Sukses

Banpres Si Bola Salju

Sumbangan Presiden Megawati Sukarnoputri sebesar Rp 30 miliar buat membangun asrama TNI/Polri, melebar ke mana-mana. Skandal Banpres akan membuat Mega terguling?

Liputan6.com, Jakarta: Seperti bola salju, ihwal penggunaan dana bantuan presiden menggelinding sulit dihentikan. Perkara yang semula cuma menyorot langkah Presiden Megawati Sukarnoputri menyumbangkan Rp 30 miliar untuk pembangunan asrama TNI/Polri, masalahnya kini kian melebar. Politisi di parlemen mempertanyakan semua penggunaan dana Banpres yang dipakai Mega. Mereka juga menggugat keabsahan hukum penyimpanan dana itu di Istana Negara.

Sebetulnya, makhluk jenis apakah dana Banpres? Kenapa persoalan ini menjadi polemik berkepanjangan? Ke mana muara persoalan ini? Sedikit dari banyak pertanyaan itulah yang mengemuka pada "Debat Minggu Ini" yang ditayangkan SCTV, Jumat (31/5) malam. Menghadirkan anggota Komisi I DPR Happy Bone Zulkarnaen, Sekretaris Negara Bambang Kesowo, dan Koordinator Government Watch Farid Faqih, debat yang dipandu Indiarto Priadi itu agaknya bisa menjadi titik terang tentang Banpres. Mungkin tak terang-terang amat. Tapi, setidaknya, debat soal kasus ini bisa menjawab rakyat yang sedang bingung.

Pada awalnya adalah memang sumbangan Megawati untuk membangun asrama TNI/Polri. Sejumlah anggota DPR mempertanyakan sumber uang yang digunakan Mega. Usut punya usut, rupanya, yang digunakan adalah duit Banpres. Padahal, sesuai instruksi presiden nomor 9 di masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie--yang mengharuskan semua dana nonbujeter masuk ke Departemen Keuangan--duit Banpres tak bisa seenaknya dipakai. "Soalnya, dana Banpres bisa kayak Sinterklas, digunain macam-macam," kata Happy Bone Zulkarnaen.

Dugaan penyelewengan kian mengental saat Bambang Kesowo menyebutkan bahwa uang masih tersisa Rp 330 miliar. Jumlah ini aneh, mengingat ketika Megawati menggantikan kedudukan Presiden Abdurrahman Wahid, kas Banpres masih tersisa Rp 507 miliar. Kesowo juga diduga masih menyimpan dana tersebut sebesar Rp 100 miliar. Karena itulah, sejumlah kalangan mendesak Kesowo menjelaskan jumlah dan sumber dana Banpres yang masih tersedia.

Menurut Kesowo, dana Banpres jelas sudah memenuhi syarat transparansi. Sebab, dalam berbagai kesempatan, Mega selalu menekankan tentang keharusan untuk memperhatikan kesejahteraan prajurit TNI/Polri. Penjelasan ini mungkin benar kalau dilihat dari tujuan pengeluaran dana Banpres. Tapi, yang membuat anggota Dewan berang bukan itu, melainkan asal muasal dana yang digunakan. Jangan heran jika Komisi I DPR mengaku serius menyikapi kasus ini. Bahkan, Jumat di pekan kedua Mei, empat anggota Dewan yang mewakili 48 pengusul hak interpelasi mengirimkan surat permohonan interpelasi dana Banpres kepada Wakil Ketua DPR A.M. Fatwa. Keempat orang itu adalah Jamal Doa (Fraksi Persatuan Pembangunan), Aryadi Achmad (Fraksi Partai Golkar), Andi Najmi (Fraksi Kebangkitan Bangsa), dan Ambya Bustam (Fraksi Reformasi). Menurut Jamal selaku inisiator interpelasi, permohonan itu dikirimkan bukan untuk mempermasalahkan peruntukan dana tersebut. Namun, untuk mencari kejelasan perihal asal dana tadi.

Namanya juga lembaga negara, sudah semestinya mekanisme keluar-masuk dana harus jelas. Sebab, sang pejabat harus mempertanggungjawabkan setiap dana yang ada di lembaganya kepada publik. Dengan kata lain harus transparanlah. Nah, pada kasus sumbangan Mega, masalah timbul ketika terungkap bahwa asal muasal duit datang dari Banpres. Selain transparansi, menurut Happy Bone Zulkarnaen, persoalan dana Banpres menyangkut akuntabilitas manajemen keuangan negara. Ia meminta semua pihak ikut mencermati permasalahan ini. "Nantinya, kita akan rekomendasikan ke Rapat Pleno Komisi I," kata Happy.

Satu hal menarik adalah data yang dimiliki GOWA. Ada ratusan lembar data hasil penyelidikan mengenai dana Banpres. Data tersebut berasal dari tahun 1968. Penerimaan dana Banpres sejak 1997 hingga 2002 mencapai Rp 2,92 triliun. Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 600 miliar digunakan buat sesuatu yang tak jelas dan tak sesuai maksud serta tujuan dana Banpres. Sebenarnya, menurut Farid, penyelewengan dana Banpres sudah terjadi sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto. Periode Oktober 1997 hingga Januari 2000, misalnya. Pada kurun waktu tersebut, dana Banpres pernah dipinjamkan kepada pihak ketiga sebesar Rp 69,8 miliar, termasuk yang Rp 35 miliar untuk Panitia SEA Games XIX. Selain itu, dana Banpres juga sempat digunakan buat pembangunan proyek mercusuar lahan gambut oleh PT Sumatra Timur Indonesia sebesar Rp 560 miliar.

Setelah Soeharto lengser, penggunaan dana Banpres semakin sulit dipantau. Kendati begitu, GOWA masih sempat mencatat adanya pengeluaran sekitar Rp 200 miliar pada masa pemerintahan B.J. Habibie dan Abdurrahman Wahid. Termasuk pula mencatat penggunaan dana Banpres di masa pemerintahan Megawati Sukarnoputri sebesar Rp 34,9 miliar. Sayangnya, perihal rincian pengeluaran periode Februari 2001 hingga Januari 2002 yang mencapai Rp 60 miliar di masa pemerintahan Megawati tak diperoleh Farid.

Sejauh ini, Farid mengaku masih menyelidiki sejauh mana penyalahgunaan dana Banpres. Farid baru mengetahui bahwa sekitar Rp 600 miliar dana Banpres telah diselewengkan. Karena itu, GOWA mengusulkan kepada DPR agar mendesak pemerintah untuk segera memasukkan dana nonbujeter itu ke dalam neraca Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dengan begitu, setiap penggunaan dana Banpres di masa mendatang harus mendapat persetujuan dari DPR. Pemerintah juga diharuskan melaporkan penggunaan dana tersebut kepada Komisi APBN DPR setiap enam bulan sekali.

Namun, hal ini juga masih menjadi tanda tanya. Sebab, terkesan aneh tatkala Farid juga mengungkapkan bahwa sejumlah anggota DPR pernah menerima duit Banpres. Di antaranya adalah untuk biaya pengobatan, seperti yang diterima Permadi. Happy justru menyarankan cara lain yang dinilai Farid biasa saja, yaitu meminta klarifikasi dari Sesneg. Dari sana, jika memang ada indikasi penyelewengan dana Banpres, Happy menambahkan, DPR akan mengajukan hak interpelasi.

Satu hal yang bisa dicermati dalam kasus ini adalah dana Banpres bisa menjadi senjata yang ampuh untuk menjatuhkan Mega dari kursi kepresidenan. Publik mungkin masih ingat saat Presiden Abdurrahman Wahid terjungkal dari jabatannya lantaran diduga terkait dengan kasus penyelewengan dana nonbujeter Badan Urusan Logistik. Akankah nasib Mega seperti Gus Dur? Wallahualam. Yang jelas, gelinding kasus ini sepertinya memang lumayan deras seperti bola salju: belum jelas kapan dan di mana berhentinya.(SID)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini