Sukses

Mahesa Lawung Kerbau Penyelamat

Kerbau dalam alam pikir kejawaan bukanlah sekadar sesaji ritual. Kerbau adalah simbol penyelamat agar hidup terhindar dari hal-hal buruk.

Liputan6.com, Solo: Solo. Tanah tumbuhnya kepribadian masyarakat Jawa. Jauh ketika raja-raja Kasunanan dan Mangkunagaran berkuasa penuh serta Surakarta masih bersifat istimewa, fungsi keraton tidak cuma sebagai pusat pengembangan seni budaya Jawa seperti saat ini. Fungsi yang mengubah status kerajaan sama rata dengan rakyat di bawah naungan republik.

Tapi ini kota cermin, tempat kepribadian dan keyakinan masyarakat Jawa hidup serta berkembang. Dan tidak bisa dipungkiri, peran keraton masa lampau begitu besar membentuk tradisi orang-orang Jawa masa kini.

Cap yang melekat kental adalah Jawa identik dengan kejawen. Jeyakinan yang meski tidak seformal agama resmi, tumbuh, dan menjadi pedoman sebagian besar orang Jawa keseharian. Sebuah sikap yang mustahil hilang. Sebab ada banyak alasan warisan nenek moyang dilestarikan meski ajaran pengesaan Tuhan pun telah datang.

Dalam waktu dekat, tepat 40 hari setelah Grebeg Maulud digelar, Keraton Surakarta bakal melaksanakan prosesi besar. Prosesi rutin yang bertujuan menyeimbangan alam dan nasib manusia.

Melibatkan para abdi dalam juga sesepuh keraton, ritual ini menjadi penting karena dilakukan demi keselamatan banyak orang, bahkan negara. Prosesi ini dikenal dengan sebutan mahesa lawung. Mahesa lawung dalam tradisi Jawa sebetulnya tersimpan pemaknaan dan laku tirakat serta ruwatan. Ini bisa juga disebut meruwat dewa yang salah tempat, sehingga menjadi penyebab segala bencana.

Catatan sejarah tradisi ini mulai tertera pada zaman dinasti Syailendra-Sanjaya yang tampak dalam arca Durga Mahesa Suramandini. Prosesi mahesa lawung sekarang ini hampir mengikuti tradisi itu, dibunuh dengan cara disembelih sebagai sajian rajasuya. Kerbau dalam alam pikir kejawaan bukanlah sekadar sesaji ritual. Kerbau adalah simbol penyelamat agar hidup terhindar dari hal-hal buruk.

Hari sakral pelaksanaan mahesa lawung lazimnya jatuh pada Senin atau Kamis. Tapi, tahun ini, Kamis adalah hari pilihan berdasarkan hitungan kalender baik dan buruk. Kebaikan dan keburukan adalah dua hal penting. Sebab pada prosesi yang dilatari kisah Jaka Tingkir sebelum mencapai mahesa jenar atau menjadi raja ini, kebaikan adalah tujuan utama.

Menggelar mahesa lawung sama artinya merangkai upacara wilujengan nagari. Menghimpun kesadaran bersama untuk sanggup menderita dan sengsara atau berkorban demi keselamatan dan ketenteraman.

Dalam tradisi Jawa, ruwatan tak bisa dilepaskan dari segala sesaji. Sajian yang dipersiapkan bukanlah sekadar persembahan ulam-ulaman pelengkap kepala kerbau. Kerbau memang aktor penting dalam prosesi mahesa lawung. Tak boleh sembarang kerbau. Yang dipakai haruslah kerbau perjaka atau belum pernah dipekerjakan.

Kepala dan kakinya menjadi sesembahan utama, bersama walang atogo atau berbagai jenis belalang sebagai simbol rakyat jelata. Lewat perngorbanan seekor kerbau, bencana yang menimpa banyak orang diharapkan bisa berkurang. Sebagian besar masyarakat berdarah Jawa percaya, mitos mahesa lawung inti dasarnya adalah sebagai jalan untuk mengontrol alam seperti gunung atau lautan.

Kesetiaan keraton kepada tradisi leluhur adalah alasan mahesa lawung rutin digelar dari generasi ke generasi. Ini memang soal keyakinan. Mereka tak berani meninggalkan adat dan ritual ini. Mereka percaya, ada kekuatan lain di luar diri manusia yang dengan mahesa lawung kekuatan gaib itu akan memberi balasan. Akan ada hal buruk yang terjadi bila ritual ini mereka tinggalkan begitu saja.

Puncak prosesi mendekati inti acara. Kini saatnya membawa sesaji ke hutan dengan berjalan kaki. Alas krendha wahana, inilah hutan keramat yang diyakini sebagai tempat bersemayam Bathari Kalayuwati, pelindung gaib keraton di bagian utara. Di sinilah ritual penanaman kepala kerbau bakal dilaksanakan, termasuk barang-barang mentah lain sebagai tumbal penyelamat.

Kesakralan Punden Bathari Durga bukanlah sebuah rahasia. Niat suci mengikuti prosesi mahesa lawung adalah harga mati. Andai saja terbesit pikiran buruk, mereka percaya akan memunculkan hal gaib di Punden Bathari Durga. Biasanya, untuk meluluhkan penunggu punden dan menetralisir kekuatan gaib yang buruk, juru kunci rutin memberi sesaji. Dan persembahan kepala kerbau adalah sajian utama dari pihak Keraton Surakarta sebagai wujud ucapan terima kasih.

Doa-doa pun dirapalkan, harapan dipanjatkan. Tepat setelah 40 hari sekatenan, Keraton Surakarta selesai menjalani kewajiban memohon keselamatan. Keselataman yang dirindukan sebab bencana hanya melahirkan ketakutan-ketakutan.(BOG)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini