Sukses

Memburu Penjahat, Polisi Justru Tewas Dihakimi Massa

Dua anggota Polres Kuningan, Jabar, tewas dihajar massa saat mengejar pencuri sepeda motor. Warga malah mencurigai keduanya sebagai begal motor. Penyidikan kasus ini diharapkan melibatkan pihak independen.

Liputan6.com, Majalengka: Suasana Desa Sindangpanji, Kecamatan Cikijing, Majalengka, Jawa Barat, terusik. Desa kecil itu menegang dalam dua pekan terakhir. Bahkan, hingga saat ini ketegangan masih terasa, itu tampak dari wajah warga desa yang rata-rata bermata pencaharian sebagai petani.

Sebenarnya, warga tak perlu tegang seandainya, pekan terakhir Agustus silam, tak beramai-ramai mengeroyok dua personel polisi hingga tewas. Namun peristiwa itu sudah telanjur. Brigadir Dua Polisi Mayan Rapiana dan Bripda Asep Irawan meregang nyawa di tangan ratusan warga Desa Sindangpanji. Kedua korban adalah anggota Kepolisian Resor Kuningan, Jabar.

Pengeroyokan berawal ketika seorang tukang ojek desa setempat bernama Pulung bin Samu bersama keponakannya dicurigai mengendarai sepeda motor bodong. Kecurigaan dua polisi muda itu dilanjutkan dengan menguntit Pulung. Namun, usaha pengejaran tak berjalan mulus lantaran jalanan sangat ramai serta Pulung ngibrit dan tancap gas. Merasa sasaran operasi kabur dan tak mungkin dikejar, Asep dan Mayan beristirahat di pinggir jalan.

Di luar dugaan, Asep dan Mayan, justru malah didatangi Pulung. Namun, kali ini tukang ojek itu tak bersama keponakannya, melainkan bersama ratusan warga sekampung dan puluhan tukang ojek. Wajah mereka tak menampakkan keramahan. Mereka bahkan meneriaki kedua polisi itu sebagai perampas sepeda motor. Upaya Wayan dan Asep mengeluarkan kartu anggota Polres Kuningan tak digubris. Massa yang penuh amarah mengepung kemudian menghajar dan memukul kedua polisi itu secara membabi buta.

Seorang warga yang melintas dengan mobil merasa iba. Dia berusaha menyelamatkan kedua polisi itu untuk dibawa ke balai desa atau markas polisi terdekat. Namun, amarah massa sudah memuncak. Pertolongan itu menjadi hal yang sia-sia. Warga memaksa pengendara mobil untuk menyerahkan kedua polisi nahas itu. "Mereka berteriak-teriak berentiin, berentiin, dan mobil saya dipalang sama motor," kata Momon, sopir mobil, yang menolong kedua polisi tersebut.

Setelah Asep dan Mayan dipaksa keluar dari mobil, massa langsung mengepung dan kembali memukul mereka. Amuk massa makin menjadi, kendati aparat desa dan tiga anggota Polsek Cikijing serta seorang tentara berusaha keras menghentikan aksi brutal itu. Massa benar-benar sudah gelap mata. Mereka terus memukuli dan menyeret korban sejauh 500 meter. Entah siapa yang mulai, tiba-tiba, byaar, massa membakar kedua polisi itu. Api terlihat menjilati tubuh mereka.

Peristiwa ini mengagetkan personel Kepolisian Resor Majalengka. Mereka langsung terjun ke lapangan dan menyisir lokasi kejadian. Hanya dalam waktu sekejap, polisi menangkap 113 warga desa yang diduga terlibat dalam aksi pengeroyokan dan pembakaran. Setelah diperiksa, polisi akhirnya hanya menetapkan 33 warga sebagai tersangka. Sedangkan sisanya dibebaskan. "Dalam pemeriksaan polisi tidak balas dendam. Polisi hanya bertindak cepat untuk segera menangkap pelaku. Bila dibiarkan berlarut akan terjadi gerakan tutup mulut," kata Kepala Polres Majalengka Ajun Komisaris Besar Polisi Muktiono.

Penyesalan memang selalu datang terlambat. Belakangan massa percaya kedua korban benar-benar polisi setelah Kepala Desa Sindangpanji Adang Suartono menunjukkan kartu pengenal kedua polisi itu. Tersangka Pulung mengaku, sebelum pengeroyokan ia merasa kaget dan takut lantaran terus dibuntuti dua orang tak dikenal. Apalagi kedua polisi itu sempat mencegatnya di tengah jalan. Pendapat senada juga dikemukakan tersangka Endang Suhendar. Ia juga sebelumnya tak percaya kalau kedua orang itu polisi. Dia ikut memukul lantaran kasus perampasan motor sudah sering terjadi di kawasan tersebut. "Saya ikut memukul karena keduanya disangka garong," kata Endang.

Sedangkan tersangka Dede yang ikut membakar korban mengaku tak kuasa menolak lantaran khawatir dituduh sebagai komplotan pencuri sepeda motor. Selain itu, ia juga percaya keduanya adalah begal sepeda motor. Sedangkan keputusan untuk membakar korban adalah gagasan beberapa orang yang sebenarnya sudah tahu bahwa keduanya adalah polisi. Alasan yang sama juga dikemukakan Iis, satu-satunya tersangka perempuan. Ia mengaku menyesal ikut mengeroyok. Namun diakuinya saat itu, ia tak bisa menahan diri lantaran sangat dendam pada begal motor yang marak di desa itu.

Insiden pengeroyokan itu adalah pukulan berat bagi Sudaryanto, ayah Mayan. Kendati sudah menjadi risiko sebagai polisi, kepergian anak untuk selamanya tetap menjadi duka yang tak terperi buat warga Padalarang ini. Apalagi kematian anaknya lantaran dikeroyok massa. Sangat tragis. "Jam 10.00 WIB ia masih menghubungi keluarga. Bahkan, saya sempat sembahyang Duha untuk dia. Belum ada kecurigaan di benak saya. Tau-taunya, ada berita dari Kuningan," tutur Sudaryanto.

Di mata keluarga, Mayan yang kerap dipanggil komandan, bukan hanya sosok yang dikagumi. Pemuda berusia 23 tahun itu sudah dianggap pahlawan keluarga. "Anak ini harapan saya dan adik-adiknya. Namun semua harapan itu hancur. Ya, Allah," tutur Widaningsih, ibunda korban, terisak. Bahkan, Sudaryanto mengistilahkan anaknya itu sebagai pelor bagi keluarganya.

Luka yang sangat mendalam juga dirasakan Sani Rohani, istri Mayan yang baru dinikahi lima bulan silam. Dengan nada putus asa, Sani mengaku sangat kehilangan suaminya. Rasanya seperti kehilangan masa depan. "Dia itu nggak ingin istrinya jadi wanita karir, dia ingin istrinya selalu di rumah mendampinginya ," kata Sani, mengenang.

Duka yang sama juga dirasakan keluarga Oon Gunawan, warga Ciawigebang, Kuningan. Oon mengaku kematian anaknya, Asep Irawan, sangat menyakitkan. "Ketika mendapat berita dia meninggal, saya langsung pingsan," kata Oon. Demikian juga dengan Ius Rustiyah, ibunda pemuda berusia 25 tahun ini. Ia mengaku sangat terkenang dengan ucapan Asep yang tak buru-buru menikah dengan alasan untuk membahagiakan keluarga. "Teman-temannya banyak yang pada nikah, tapi anak saya belum menikah. Dia bilang nikah itu gampang," tutur Ius.

Di tengah tewasnya kedua anggota polisi beredar kabar tak sedap. Asep yang anggota Satuan Lalu Lintas dan Mayan angggota Provost Polres Kuningan dinilai tak berwenang untuk menyelidiki kasus pencurian sepeda motor. Sebab, lazimnya operasi seperti itu dilakukan satuan reserse. Namun, penilaian itu dibantah Kepala Polres Kuningan Ajun Komisaris Besar Polisi Adios Salopa. "Ini sesuai KUHAP bahwa anggota Polri itu adalah penyelidik. Kecurigaan itu tidak tepat karena penyelidikan bukan hanya tugas satuan tertentu dalam kepolisian," kata Adios, menegaskan.

Menurut pakar hukum pidana Rudy Satryo, kasus di Majalengka itu tak bisa dilihat hanya dari satu sisi. Tindakan main hakim sendiri memang tidak bisa dibenarkan, namun alasan massa berlaku demikian sebaiknya dipertimbangkan dalam proses penyidikan. "Bisa jadi benar, si penegak hukum ini ingin menegakkan hukum untuk menangkap si pencurinya. Tapi bisa jadi benar juga yang mau ditangkap itu mengatakan saya mau dikejar oleh maling. Karena posisi sama-sama tidak tahu," kata Rudy. "Kalau dua personel polisi berinisiatif melaksanakan tugas maka harus dihormati. Tapi kalau ada motif-motif lain maka kasus itu harus dibuktikan apakah memang benar ada persoalan lain dari apa yang telah ia laksanakan itu," tambah Rudy.

Untuk mengungkap hal yang sebenarnya, menurut Rudy, penyidikan harus melibatkan pihak independen dan tidak hanya diselidiki polisi. Kasus ini menarik lantaran korbannya anggota polisi. "Tetapi agar obyektif penyidikannya harus melihatkan pihak yang netral," kata Rudy, memberi saran.(YYT/Tim Derap Hukum)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.