Sukses

Pengadilan Belanda Hukum Seumur Hidup Penjahat Perang

Pengadilan banding Belanda pada Kamis (7/7) menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup pada seorang pria Hutu. Ia dituduh karena kejahatan yang mencakup pembunuhan ratusan wanita dan anak di sebuah kompleks gereja saat genosida 1994 di Rwanda.

Liputan6.com, Den Haag: Pengadilan banding Belanda pada Kamis (7/7) menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup pada seorang pria Hutu. Ia dituduh karena kejahatan yang mencakup pembunuhan ratusan wanita dan anak di sebuah kompleks gereja saat genosida 1994 di Rwanda.

Joseph Mpambara telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan pidana pada Maret 2009 karena penganiayaan atas orang-orang dari etnik Tutsi pada 1994 dan dijatuhi hukuman 20 tahun penjara, tapi dibebaskan pada waktu itu dari (tuduhan) kejahatan perang.

Penuntut dan Mpambara, yang menyatakan tidak bersalah, sama-sama naik banding atas putusan itu di pengadilan yang berlangsung menurut hukum yang membolehkan penuntutan tersangka penjahat perang yang tinggal di Belanda.

"Kejahatan dalam kasus ini dapat dianggap sebagai kejahatan paling serius yang diadili oleh seorang hakim Belanda sejak Perang Dunia II," kata pengadilan banding itu dalam menghukum Mpambara.

Kejahatan Mpambara termasuk pembunuhan sejumlah wanita dan anak, serangan dan pendulikan di negara Afrika tengah itu (Rwanda), tempat  800.000 minoritas Tutsi dan orang-orang Hutu yang secara politik moderat, dibunuh dalam 100 hari pembunuhan besar-besaran oleh para ekstremis milisi Hutu.

Terdakwa berusia 43 tahun itu dihukum karena terlibat dalam pembunuhan "sedikitnya ratusan" pengungsi Tutsi yang meminta perlindungan di sebuah kompleks gereja Seventh Day Adventist, dengan memukul, melukai, dan menembak mereka.

Pengadilan itu memutuskan bahwa Mpambara mengambil bagian dalam pembunuhan dua wanita Tutsi dan anak-anak mereka yang dilukai dan dipukuli hingga tewas, dengan parang dan pentungan saat mereka berusaha untuk melarikan diri dalam sebuah mobil ambulans.

Ia juga dihukum karena mengancam seorang dokter Jerman, isterinya yang orang Tutsi dan bayi laki-laki mereka di sebuah rintangan jalan. Pengadilan telah menyerahkan pada mereka ganti rugi.

Pengacara Liesbeth Zegveld, yang mewakili korban dalam kasus itu, mengatakan vonis tersebut merupakan "ekspresi masyarakat internasional".

Mpambara, yang memakai celana jins, kemeja putih dan sepatu karet, meminta suaka di Belanda pada 1998 dan ditangkap pada 2006, tetap bungkam saat putusan dibacakan.(ANT/Reuters/MEL)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini