Sukses

Suara dari Tanah Para Resi

Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, merupakan kota kecil yang menyimpan sejarah besar kerajaan nusantara. Peninggalan Kerajaan Buton, seperti rumah adat, masjid kerajaan hingga benteng dari batu gunung masih berdiri kokoh.

Liputan6.com, Baubau: Baubau pada masa abad ke-15 atau sekitar 1401-1499 Masehi adalah pusat Kerajaan Buton di bagian tenggara Pulau Sulawesi yang dijuluki negeri para Resi.

Sebutan ini tertulis dalam naskah Negarakertagama karya pujangga Majapahit Mpu Prapanca pada abad 14, periode tua yang menggambarkan Buton tanah dengan tradisi darah biru. Hingga kini, sisa-sisa peninggalan Kerajaan Buton masih tampak, seperti peninggalan rumah adat, masjid kerajaan hingga benteng dari batu gunung sepanjang hampir tiga ribu meter.

Bahkan, benteng Kerajaan Buton tercatat sebagai benteng terpanjang di Indonesia dan se-dunia berdasarkan kajian Museum Rekor Indonesia (MURI) dan Guiness Book of the Record yang dikeluarkan September 2006 lalu.

Saat berlangsung Festival Keraton Nusantara, sejumlah pewaris kerajaan Nusantara berkumpul di Baubau. Seketika itu pula wilayah Buton menjadi saksi hajatan akbar sesepuh keraton. Bagi mereka, acara dua tahunan ini sangat penting terkait peran kerajaan dan kesultanan di Tanah Air. Banyak pelaku sejarah sudah tiada dan pemeliharaan warisan budaya seakan terhenti.

Buton yang berdiri pada 1332-1960 berulang kali menorehkan tinta emas dalam sejarah. Cikal bakal Kerajaan Buton dirintis kelompok Mia Patamiana, yang artinya empat orang Sipanjonga, Sumalui, Sitamanajo, dan Sijawangkati. Keempat orang tersebut kabarnya berasal dari Semenanjung Tanah Melayu pada akhir abad ke-13.

Jejak keperkasaan Kerajaan Buton masih terlihat di pelosok kabupaten dari Buton, Muna, Wakatobi, Bombana, Buton Utara sampai Kota Baubau. Benteng Walio adalah peninggalan paling mencolok. Benteng yang dibangun pada abad ke-16 ini merupakan peninggalan Kesultanan Buton ketiga bernama La Sangaji bergelar Sultan Kaimuddin.

Pada awalnya, Benteng Walio hanya dibangun dalam bentuk tumpukan batu yang disusun mengelilingi kompleks istana. Tumpukan batu tersebut dibuat sebagai pagar antara kompleks istana dengan masyarakat.

Pada masa Sultan Buton Keempat La Elangi atau Sultan Dayanu Ikhsanuddin, tumpukan batu ini diubah menjadi bangunan permanen. Sejak itu pula keberadaan Benteng Keraton Buton mempunyai pengaruh besar terhadap eksistensi kerajaan maupun Kesultanan Buton. Benteng tersebut berulang kali menjadi tempat perlindungan dari serangan musuh.

Benteng tersebut memiliki arsitektur yang cukup unik yang terbuat dari batu kapur dan gunung. Berbentuk lingkaran dengan panjang keliling sekitar 2.740 dengan luas sekitar 23 hektare. Tak heran bangunan kokoh ini tercatat sebagai benteng terluas di dunia. Letaknya yang berada di puncak bukit membuat benteng ini menjadi tempat pertahanan terbaik di zamannya.

Jika berdiri di benteng akan terlihat pemandangan Kota Baubau dan hilir mudik kapal di Selat Buton. Dengan begitu, prajurit Kerajaan Buton mengetahui jika ada tentara musuh datang menyerang.

Namun, Kesultanan Buton sempat vakum selama 52 tahun. Terakhir, La Ode Muhammad Falihi tercatat sebagai Sultan Buton ke-38 pada tahun 1960-an. Uniknya, belakangan ini La Ode Muhammad Djaffar dilantik untuk meneruskan kepemimpinan Sultan Buton. (ADI/FRD)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.