Sukses

Tawuran, Potret Buram Dunia Pendidikan

Kekerasan di kalangan intelektual muda kian memprihatinkan. Potret budaya kekerasan itu terjadi mulai dari tingkat siswa SD sampai mahasiswa.

Liputan6.com, Jakarta: Kekerasan di kalangan intelektual muda kian memprihatinkan. Potret budaya kekerasan itu terjadi mulai dari tingkat siswa sekolah dasar (SD) sampai mahasiswa, dan melibatkan laki-laki dan perempuan.

Pada awal Desember ini, redaksi Liputan 6 mencatat terjadi tiga tawuran pelajar. Dan, nyawa melayang pun seakan menjadi hal biasa. Mengerikan!

Ahmad Yoga Fudholi, mahasiswa Universitas Al Azhar Indonesia, tewas dikeroyok rekan satu kampusnya. Kasus itu bermula dari hal sepele, Yoga dituduh akan mencuri helm. Dua mahasiswa di kampus itu jadi tersangka.

Rival, siswa SMK 1 Budi Utomo, tewas di kawasan Roxy, Jakarta Barat. Ia terjatuh dari bus dan disabet senjata tajam oleh siswa dari sekolah lain yang menjadi lawan tawurannya.

Raafi Benjamin, siswa SMA Pangudi Luhur Jakarta, tewas dikeroyok dan ditusuk di Shy Rooftop, Jakarta Selatan. Sebelumnya ia terlibat keributan dengan sejumlah tamu kafe. Polisi menetapkan tujuh tersangka.

Fenomena tawuran seperti gunung es, terlihat puncaknya saja karena terekspos media. Sedangkan di bagian bawahanya bisa jadi lebih banyak lagi. Tercatat, peristiwa tawuran terbanyak terjadi di ibu kota.

Di daerah juga marak terjadi tawuran. Di Jawa Barat, identik dengan aksi brutal geng motor. Di luar Pulau Jawa, di Sulawesi Selatan, terbilang banyak terjadi tawuran pelajar.

Selain itu, alat tawuran juga semakin menggila tingkat bahayanya. Bukan lagi sekadar saling lempar batu. Senjata tawuran makin dimodifiksi, agar tak terlihat senjata tajam. Stick golf, ikat pinggang berkepala gir, obeng, hingga bom molotov.

"Kalau saya mah tidak ikut tawuran. Paling becanda-becanda aja," kata Aji dan Ivan, pelajar.

"Udah meraja lela banget, ancur, parah," ujar Nur, warga. "Zaman dulu gak ngalamin tawuran."

"Tawuran sekarang udah parah. Soalnya, udah masuk televisi dan orangtuanya lapor ke Komnas HAM," kata Amel, pelajar.

"Parah banget. Gara-gara tawuran sampai ada yang meninggal," tutur Dian, pelajar.

Pemicu kekerasan di dalam dan di luar sekolah sekilas berasal dari hal-hal sepele. Dari meneruskan tradisi intimidasi senior-junior. Kompetisi olahraga yang seharusnya mengalihkan kebiasaan tawur, justru memicu perkelahian antarsiswa. Di SMA di Bone, Sulsel, misalnya. 

Sejauh ini, upaya meredam tawuran datang dari masyarakat. Warga inisiatif menghajar siswa tawuran. Polisi dibantu TNI juga turun tangan dan terlibat aksi kejar-kejaran dengan siswa yang akan tawuran.

Sosiolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan, kekerasan memang akan terus marak, bila kepercayaan masyarakat terhadap kekuatan penegakan hukum negara melemah, termasuk di kalangan pelajar. Sanksi hukum tawuran tak digubris, tawuran pun jalan terus!

Penanganan tawuran masih bersifat represif, menindak setelah tawuran kejadian. Upaya pencegahan belum dirasakan maksimal. Peran pihak sekolah masih lemah dalam mengantisipasi soal ini.

Siswa korban intimidasi di sekolah atau tawuran pun cenderung menyembunyikan kejadian yang dialaminya, hingga mempersulit upaya pencegahan. “Pemerintah harus hadir di sisi pencegahan dan penindakan tawuran, tak hanya salah satunya saja,” kata Windi, orangtua siswa.(SHA)


* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini