Sukses

Korupsi Politik dan Politik Korupsi

Setahun ini, media di Indonesia didominasi oleh berita tentang korupsi yang melibatkan para politisi dan tokoh partai.

Wijayanto

Setahun ini, media di Indonesia didominasi oleh berita tentang korupsi yang melibatkan para politisi dan tokoh partai. Mereka yang seharusnya bertindak untuk kepentingan rakyat seolah telah melupakan fungsinya yang paling hakiki dengan menempatkan kepentingan sendiri di atas kepentingan rakyat.

Fenomena tersebut telah membawa tingkat kepercayaan rakyat kepada partaipolitik dan para politis ketitik nadir. Bahkan, sebuah survei oleh CSIS menunjukkan hampir 50  persen masyarakat belum menentukan pilihan apabila pemilu dilaksanakan saat ini. Fakta ini menggambarkan begitu besarnya porsi masa mengambang yang berpotensi menjadi golput pada pemilu 2014. Partai Demokrat, dimana beberapa bulan terakhir para tokohnya selalu menjadi headline di media masa, menjadi partai terdepan dalam race to the bottom ini.

Tingginya biaya politik ditengarai sebagai penyebab utama semakin kentalnya korupsi politik di Indonesia.Wapres Jusuf Kala, dalam suatu seminar di Universitas Paramadina menyataka nbahwa biayapolitik tahun 2004 dan 2009 meningkat 10 kali lipat. Yang juga mengkhawatirkan, trend  peningkatan biaya tersebut nampaknya akan terus berlangsung dimasa mendatang.

Berbagai sumber memperkirakan diperlukan biaya kampanye miliaran untuk menjadi caleg. Bahkan diperlukan puluhan dan ratusan miliar untuk dapat menjadi kandidat bupati dan gubernur. Pentingnya faktor uang dalam demokrasi telah melahirkan pemimpin terpilih yang tidak tidak capable dan korup. Begitu banyaknya anggota DPR, bupati dan gubernur yang terjerat kasus korupsi akibat ketidak pahaman administrasi atau sengaja mengambil dana negara merupakan bukti kongkrit rendahnya kualitas dan integritas sebagian mereka. 

Demokrasi pragmatis-transaksional

Pergeseran makna demokrasi dari one man one vote ke one Rupiah one vote muncul akibat pragmatisme yang berlebihan.Bahkan kalau kita pelajari sejarah, kemunculan berbagai partai politik pascareformasi 1998 lebih didasarkan pada pragmatisme untuk mencapai tujuan jangka pendek berupa kekuasaan, bukan karena tujuan ideologis. Ketiadaan ideologi partai yang jelas ini membuat para elit dapat dengan mudah berpindah partai asalkan ia membawa gerbong pendukung atau modal. Bahkan, pragmatisme ini sangat kental sehingga uang sering menjadi penentu kemenangan dalam perebutan kursi pimpinan partai.

Pragmatisme itingkat pimpinan partai ini terefleksi dalam bagaimana partai tersebut menjalankan agenda politiknya. Koalisi antar partai, baik ditingkat nasional maupun regional, lebih di dasari pada kepentingan pemenangan pemilu atau pilkada semata . Proses seleksi kandidat gubernur atau bupati pun cenderung bersifat transaksional. Partai seolah berperan sebagai rental kendaraan, siapapun bisa menggunakan kendaraan asal mampu membayar.Setelah mendapatkan "kendaraan" penyewa dilepas sendirian, tanpa dukungan kernet, GPS, peta, bensin dan penumpang.

Semangat pragmatis medan transaksional terus berlanjut hingga level terbawah. Akibat partai tidak mempunyai infrastruktur dan konstituen ideologis yang loyal, kandidat terpilih harusmembuat tim kampanye sendiri, menyusun strategi pemenangan dan mencari dukungan massa; suatu proses yang sulit dan mahal. Dampaknya, demokrasi transaksional dalam arti yang sesungguhnya terjadi, yaitu ertukaran suara dengan uang.Makna demokrasi bergeser dari representasi ide menjadi jual beli dukungan.

Lebih parahnya, ketika seorang kandidat terpilih ia tidak merasa mempunyai kewajiban moral untuk mensejahterakan para pendukungnya, karena transaksi sudah impas; suara ditukar dengan uang. Ketiadaan beban moral dan keinginan untuk segera balik modal tersebut merupakan prasyarat yang lengkap bagi merajalelanya korupsi.

Memperbaiki "pasar" telah yang rusak

Nasib demokrasi Indonesia yang mengenaskan tersebut terjadi paling tidak karena empat faktor yaitu: ketiadaan kandidat yang bersih (supply), rendahnya keinginan rakyat untuk memilih kandidat bersih (demand), ketidaktahuan rakyat akan kualitas kandidat yang akan mereka pilih informasi (asimetrik), dan ketiadaan kandidat non-partai (oligopolistik partai). Dalam terminologi ekonomi, demokrasi di Indonesia adalah pasar yang tidak berfungsi, telah terjadi kegagalan pasar.

Supply bermasalah, akibat mahalnya biaya politik dan pragmatisme politik. Partai politik sebagai penyedia jasa (supplier) cenderung mengambil jalan yang paling menguntungkan dirinya. Lebih baik mendorong kandidat yang bisa memperkaya partai, walaupun ia tidak bersih dan tidak kapabel, daripada kandidat berkualitas tetapi tidak memakurkan partai; apalagi dalam prakteknya kapabilitas dan integritas bukanlah faktor penentu kemenangan. Sederhananya, apabila apel busuk saja laku dijual, mengapa mereka harus mengupayakan apel yang bagus?.

Demand bermasalah akibat rendahnya taraf pendidikan rakyat, ketidak melekan politik dan kemiskinan. Rakyat miskin merasakan waktu berjalan sangatlambat.Sebagai analogi, pada saat kita sedih kita akan merasakan betapa lambat waktu berjalan, tetapi tidak demikian ketika kita sedang bahagia. Dampaknya, rakyat akan memilih manfaat yang kecil hari ini daripada manfaat besartetapi ia harus menunggu lama. Uang seratus ribu hari ini terasa lebih berharga daripada jalan, listrik, rumah sakit dan sekolah lima tahun mendatang. Apalagi, masyarakat sudah terlalu sering ditipu, sehingga cenderung tidak mempercayai janji-janji para politisi. 

Asimetrik informasi berperan penting dalam melahirkan kegagalan pasar ini. Sistim pemilu dan pilkada kita tidak mensyaratkan keterbukaan informasi akan track-record para kandidat. Kondisi ini menggiring pemilih untuk memilih kucing dalam karung, memilih sosok yang mereka tidak kenal betul.

Oligopoli partai, membuat partai merupakan satu-satunya jalur kaderisasi kepemimpinan, dampaknya mereka yang memegang posisi oligopoli (para oligopolist) tidak berniat melakukan perbaikan, tetapi cenderung menjaga status quo karena kondisi inilah yang paling ideal bagi mereka. Para oligopoli saling bekerjasama untuk menghalang-halangi peluang kandidat non-partai.Di tingkat pilkada, kandidat independen sudah dimungkinkan.Perlu didorong terus agar hal yang sama dapat dilaksanakan di pemilu tingkat nasional.

Paling tidak, ada empat hal penting yang harus kita jadikan fokus yaitu: memperbaiki supply side dengan mendorong akuntabilitas partai dan membatasi biaya kampanye politik; memperbaiki demand side, dengan melakukan pendidikan politik bagi rakyat (sebenarnya ini adalah tugas partai politik) mengurangi asimetrik informasi dengan mendorong transparansi kandidat; dan mengurangi oligopoli partai dengan mendorong munculnya kandidat independen di tingkat regional dan nasional.Memang bukanlah tantangan sederhana untuk memperbaiki keadaan, tetapi upaya ini harus dimulai sebab kita tidak mempunyai pilihan lain jika demokrasi yang mensejahterakan adalah tujuan kita.

Wijayanto is the Deputy Rector of Paramadina University, and is the Co-Founder and Managing Director of Paramadina Public Policy Institute

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.