Sukses

Ada Kekhawatiran Nilai Pancasila Tergerus oleh Kapitalisme

Wajah keislaman berikut nilai-nilai keindonesiaan dengan semangat Pancasila, yang sejak lama tumbuh kuat di tanah air kini menghadapi ketergerusan akibat meluasnya praktik kehidupan serba konsumtif yang sekadar mengedepankan kepuasan individu.

Liputan6.com, Jakarta: Wajah keislaman berikut nilai-nilai keindonesiaan dengan semangat Pancasila, yang sejak lama tumbuh kuat di tanah air kini menghadapi ketergerusan akibat meluasnya praktik kehidupan serba konsumtif yang sekadar mengedepankan kepuasan individu.

Hadirnya fenomena itu jelas mengabaikannya aspek kesadaran sosial dalam mengupayakan kemartabatan hidup masyarakat baik ekonomi maupun politik. ”Terpinggirkannya warna keislaman dan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat terutama dalam corak sosialnya, semata-mata karena merajalelanya budaya kapitalisme di negara ini yang semakin dinikmati oleh para pemimpin dan kelompok menengah atas,” jelas Ketua Dewan Direktur Lembaga Kajian Publik Sabang-Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan, saat berbicara dalam seminar ”Hubungan Islam dengan Negara Pancasila di Era Reformasi” di Jakarta, Selasa (26/6).
 
Acara yang diadakan Islamic Banking and Finance Institute (IBFI) Trisakti bekerjasama Ibrahim Hosen Institute (IHI), itu juga menghadirkan pembicara lain di antaranya Gubernur Lemhannas, Budi Susilo Supandji, Rektor Universitas Wahid Hasyim, Semarang, Noor Ahmad, Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda, Hamid Fahmi Zarkasi, Wakil Sekretaris Majelis Ulama Indonesia, Amirsyah Tambunan, serta Jenderal (Purn) Wiranto yang membuka seminar tersebut.
 
Syahganda mengatakan, perdebatan panjang oleh para pemuka bangsa dalam mengharmonikan Islam dan Pancasila demi mengukuhkan persatuan nasional, ternyata semangat historisnya telah dikubur dalam-dalam sekaligus tidak mengemuka ke permukaan selama era reformasi.
 
”Masyarakat tidak lagi menjadikan prinsip keislaman dan berpancasila sebagai pedoman jati diri bangsa untuk merajut persatuan serta menciptakan keadilan sosial. Hal itu lantaran sepenuhnya dicekoki oleh paham kapitalisme global, sehingga membuatnya terjebak dalam kehidupan yang hedonis, pragmatis, egois/individualistik, dan terlanjur materialistik,” ujar kandidat doktor ilmu kesejahteraan sosial Universitas Indonesia itu.
 
Ia menambahkan, situasi keberadaan bangsa bahkan ditentukan oleh para pemilik modal dan bukan lagi berdasarkan nilai-nilai luhur beragama, termasuk dengan meninggalkan Pancasila yang seharusnya dipertahankan.
 
Pada sisi lain, aku Syahganda, kemajemukan bangsa pun dilepaskan dari ikatan Pancasila, yang menjadikan makna persatuan tidak terkelola dengan baik karena dihadapkan pada kepentingan kelompok atau perseorangan yang lebih kuat, sementara keislaman juga menghadapi desakan nilai-nilai yang dipaksakan seperti pengaruh liberalisme tanpa batas dari kekuatan asing, hingga kondisi umat Islam berada dalam kecemasan dan ketidaknyamanan.
 
Ia juga menyebutkan, dalam bidang politik bebas pascarezim Soeharto yang dimulai sejak era reformasi, masa depannya yang cenderung tak terbungkus Pancasila itu, dikuatirkan melahirkan penguasaan hidup rakyat secara membabi-buta atas keserakahan politik uang dari kekuasan kaum pemodal, untuk kemudian menjauhkan harapan rakyat terhadap kemajuan hidupnya di berbagai bidang khususnya kesejahteraan ekonomi. (ARI)
 
 
 
 
 
 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.