Sukses

Jejak Tiga Budaya di Kaki Rinjani

Beberapa puluh keluarga yang tinggal di dalamnya menjadi bukti rekam jejak zaman perkembangan kebudayaan di pulau ini. Suku sasak, bayan, keluraga ini menyebut dirinya.

Liputan6.com, Lombok: Bumi di kaki Gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Beberapa puluh keluarga yang tinggal di dalamnya menjadi bukti rekam jejak zaman perkembangan kebudayaan di pulau ini. Suku sasak, bayan, keluraga ini menyebut dirinya.

Sebuah versi menyebut, sekitar abad 14 ketika Kerajaan Majapahit di Tanah Jawa melebarkan ekspansi kekuasaan. Pulau lombok menjadi salah satu daerah kekuasaannya.

Kitab Negarakretagama yang memuat tetang kekuasaan dan pemerintahan Majapahit menjadi buktinya. Dalam kitab ini, Lombok dituliskan dengan Lombok Mirah Sasak Adi yang berarti kejujuran adalah permata kenytaan yang baik atau utama. Akibatnya, Hindu sebagai agama mayoritas di Kerajaan Majapahit juga menyebar di kawasan ini. Bahkan, cara berpakaian kerajaan-kerajaan di Jawa juga memengaruhi gaya suku ini.

Kejayaan Majapahit di pulau ini tidak berlangsung lama. Abad 16, Islam mulai masuk ke Tanah Lombok. Dibawa Sunan Giri, salah satu tokoh Walisongo dari Tanah Jawa. Tak hanya dari Walisongo, namun juga para pedagang dari Makasar. Tentu saja kebudayaan dan keyakinan Hindu pelan-pelan bergerak berganti dengan Islam.

Di abad 18, kebudayaan Lombok kembali menerima pengaruh dari luar. Kerajaan Gel-Gel Bali menaklukan Lombok. Dan Hindu Bali memengaruhi kehidupan kawasan ini.

15 Rabiul Awal 1433 hijriah jatuh di Desa Karang Bajo Bayan. Iini berarti Suku Sasak Bayan segera melaksanakan kewajiban adat. Maulid Adat atau Maulid Nabi Muhammad SAW. Dan gong yang dianggap masyarakat sebagai benda keramat harus keluar untuk membuka tradisi.

Berbagai bahan makanan dikumpulkan. Bahkan, ada yang membawa hewan ternak untuk disembelih. Kerbau bukan sapi, tentu ini urusan toleransi. Sebab, sapi dianggap hewan suci bagi pemeluk Hindu. Momentum ini adalah saat yang ditunggu oleh beberapa warga yang ingin bersyukur karena harapannya terkabul. Sartinep, misalnya. Harapannya menjual tanah warisan telah terkabul.

Menoreh sembe yang terbuat dari sirih, pinang, dan kapur di kening tak lebih hanya penanda selamat datang. Agar seluruh prosesi ritual dapat berjalan lancar.

Masjid Tua Bayan. Sebuah bangunan tua yang dianggap sebagai tempat penting dalam prosesi ini. Cerita menyebut masjid ini dibangun bersamaan dengan datangnya Sunan Giri dari Jawa sekitar abad 16. Bahkan, mimbar dan bedug pun masih lengkap.

Meski berlantai tanah, siapapun yang masuk harus mencuci kaki terlebih dahulu sebagai wujud penyucian diri. Bahkan, kusen pintu dibuat pendek agar orang merendahkan diri saat memasuki masjid. Di luar masjid, lelaki-lelaki Sasak tangguh siap beradu nyali. Perisaian. Tarung dengan rotan dan tameng kulit kerbau.

Malam semakin larut, purnama kian memencarkan sinarnya. Rotan dan tameng terus ditawarkan pada para jagoan bernyali. Sebagian percaya gerakan dan pukulan pada tarung ini akan mengusir penyakit dari tubuh.

Ardi yang dari tadi menolak tawaran tiba-tiba berubah pikiran. Ia mengambil rotan dan tameng. Ardi begitu bangga, walau istri menerima keputusannya dengan ketakutan. Darah mulai mengucur. Ini pertanda rezeki juga akan menyertai hidupnya.

Lepas waktu Asar, masuk prosesi praja mulud dengan merias dua pasangan pengantin yang sejatinya diperankan oleh para lelaki. Rombongan membawa minyak blonyo, minyak yang dipercaya setelah didoakan di Masjid Tua Bayan akan membawa berkah pemakainya.

Gruga agung. Untuk masuk ke situ orang harus berwudu untuk menjaga kesucian tempat tersebut. Usai sudah semua prosesi Maulid Adat. Semua makanan yang sejak awal telah diolah dan didoakan, kini saatnya makan bersama.(BOG)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini