Sukses

Demonstrasi, Anarkhisme dan Polwan Cantik

Aksi demonstrasi setelah runtuhnya Orde Baru seolah menjadi tren di masyarakat bahkan hingga ke desa-desa. Sayangnya banyak unjuk rasa yang dilakukan dengan cara anarkhis sehingga pesannya tidak sampai.

Demokrasi dan demonstrasi belakangan ini menjadi dua hal yang selalu hidup berdampingan di negeri ini. Setiap kali ada ketidakpuasan dalam sebuah acara demokrasi semisal pemilukada, lantas muncul aksi turun ke jalan yang melibatkan massa dalam jumlah besar. Setiap kali ada kebijakan atau rencana kebijakan pemerintah yang dianggap kurang populer, seketika itu juga muncul aksi massa turun ke jalan.

Peristiwa terakhir adalah demonstrasi menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM, sebagai opsi solusi meringankan beban anggaran pemerintah untuk membayar subsidi. Wacana menaikkan harga BBM ini sebenarnya juga muncul dari kalangan masyarakat, termasuk wakilnya yang ada di parlemen. Karena di dalam Undang-Undang APBN yang sudah disetujui parlemen, memang tidak ada opsi menaikkan harga, melainkan konversi BBM ke gas.

Akan tetapi, begitu pemerintah mengajukan usulan opsi menaikkan harga BBM, maka serta merta hal itu direspon dengan aksi massa turun ke jalan. Tak hanya di Ibukota Jakarta, tetapi merambah ke berbagai daerah. Tak hanya melibatkan ormas tetapi juga kaum intelektual mahasiswa. Makin dekat dengan hari penentuan keputusan pemilihan opsi, makin marak demo di mana-mana.

Apakah salah? tentu tidak. Secara teori, memang disebutkan bahwa demonstrasi adalah salah satu cara mengemukakan pendapat. Demonstrasi adalah salah satu cara untuk mengungkapkan aspirasi. Meski, ada juga yang berpendapat bahwa demonstrasi sebenarnya lebih cocok digunakan di negeri yang demokrasinya terpimpin dan cenderung otoriter. Mengapa? karena di negeri demokrasi seperti di Indonesia ini sudah ada wakil rakyat di parlemen, yang punya tugas dan kewajiban untuk menyuarakan aspirasi rakyat, beradu argumentasi dengan kaum eksekutif menyangkut kebijakan yang akan dikeluarkan.

Nah, jadi demonstrasi tetap sah-sah saja digelar. Apalagi di Indonesia yang alam demokrasinya tengah tumbuh dan berkembang, maka euforia demokrasi itu antara lain diwujudkan dalam bentuk kebebasan berekspresi, di antaranya dengan berdemonstrasi tadi. Seorang wakil menteri kita bahkan mengatakan, demokrasi tanpa demonstrasi akan terasa hambar, sama seperti orang berumah tangga yang tak pernah berantem.

Persoalannya, demonstrasi yang sebenarnya punya makna positif kemudian diterjemahkan secara bebas, tapi tidak bertanggung jawab. Banyak di antara aksi demonstrasi yang para pesertanya sesungguhnya tidak paham benar dengan maksud dan tujuan demo itu sendiri. Banyak di antara peserta demo yang tidak paham dengan substansi, tetapi ikut demo lebih karena "anut grubyug" atau ikut-ikutan saja, atau bahkan lebih parah karena memang dibayar untuk turun ke jalan.

Alhasil, demo yang berjalan relatif tidak berjalan efektif, karena pesannya tidak tersampaikan dengan jelas. Sukses tidaknya aksi demonstrasi kemudian lebih diukur oleh kemeriahan dan banyaknya massa yang terlibat. Lebih parah lagi, sukses tidaknya aksi demonstrasi sering diukur dengan "heboh" tidaknya aksi yang mereka lakukan. Asumsinya, jika heboh pasti akan, paling tidak dilihat atau diperhatikan.

Ukuran "heboh" inilah mungkin saja menjadi salah satu pemicu lahirnya aksi demonstrasi yang cenderung anarkhis, seperti yang belakangan ini kerap terjadi, terutama terkait penolakan rencana kenaikan harga BBM. Tengok saja aksi demonstrasi mahasiswa di sejumlah daerah yang hampir selalu dibumbui dengan aksi bakar ban, penyanderaan mobil berplat merah, penyanderaan truk tangki BBM, dan penyegelan SPBU atau blokade jalan. Aksi demonstran pun sangat emosional, jika dilarang polisi maka batu-batu dan bom molotov pun langsung beterbangan.

Secara logika, masyarakat awam akan berpikir, apa hubungannya perang batu, bakar ban dan menyandera mobil dengan tuntutan yang mereka suarakan? Aksi anarkhis seperti ini tentu lebih banyak mudaratnya. Tak hanya membahayakan pihak-pihak yang terlibat dalam aksi demo termasuk polisi yang menjaganya, tetapi juga membahayakan masyarakat sekitar yang katanya mereka bela aspirasinya.

Di Ibukota Jakarta yang lalu lintasnya mahapadat, aksi demonstrasi "heboh" di jalan raya tentu akan berdampak langsung pada aktifitas warganya. Kemacetan yang parah karena jalan raya diblokade oleh demonstran, bukan hanya dirasa merugikan oleh warga yang tengah berada di dalam mobil pribadinya, tetapi juga oleh penumpang bus kota dan angkot yang terpanggang di dalam kendaraan umum yang panas. Belum lagi terlambat kerja karena kendaraan tak bisa berjalan lancar. Sopir-sopir angkutan umum pun akan mengeluh karena jumlah "rit" yang berkurang, sehingga sulit mengejar setoran.

Kalau seperti itu kenyataannya, maka aksi demonstrasi yang anarkhis dan merugikan kepentingan masyarakat tentu tak akan mendapat simpati. Alih-alih menyuarakan dan membela kepentingan rakyat, rakyatnya justru mengeluh karena aktifitasnya jadi terganggu. 

Liputan media, terutama media elektronik seperti televisi, suka tidak suka mendukung ukuran kehebohan aksi demonstrasi. Televisi tidak akan menayangkan berita demonstrasi jika pesertanya tidak banyak, dan aksinya tidak "heboh". Tapi kalau aksi demo itu "heboh", sudah pasti tidak hanya akan diliput dan dibuat berita paket semenit dua menit, tetapi akan dikemas dengan siaran langsung.

Ada yang berbeda dan menarik dalam aksi unjuk rasa dua hari terakhir ini. Yakni munculnya polwan-polwan cantik di garda depan untuk menjaga dan mangawal aksi demosntrasi. Polri berharap, keberadaan polwan-polwan ayu ini akan bisa meredam aksi demonstrasi agar tidak memanas dan kemudian anarkhis. Sebuah pilihan yang cukup cerdas dilakukan Polri, setelah kemunculan polwan-polwan cantik di publik selama ini mendapat respon positif, paling tidak untuk memperbaiki citra polisi yang "sangar" dan "arogan".

Terlepas dari efektif tidaknya peran para polwan cantik dalam meredam aksi anarkhis, tentu Polri sudah berusaha, agar personilnya tidak berhadapan secara ofensif dengan para demonstran. Berusaha menghindari kekerasan adalah sebuah pilihan yang patut didukung, agar kebebasan berekspresi masyarakat tetap terjaga tanpa harus menimbulkan kerugian yang tidak perlu.

Marthin
Kadep Liputan6.com





* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.