Sukses

Kesia-siaan Dua Jeda Kemanusiaan

Program mulia bernama Jeda Kemanusiaan dinilai tak berjalan secara efektif. Beberapa catatan mengungkapkan situasi malah tak keruan sejak Jeda diberlakukan.

Liputan6.com, Jakarta: Sejatinya, kekerasan tak terjadi ketika Jeda Kemanusiaan diberlakukan. Tapi, fakta berbicara lain. Ketimbang sebelum penerapan, ternyata, situasi keamanan kian tak keruan setelah program perdamaian antara pemerintah Indonesia dan kelompok separatis di Aceh itu berjalan. Kerap kali terjadi, rakyat Aceh terpaksa mengungsi dan terkurung dalam ketakutan. Ironisnya, sampai-sampai jeda diselenggarakan sebanyak dua kali.

Kenyataan tak sedap itu cukup terekam dari pembeberan data Komandan Resor Militer 012 Teuku Umar Kolonel CZI Syafruddin Tippe, beberapa waktu silam. Menurut data yang dia pegang, tingkat gangguan keamanan di Tanah Rencong meninggi. Sebagian besar perangkat pemerintahan lumpuh, khususnya di tingkat kecamatan dan desa. Di masa Jeda Kemanusiaan itu, menurunnya angka masyarakat yang mengibarkan bendera Merah Putih saat perayaan hari Kemerdekaan RI malah nyata benar. Maklum, menurut Tippe lagi, masyarakat sudah terlalu terprovokasi akan kacaunya situasi selama jeda diberlakukan.

Tippe memegang satu buku yang berisi prosentase jebloknya tertib sipil di Aceh. Ada trend bahwa kejadian khusus meningkat secara drastis, terutama lumpuhnya perangkat pemerintahan sipil di Aceh. Penyebabnya, stempel desa umumnya sudah diambil alih GAM. Itu menurut Tippe. Dari peta konflik Aceh yang ia data menujukkan, selama 13 bulan sebelum jeda kemanusian (1 Mei 1999 sampai 1 Juni 2000) bila dibandingkan selama berlangsungnya jeda kemanusian, secara umum dari 19 jenis kasus yang terjadi memang ada penurunan. Tetapi, beberapa kasus justru meningkat. Di antaranya, kasus pengancaman. Dari 1,57% naik menjadi 2,54% per bulan.

Terkesan betapa jeniusnya seorang Tippe menguasai angka-angka pecahan dan prosentase di dalam benaknya. Boleh jadi Tippe menghapal, atau justru dia sendiri yang mengolah data itu sehingga sangat dia kuasai. Tanpa melihat teks, Tippe menjawab lancar pertanyaan Kontras tentang prosentase pengibaran bendera GAM. Dari hanya 2,62% dulu, sekarang meningkat jadi 6,3% setiap bulan. Latihan GAM, yang tadinya hanya 0,3% menjadi 1,27%. Ceramah GAM dari 0,8% menjadi 1,27% per bulan. Boleh jadi, GAM sendiri tak punya data seakurat ini. Tapi, itulah kelebihan Tippe, perwira karier yang bukan saja bergelar master, tapi kini malah sedang ikut program doktor di Universitas Indonesia.

Arus pengungsi pun, menurutnya, naik. Dari 0,1 menjadi 1,9% per bulannya. Perampasan stempel desa dari 4,8 meningkat tajam menjadi 61,1%. "Dengan dirampasnya stempel desa, maka penyelenggaraan pemerintahan di tingkat kecamatan dan desa di Aceh kini menjadi lumpuh," bebernya.

Angka 61,1% yang disebut Tippe perlu digarisbawahi. Soalnya, menurut sebuah sumber, ada batasan di kalangan aparat keamanan bahwa darurat sipil layak diberlakukan bila di suatu daerah sudah lebih dari 60%, tapi masih di bawah 80%, aktivitas pemerintahan sipil lumpuh.

Di Aceh, kata Tippe, sebelum dilakukan Jeda Kemanusiaan, tertib sipil di Aceh yang terganggu hanya 4,5%. Tapi, pada masa diberlakukan jeda, 2 Juni-17 Agustus 2000, meningkat menjadi 61,4%. Artinya, pemberlakuan darurat sipil di Aceh sudah memasuki ambang koridor. Tegasnya, ya memang berpeluang diberlakukan seperti diisyaratkan Tippe. Berdasarkan fakta-fakta yang diterima Danrem, selama dua setengah bulan jeda kemanusiaan di Aceh, pemerintahan di Aceh sudah lumpuh sampai 61,1%. "Nah, kalau nanti jeda diperpanjang, dikhawatirkan kelumpuhan pemerintahan ini akan lebih parah lagi," timpal Tippe.

Sebetulnya, indikator-indikator yang dikemukakan Tippe bukan hal baru bagi masyarakat Aceh. Sebelum jeda pun kita sudah dengar ribuan kepala desa mundur dan menyerahkan stempelnya. Pengungsi juga sangat fluktuatif terjadinya, ada atau tanpa ada jeda. Demikian pula, misalnya, kasus pemerasan atau pungutan liar yang ternyata tak cuma dilakukan oknum GAM.

"Jadi, saya kira, angka-angka itu bukan tak mungkin subyektif untuk keuntungan sepihak. Sekaligus menjadi alasan pembenar diberlakukannya darurat sipil dan penyetopan jeda kemanusiaan yang sejak awal antara TNI dan sipil ternyata punya kader optimisme yang berbeda mengenai jeda," ujarnya. Terserah apa tanggapan orang. Tippe yang perwira-akademisi mengaku bahwa pihaknya selama ini rutin memonitor jeda kemanusiaan. "Selama jeda kemanusiaan berlangsung bisa tanyakan kepada rakyat, apakah mereka ada menerima bantuan. Apa bukan sebaliknya, masyarakat justru mengeluarkan uang terus, yang katanya, untuk biaya perjuangan. Tapi, perjuangan yang mana? Inilah yang harus kita nilai dan evaluasi secara objektif," kata Syarifudin Tippe.

Kolonel Tippe punya kesaksian di lapangan bahwa perangkat pemerintahan di Aceh, terutama di tingkat desa dan kecamatan, pada umumnya sudah lumpuh. "Dan, di masa darurat sipillah, pasukan keamanan dimungkinkan untuk dioperasikan di daerah-daerah yang dianggap lumpuh tadi," ujar Drs Dahlan TH, wartawan yang selama ini intens mencermati persoalan keamanan di Aceh (Baca: Apa Itu Darurat Sipil).

Misalnya, lembaga-lembaga pemerintah yang selama ini tidak berfungsi, mulai dari tingkat desa sampai kabupaten, akan difungsikan oleh pasukan tadi di masa darurat sipil. "PNS yang dulunya tak berani masuk kantor, akan dipanggil lagi untuk masuk lagi dan dikawal. Sehingga jelas, siapa pengganggu dan siapa yang tidak mengganggu," beber Dahlan yang pada prinsipnya juga menolak pemberlakuan darurat sipil, jika ternyata masih ada solusi lain yang lebih humanis. Barangkali benar, seperti dikatakan Farhan Hamid, darurat sipil adalah sebuah mimpi buruk.

Kaum separatis GAM menuduh petugas keamanan yang menakuti warga. Namun, petugas justru menganggap GAM yang menakut-nakuti mereka untuk menarik perhatian. Kisah pahit ini masih ditambah menjelang bulan Ramadhan 2000, ketika sekitar 5.000 pengungsi Aceh Utara yang tinggal di Kampus Politeknik Lhokseumawe banyak yang sakit. Bahkan, bayi-bayi kurang gizi, dan anak-anak tak bisa bersekolah.

Pengungsi bilang, terpaksa pindah karena ketakutan. Maklum, konfrontasi bersenjata antara aparat keamanan dan anggota kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka tak pernah reda. Karena itu, mereka memilih mencari tempat yang jauh dari pos komando keamanan. Sejumlah pengungsi yang ditemui wartawan di lokasi menyatakan, nasib mereka benar-benar tergantung pada niat baik Komite Jeda Kemanusiaan yang berkedudukan di Banda Aceh. Mereka berharap bisa dikembalikan ke desanya sebelum Megang, hari memotong ternak. Acara tersebut sudah menjadi tradisi di Bumi Rencong menjelang Ramadhan dan Idul Fitri.(BMI)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini