Sukses

Habis Banjir, Terbitlah Kekeringan

Sejumlah daerah di Tanah Air mengalami kekeringan di musim kemarau ini. Hidup petani yang tadinya pas-pasan, kini semakin terperosok. Kata pemerintah, kondisi yang ada belum mengkhawatirkan kok.

Liputan6.com, Jakarta: Tanah kering kerontang...banjir datang itu pasti.... Penggalan lagu "Bumi Tak Ada Tempat Berpijak Lagi" yang diteriakkan penyanyi Iwan Fals mungkin tepat untuk menggambarkan kondisi alam Indonesia. Betapa tidak, jika musim hujan datang, masyarakat pasti mengalami musibah banjir. Dan, bila musim kemarau tiba (Mei-Oktober), sejumlah daerah di Tanah Air langsung kekeringan. Akibatnya mudah ditebak: air waduk menyusut, ribuan hektare sawah mengering, dan belasan juta petani terancam gagal panen, seperti yang terjadi di sejumlah daerah, baru-baru ini.

Bencana kekeringan yang terjadi sekarang ini memang luar biasa menyedihkan. Setelah dihantam musibah banjir yang nyaris menenggelamkan sejumlah provinsi, beberapa waktu silam, masyarakat kini kembali dipaksa akrab dengan kondisi kering yang amat kerontang. Tak heran bila hampir seluruh masyarakat, dari Nanggroe Aceh Darussalam hingga Nusatenggara Timur, mengalami musibah tersebut.

Di ujung barat Indonesia, kekeringan mengakibatkan persediaan air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Deroy, Banda Aceh, menipis sejak pekan silam. Ini membuat 12 ribu pelanggan harus rela mendapat jatah air bersih dari lima pompa milik PDAM. Badan Meteorologi dan Geofisika setempat menyebutkan, pasokan berkurang karena debit air Sungai Krueng menyusut sampai 1,3 meter dari 2,5 meter [baca: Kemarau Mulai Melanda Aceh].

Turun ke bawah, Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin juga resah karena sungai-sungai yang berhulu dari Gunung Kerinci saat ini mulai terancam kekeringan akibat pendangkalan. Satu di antaranya adalah Sungai Batang Merao yang mengalami pendangkalan cukup drastis. Parahnya lagi, sedikitnya 107 ribu dari 215 ribu hektare hutan alam Kerinci juga mulai gundul. Selain rawan banjir bila hujan turun, kekeringan akan mudah membuat hutan terbakar.

Di Pulau Jawa, tepatnya di Jakarta, musim kemarau membuat kekeringan begitu terasa. Ancaman kebakaran, pencemaran udara, dan krisis air mulai menjadi keseharian yang menghantui masyarakat Ibu Kota. Apalagi, permukaan air tanah kian surut. Untuk bisa menemukan air di kawasan Senayan, penduduk harus menggali tanah hingga puluhan meter. Begitu juga yang terlihat di Pasarminggu dan Pasar Rebo. Masyarakat harus menggali tanah hingga belasan meter untuk bisa menemukan mata air. Padahal, dua dekade silam, warga cukup menggali tanah tiga meter. Air pasti muncrat. Tapi, kondisi seperti itu mustahil ditemukan sekarang ini.

Bergeser sedikit, masyarakat Jawa Barat juga mengalami hal yang sama. Musim kemarau mengakibatkan tiga waduk besar di Bumi Parahyangan, yakni Saguling, Cirata, dan Jatiluhur menyusut beberapa sentimeter. Diprediksikan, penyusutan waduk akan terus berlangsung sepanjang musim kemarau. Ini jelas mengkhawatirkan. Sebab, penyusutan air waduk akan mempengaruhi kelangsungan hidup orang banyak, khususnya petani di kawasan pantai utara. Bila dirunut, ada 33 ribu hektare sawah di 14 kabupaten yang mengalami kekeringan. Kabupaten Indramayu mempunyai sawah terbanyak yang mengalami kekeringan, yakni sekitar 18.294 hektare. Menyusul Cirebon (4.983 hektare), Sukabumi (2.658 hektare), dan Subang (2.594 hektare). Celakanya, 70 persen saluran irigasi tersier di Cirebon rusak parah, sehingga tak bisa menyalurkan air ke persawahan.

Peta kekeringan di Jawa Tengah dan Yogyakarta sama mengenaskan. Hampir seluruh petani di provinsi tersebut kini hanya bisa bersedih, berharap kekeringan segera diantisipasi. Bahkan, warga Gunung Kidul, harus bolak balik sebanyak 30 kali menempuh jarak beberapa kilometer dengan medan yang curam dan terjal untuk mendapatkan air. Perjuangan serupa juga dialami warga Boyolali. Mereka harus masuk ke tengah hutan untuk mencari sisa-sisa air di sungai yang kering. Kondisi yang sama juga terlihat di Tegal, Wonogiri, Demak, Grobogan, Pati, Blora, Sukoharjo, Sragen, Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Karanganyar, Kebumen, dan Klaten. Di tempat ini, puluhan ribu hektare lahan persawahan terancam gagal panen. Apalagi, distribusi air irigasi tak lagi lancar.

Cerita sedih akibat derita kekeringan juga terdengar dari Desa Jotosanur, Kecamatan Tikung, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Seorang wanita berumur 60 tahun terpaksa harus memecah bongkahan tanah kering dengan palu. Langkah ini sebagai upaya menutup retakan tanah di sekitar tunas tanaman jagung. Selanjutnya, celah atau retakan tanah ditambal dengan sisa pembakaran sekam yang sudah direndam air. Harapan wanita itu cuma satu, tunas jagungnya tidak mati karena kemarau. Bahkan, warga di Sampang, Madura, kini nekat merusak pipa penyalur air milik Perusahaan Daerah Air Minum untuk bisa memperoleh air [baca: Kemarau Melanda Sampang, Pipa PDAM Dibobol].

Kondisi di Lamongan memang parah semenjak Waduk Gondang rusak parah. Padahal, waduk itu mengairi ribuan hektare sawah di Karang Sambigalih dan Lembean. Petani yang tanahnya mengandalkan perairan waduk jelas menangis. Nasib mereka persis dengan para petani di Kediri, Jombang, Malang, dan beberapa daerah yang juga mengalami kekeringan. Bila diukur-ukur, ada sekitar 25 ribu dari 1,7 juta hektare areal persawahan di Jatim yang mengering. Angka ini jelas belum termasuk yang ada di Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusatenggara. Terlalu panjang dan memilukan untuk menceritakan penderitaan para petani di Indonesia. Sebab, sudah terlalu banyak kerugian yang diderita mereka selama musim kemarau ini. Dari kekeringan, harga pupuk yang mahal, hingga hama tikus yang menyerang sejumlah areal persawahan di Pulau Jawa. Pokoknya, hidup petani yang tadinya pas-pasan, kini jauh semakin terperosok. Seperti tak tertolong.

Persoalannya, kenapa semua itu bisa terjadi? Apa musibah seperti ini tak bisa diprediksi sebelumnya? Jauh-jauh hari, Kepala Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bidawi Hasyim sudah memberi sinyal bahwa Indonesia akan dilanda kekeringan pada musim kemarau ini. "Biasanya, jika setelah datang musim hujan yang ekstrem, untuk waktu selanjutnya akan diikuti dengan kondisi kering yang juga sama ekstrem," kata Bidawi. Jadi, bisa diperkirakan, setelah banjir menutupi sebagian besar wilayah Nusantara, kini giliran masa kekeringan yang menyelimuti Bumi Pertiwi. Pakar cuaca dari Badan Meterologi dan Geofisika (BMG) Paulus A. Winarso juga sudah memprediksikan musibah tersebut. Menurut dia, kondisi alam yang terjadi akibat dampak lokal dari gejala alam El Nino. Artinya, dari kelebihan hujan, kini masuk ke iklim kurang hujan [baca: Pemerintah Dinilai Tak Memahami Peringatan BMG].

Lalu, apa yang telah dilakukan pemerintah? Tampaknya, tak begitu banyak. Sebab, pagi-pagi hari, Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Soenarno sudah mengatakan, meskipun hingga saat ini sudah ada indikasi kekurangan air di sejumlah daerah, namun ketersediaan air belum sampai pada kondisi kritis. Ia juga belum menerima laporan baik dari bupati maupun gubernur perihal krisis air di daerah masing-masing. "Krisis air bagaimana. Wong stok beras sekarang aman-aman saja. Persedian beras sebanyak 1,7 juta ton cukup untuk delapan bulan ke depan," kata Kepala Bulog Widjanarko Puspoyo [baca: Bulog Siap Antisipasi Musim Kemarau].

Menurut Soenarno, pemerintah juga sudah menyiapkan sejumlah langkah agar produksi padi di 14 provinsi tetap bisa diselamatkan. Misalnya, membuat hujan buatan bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Selain itu, pemerintah juga membangun sejumlah pompa air dan memperbaiki prasarana irigasi. Untuk ini semua, pemerintah menganggarkan dana Rp 900 miliar pada tahun anggaran 2002. Tapi, sebaiknya kita jangan dulu berpuas diri dengan keterangan pemerintah. Sesekali datanglah ke pelosok dan lihatlah penderitaan para petani. Sebab, penggalan lagu Iwan Fals di atas memang masih pas untuk menggambarkan situasi terakhir di Indonesia.(ULF)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini