Asiki, Merauke. Lokasi penemuan mayat berjarak sekitar 150 meter dari pos polisi Kalimak Boven Digoel. Diduga Pendeta Rika ditembak teman dekatnya yang merupakan seorang anggota TNI, 22 November 2012.

Beberapa hari kemudian, tepatnya 27 November 2012 beberapa orang kelompok bersenjata menyerang Markas Kepolisian Pirime, Lany Jaya, Papua, 27 November 2012. Kapolsek Pirime Ipda Rolfi Takubesi, Briptu Daniel Makuker, dan Briptu Jefri Rumkorem tewas dalam insiden itu. Polda Papua menangkap tujuh penyerang Mapolsek Pirime. Seorang di antaranya, YW (40) diciduk saat polisi menyisir sekitar Pirime. Sementara enam lainnya dibekuk pada 29 November 2012 di Distrik Piramid, Kampung Muara Game, Kabupaten Jaya Wijaya. Mabes Polri memastikan para pelaku terkait jaringan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

4. Perjuangan Hidup Pahlawan Devisa

Seringkali disebut sebagai pahlawan devisa, tak menjamin Tenaga Kerja Indonesia (TKI) menjalani hidup layaknya pejuang atau super hero yang tangguh. Mereka justru kerap dianggap sebagai pihak yang lemah dan menjadi korban penganiayaan. Di luar negeri sana, banyak dari TKI yang harus menelan pahitnya hidup di negeri orang. Tak digaji, dipukuli, diperkosa menjadi makanan mereka selama di perantauan. Itu yang sering diberitakan media tanah air.
 
Beredarnya selebaran iklan 'TKI On Sale' pada Oktober lalu menjadi topik hangat menjelang akhir tahun 2012. Dalam iklan tersebut, TKI ditampilkan layaknya barang komoditi. Dengan deposit 3.500 ringgit, warga Malaysia yang tertarik dapat segera menikmati jasa TKI yang dibandrol dengan harga 7.500 ringgit dan diskon sebesar 40 persen.

Menanggapi berita ini, pihak konsuler KBRI di Malaysia pun melakukan penyelidikan terhadap penyebar iklan itu. Pelacakan dilakukan demi menelusuri alamat yang tercantum pada selebaran iklan yang tersebar. Namun, hanya ditemukan tempat cukur bernama Southern's Guy di alamat yang tertera itu. Pada 1 November lalu, Pemerintah Indonesia melalui Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) meminta klarifikasi dan protes kepada pihak Malaysia terkait hal ini. Kecaman pun datang dari Kementerian Luar Negeri Malaysia. Mereka berjanji akan mengusut kasus yang diduga terdapat unsur human trafficking (perdagangan manusia) ini. Sementara ini, Kepolisian Malaysia sudah menetapkan dua orang sebagai tersangka. Belum diketahui jelas siapa dan apa motif di balik pembuatan iklan ini. Di sisi lain, anggota dewan pun berusaha meningkatkan perlindungan kepada TKI dengan merevisi UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri.

Berita miris pun datang dari Arab Saudi. TKI Satinah binti Jumadi yang berasal dari Jawa Tengah masih ketar-ketir menunggu kepastian hukuman matinya. Wanita berusia 40 tahun ini dituduh membunuh majikan perempuannya serta mencuri uang sebesar 37.970 Riyal Saudi (RS) pada 2009 lalu. Setelah proses panjang bertahun-tahun, pihak keluarga majikannya mau memaafkan Satinah. Dia bisa terhindar dari hukuman gantung jika membayar diyat sebesar 10 juta RS sebelum 14 Desember 2012. Angin segar berhembus pada pertengahan Desember. Meskipun pemerintah hampir kehabisan waktu menegosiasikan penurunan nominal diyat TKI Satinah, Arab Saudi memberikan kelonggaran 6 bulan untuk melunasi diyat itu. Selain Satinah, masih banyak TKI kita yang mengalami nasib serupa.

Kabar naas kembali datang dari Negeri Jiran. Seorang TKI wanita diperkosa 3 aparat polisi Diraja Malaysia. Kejadian bermula pada 9 November lalu saat TKI yang bernisial SM ini terjaring pemeriksaan dan hanya membawa fotokopi paspor. Alih-alih dibawa ke kantor polisi di Prai, Pulau Pinang untuk diproses, korban malah diperkosa. Bak sudah jatuh tertimpa tangga, begitulah nasib SM. Dia harus menahan malu saat media Malaysia ramai-ramai mengekspos identitas dirinya. Masyarakat Indonesia pun bertambah geram. Ketiga polisi pelaku aksi bejat itu tidak ditahan. Masing-masing hanya dikenakan denda sebesar 25 ribu ringgit dan wajib lapor sebulan sekali. Mereka pun diseret ke meja hijau. Setelah 12 Desember lalu persidangan urung digelar, hakim menjadwalkan sidang lanjutan pada 25 dan 26 Februari 2013 mendatang.

5. Pencuri Sandal Jepit dan Koruptor Kakap

Pencuri Sandal dan Koruptor dua kata tersebut sama-sama memiliki makna negatif, yakni sama-sama mencuri, mengambil hak orang lain tanpa seizin pemiliknya. Yang membedakannya adalah nilai atau kadar barang yang dicuri. Bila pencuri sandal jepit tentu hanya mendapatkan barang yang nilainya tidak lebih dari Rp 10.000, itu pun bekas pakai. Sedangkan, koruptor kakap mencuri uang negara dari rakyat yang jumlahnya bisa mencapai ratusan juta hingga triliunan rupiah. Keduanya layak dihukum dengan seadil-adilnya.

Namun hukum ternyata hanya masih tegas terhadap rakyat kecil. AAL, remaja berusia 15 tahun ini dibawa ke meja hijau karena dituduh mencuri sandal jepit di depan rumah kos Briptu Ahmad Rusdi di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Anehnya, peristiwa yang terjadi sekitar November 2010 silam itu baru dibawa ke pengadilan oleh sang korban yang nota benenya aparat penegak hukum enam bulan kemudian, pada Mei 2011 lalu, AAL pun diancam hukuman 5 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum karena melanggar pasal 362 KUHP. Meski akhirnya tidak dimasukkan penjara dan dikembalikan kepada keluarga oleh majelis hakim namun AAL menyandung status terpidana karena dinyatakan bersalah. Persidangan kasus pencurian yang mendapat sorotan media dan publik ini pun menuai kecaman. Massa menganggap persidangan ini mengada-ngada. Publik marah dan kecewa karena hukum sangat digdaya dengan kasus pencurian yang melibatkan rakyat kecil ini terlebih melibatkan pelaku yang masih di bawah umur. Sejumlah LSM pun menggalang aksi dukungan bagi AAL dengan mengumpulkan "1.000 sandal untuk Kapolri". Sedangkan pada kasus-kasus korupsi besar bernilai ratusan miliar hingga triliunan yang melibatkan pejabat publik hukum takluk tak berdaya.

Sebutlah kasus suap Rp 24 miliar terkait pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia dengan terdakwa Miranda Swaray Goeltom yang melibatkan Nunun Nurbaetie. Nunun yang notabene istri mantan Wakapolri Adang Darojatun itu sempat buron berpelesiran ke luar negeri. Adang yang seharusnya menjadi panutan rakyat sebagai anggota DPR dari Fraksi PKS ini selalu berkilah istrinya sedang "sakit". Nunun akhirnya bisa ditangkap KPK dan diseret ke pengadilan. Namun, panggung sandiwara hukum kembali ditampilkan. Nunun hanya dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 4 bulan kurungan. Nunun akhirnya hanya divonis 2,5 tahun dan denda Rp 150 juta subsidier 6 bulan. Putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta ini menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.

Kedua kasus tersebut sama-sama melibatkan unsur aparat hukum sebagai korban dan keluarga mantan petinggi polisi sebagai pelaku. Namun, lembaga hukum seperti kejaksaan, pengadilan, dan kepolisian masih saja pilih kasih dalam menegakkannya. Hukuman untuk Nunun jauh lebih kecil ketimbang AAL. Semoga tak terulang pada 2013 dan penegak hukum mendapat tempat di hati rakyat.

6. Bernafas dalam Lumpur Lapindo

Enam tahun lebih duka menyelimuti korban semburan lumpur panas Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Ratusan ribu warga dipaksa meninggalkan permukiman, lahan pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan akibat tenggelam menjadi lautan lumpur. Selain kerugian harta benda dan matinya roda perekonomian rakyat, semburan ini juga mengakibatkan kerusakan alam dan ekosistem yang dahsyat di wilayah tersebut. Hingga kini semburan lumpur bercampur gas yang berasal dari lokasi pengeboran Lapindo Brantas Incorporation di Dusun Balongnongo - Desa Rekonongo, Kecamatan Porong itu masih terus keluar. Data Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menyebutkan semburan tersebut mengeluarkan lumpur setidaknya 10 ribu hingga 15 ribu kubik per hari. Berbagai upaya telah dilakukan membuat pemerintah untuk mengatasinya, namun bencana yang terjadi sejak 29 Mei 2006 itu tetap tidak bisa dikendalikan, apalagi dihentikan.

Persoalan ganti rugi warga yang terdampak semburan lumpur panas masih juga belum selesai. Lapindo dengan kekuatan partai politik besar di belakangnya bermain mata dengan kekuasaan dengan mengalihkan tanggung jawab kelalaiannya kepada negara, seraya menyebutnya sebagai bencana nasional. Negara pun dibebani pembayaran ganti rugi kepada rakyat Sidoarjo melalui APBN. Sebagaimana hasil ahli geologi dunia konferensi internasional American Association of Petroleum Geologists (AAPG) di Cape Town, Afrika Selatan pada 2008 menyebutkan sebagian besar ahli 42 dari 58 ahli menyatakan adanya kesalahan pengeboran gas sebagai penyebab. Hanya tiga ahli yang menyebut sebagai bencana alam, ironisnya ketiga ahli tersebut berasal dari Indonesia.

Semburan lumpur Lapindo yang juga diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2007 lalu menemukan kesalahan teknis dalam proses pemboran sehingga mengakibatkan semburan lumpur dan gas berbahaya tersebut keluar. Upaya penegakan kasus tersebut secara pidana juga kandas. Kasus yang sudah menetapkan 13 tersangka dari Lapindo maupun subkontraktor itu akhirnya ditutup Kepolisian Daerah Jawa Timur. Polri melalui Wakil Kadiv Humas Anton Bachrul Alam yang sempat kritis kini malah bungkam seribu bahasa meski menjabat Kapolda Jawa Timur.
 
Persoalan ganti rugi korban Lapindo oleh negara  melalui APBN digugat lembaga lingkungan hidup Walhi dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia YLBHI juga kandas di Mahkamah Konstitusi awal Desember 2012. Menurut Walhi, gugatan ini bukanlah persoalan tidak peduli dengan nasib korban, melainkan ditunjukkan bagaimana negara bertindak tegas terhadap kejahatan korporasi yang merusak lingkungan serta seluruh sendi kehidupan dan perekonomian masyarakat Sidoarjo. Kejahatan tersebut seharusnya ditindak tegas dengan menyita seluruh harta benda Lapindo dan jika perlu "pemiliknya", bukan dibebankan kepada uang negara yang notabene dari kantong rakyat.

Namun pemerintah, DPR, dan institusi penegak hukum tak bertaring. Hingga menjelang penghujung 2012, lumpur panas Lapindo masih terus menyembur menenggelamkan Sidoarjo. Pembayaran ganti rugi pada korban pun tak kunjung tuntas. (Ais/Ndy/Adi)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini