Sukses

Api Kekerasan di Suriah, Sampai Kapan?

'Arab Upspring' terjadi di Timur Tengah dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Suriah pun terkena imbas perlawanan rakyatnya. Aksi kekerasan hingga kini terus terjadi.

Liputan6.com, Jakarta: Rentetan perubahan besar melanda beberapa negara di kawasan Arab. 'Arab Upspring' terjadi di Timur Tengah dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Perubahan itu ditandai oleh tumbangnya para pemimpin yang sangat berpengaruh dan telah berkuasa secara otoriter puluhan tahun.

Revolusi di tanah Arab itu diawali dari negeri Tunisia. Kekuasaan Presiden Ben Ali yang korup tumbang oleh percikan api perlawanan yang dilakukan pemuda pedagang asongan. Percikan api antikediktatoran merembet ke Mesir. Rezim Hosni Mubarak yang korup dan berkuasa puluhan tahun itu pun ambruk.

Api perlawanan rakyat atas kekuasaan kaum diktator meluas hingga menginspirasi kawasan utara Benua Afrika. Negeri Libia pun dijilat api revolusi perlawanan rakyat. Penguasa absolut diktator Muammar Khadafi runtuh. Bahkan nyawa pemimpin Libia yang sempat menyatakan diri antibarat itu meregang di tangan rakyatnya sendiri. Khadafi tewas ditembak.

Kini Bahrain dan Suriah juga bergolak. Setahun sudah Suriah dilanda situasi krisis politik dan sosial. Sebagian rakyatnya menentang dan angkat senjata melawan kekuasaan Presiden Bashar al-Assad. PBB mencatat 10.000 ribuan warga tewas akibat aksi kekerasan di Suriah. Ratusan jiwa kini menjadi pengungsi [baca: Ribuan Warga Suriah Kabur ke Turki]. Sementara sekitar 150 ribu orang ditangkap dan dipenjara oleh penguasa.

Ancaman sanksi dari negara-negara yang masuk dalam komunitas Liga Arab nyaris tak digubris Presiden Assad. Demikian pula, tekanan yang disampaikan Barat seolah tak dianggap penguasa Suriah itu. Bentrokan bersenjata dan aksi kekerasan terus terjadi dan memakan korban jiwa warga sipil. Pemerintah pendukung Presiden Assad menghadapi kelompok oposisi dan kaum pemberontak sipil dengan kekuatan militer dan senjata berat. Krisis Suriah telah berlangsung lebih dari setahun dan tercatat sebagai kondisi terburuk yang paling lama dibanding krisis di Tunisia, Mesir, dan Libia.

Pihak oposisi menyatakan, sebanyak 130 tank dan kendaraan lapis baja telah menyapu bersih wilayah Deraa, Idlib, dan kawasan pantai dekat al-Haffa.

"Mereka telah membumihanguskan tempat kelahiran kita," kata seorang warga yang menjadi korban aksi militer pemerintah.

Apa yang sebenarnya terjadi di Suriah?

Dalam sebuah diskusi tentang Suriah yang dilakukan oleh para mahasiswa Muslim Scientist Community Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta terungkap bahwa biang dari krisis berkepanjangan di Suriah itu tak bisa dilepaskan dari andil Amerika Serikat dan Inggris.

Menurut mahasiswa S2 program studi Kajian Timur Tengah, Ahmad Jaelani, AS dan Inggris telah menggunakan kelompok oposisi untuk upaya menumbangkan Assad.

Pasti ada kepentingan ekonomi dan politik di balik tekanan Barat atas Presiden Assad dan dukungannya atas perlawanan kaum demonstran. Analisis ini berdasarkan pada tinjauan historis, ketika Inggris menguasai Suriah di masa pemerintahan boneka Presiden Shukri al Quwatli (1943). Kemudian AS mulai ikut campur di negeri tersebut pada 1949 yang menyebabkan adanya konflik kepentingan imperialistik antara Inggris dan AS. Beberapa kali pergantian presiden terjadi di negeri ini. Di antaranya, penggulingan Shukri al Quwatli oleh Jenderal Husni Zaim, 30 Maret 1949. Husni Zaim dikenal punya hubungan sangat dengan AS. Tak lama setelah itu, hanya berselang waktu lima bulan, Kolonel Sammi al Hinnawi melakukan kudeta. 

Revolusi terus berulang. Kolonel Adib al Syisyakli menumbangkan Kolonel Sammi al Hinnawi, Desember 1949. Di masa kekuasaan Adib al Syisyakli, Suriah sempat bersatu dengan Libanon pada 1950. Hanya empat tahun berkuasa, Kolonel Adib pun digulingkan oleh kaki tangan Inggris dengan dukungan Irak.
 
Situasi tak menentu terjadi di Suriah. Parlemen lemah dan konstitusi tak kuat. Dalam kondisi itulah muncul tokoh baru Hafez al Assad pada 1971. Tokoh ini yang didukung Partai Baath dalam perkembangannya kemudian sangat berpengaruh di kawasan Timur Tengah. Hafez Assad berkuasa selama 30 tahun. Selama pemerintahannya, militer begitu berkuasa.

Pengaruh AS terhadap Suriah masih saja begitu besar. Bahkan setelah Bashar al-Assad menggantikan ayahnya, Hafez al Assad menjadi presiden (10 Juni 2000), pengaruh AS tetap saja dominan. Pihak oposisi menuduh banyak kebijakan pemerintahan Assad yang lebih menguntungkan diri dan kelompoknya. Itulah yang kemudian membuat rakyat bergolak. Rakyat di antaranya menuntut dicabutnya Undang-Undang Darurat 1963 yang amat mengungkung kebebasan warga negara dan media massa.  

Ketika Presiden Bashar al-Assad kemudian mencabut UU Darurat pertengahan April lalu [baca: Suriah Umumkan Pencabutan UU Keadaan Darurat], rakyat sudah telanjur kecewa dan justru berkembang menuntut dirinya mundur. Perlawanan rakyat kian melebar dan kelompok anti-Assad makin membesar dan menyebar ke seluruh Suriah. Krisis Suriah pun semakin panjang dan dunia pun ikut terkena getahnya [baca: Suriah Kembali Tegang, Minyak Naik Lagi].
 
PBB ikut turun tangan membantu memperbaiki situasi di Suriah. Namun Presiden Assad sepertinya tak menggubris. Kelompok Liga Arab pun berupaya mengutus mantan Sekjen PBB Kofi Annan untuk membantu mencari solusi damai atas krisis yang terjadi di Suriah, tapi belum juga mendapatkan hasil. Kekerasan terus terjadi, gencatan senjata tak berjalan dan bahkan dilanggar [baca: Annan Gagal Bujuk Assad Hentikan Kekerasan].
 
Beberapa negara dalam komunitas Uni Eropa bahkan sampai menekan dan mengancam pencekalan terhadap istri Assad, Asma al-Assad dan keluarga yang mempunyai dua kewarganegaraan Suriah dan Inggris [baca: Asma al-Assad dan Kerabat Dicekal Masuk Eropa].  Itu pun, masih tidak membuahkan hasil. 

Konflik di Suriah, menurut buku A Peace to End All Peace yang ditulis David Fromkin, tak terlepas dari akar masalah ribetnya persoalan di Timur Tengah. Yakni dalam kaitan pembagian bekas Kekaisaran Turki Ottoman atau Utsmaniyah pasca Perang Dunia I.

Sebagian besar negara di kawasan Timur Tengah beraliansi ke Barat. Sementara Suriah lebih cenderung ke Rusia. Ketika Suriah dilanda konflik kekerasan internal, negara-negara Barat mulai masuk melalui pintu 'anti-kekerasan' yang memang sangat relevan dengan kondisi aktual rakyat. Pemerintah berusaha meredam aksi perlawanan dengan kekuatan militer. Rakyat dan pihak oposisi melawan dan bahkan menentang langsung Presiden Assad [baca: Oposisi Tolak Ajakan Dialog Presiden Assad].
 
Kepedulian dunia internasional yang tergabung dalam "Teman-Teman Suriah" yang digalang AS berhasil mengumpulkan 60 negara untuk mendukung gencatan senjata di Suriah. Pertemuan yang digelar Februari lalu di Tunisia itu bersepakat memberikan bantuan kemanusiaan bagi rakyat Suriah yang sedang dilanda konflik.

Aksi solidaritas ini, 1 April lalu menindaklanjuti hasil pertemuan Annan dengan Assad digelar di Istanbul, Turki. Salah satu hasil pertemuan yang diikuti oleh perwakilan dari 71 negara tersebut adalah meningkatkan tekanan kepada rezim Bashar al-Assad dan mengakhiri penindasan rakyat Suriah.

Kita lihat saja, apa yang akan terjadi selanjutnya di Suriah. Sampai kapan api kekerasan akan terus berlangsung? (* dari berbagai sumber)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.