Sukses

Keluarga Pahlawan Revolusi Mencoba Berdamai dengan Realita

Kepedihan mengenang kematian Pejuang Revolusi tak bisa dihapuskan keluarga yang ditinggalkan. Meski sulit, mereka mencoba berdamai dengan realita.

Liputan6.com, Jakarta: Tragedi Gerakan 30 September 1965 menorehkan luka dalam di hati keluarga para Pahlawan Revolusi. Tiga dasawarsa sudah insiden berdarah ini terjadi, tapi upaya berdamai tetap menjadi lara tersendiri. "Ini hal yang sulit diingkari dan diabaikan, karena akan selalu muncul. Apalagi menjelang 30 September," kata Nani Nurrachman Soetoyo, anak kedua Mayor Jenderal Anumerta Soetoyo Siswomiharjo ketika berbincang dengan reporter SCTV Rosianna Silalahi dari Studio Liputan 6 Jakarta, Senin (30/9) petang. Nani mengaku hanya mampu berusaha berdamai, tapi tak bisa menghilangkan realitanya.

Dosen Universitas Indonesia ini mengatakan, bagian yang paling menghantui adalah ketika Ayah--panggilan buat Mayjen Seotoyo--diculik dari rumah. Ia dan keluarga memang tak melihat para penculik menyiksa Ayah seperti yang dialami Jenderal Ahmad Yani. "Tapi, kami tersiksa karena tidak pernah tahu nasib dan kondisi Ayah selama diculik," ujar doktor bidang psikologi itu, termenung. Nani ternyata memang tak bisa melihat ayahnya kembali. Karena kabar terakhir kematian Soetoyo akhirnya sampai ke telinga mereka.

Ingatan Nani pun kembali ke 37 tahun lampau. Kala itu, ia sempat bertengkar dengan ayahnya dan kabur ke Jalan Sumenep. Sebelum peristiwa berdarah itu terjadi, Nani diajak berdamai. "Sudah ya Papa pergi dulu," kata Nani, mengutip ucapan ayahnya. Rupanya kalimat tersebut penghujung pertemuan mereka. "Saya menerimanya sebagai suatu penutup dari perjalanan kita bersama. Saya hanya ingin mengenangnya," ujar dia.

Nani berharap peristiwa pemberontakan G 30 S PKI tak saja dipahami sebagai persoalan politik kebangsaan, tetapi juga harus dipahami sebagai masalah kemanusiaan. Dengan begitu dendam politik, tindak kekerasan, dan pemutarbalikan sejarah tidak terulang. Menurut Nani, meski tak mudah mereka hanya bisa memaafkan tanpa melupakan peristiwa tersebut. "Itu (pemberontakan) dilakukan sama-sama oleh manusia. Kita tak dapat mengungkapnya secara utuh karena selalu ada sisi gelap dari sebuah peristiwa," kata Nani menutup pembicaraan.(KEN)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.