Sukses

Wakil Rakyat Merindu Gedung

Setelah DPR membatalkan pembangunan gedung baru, kini giliran DPD minta dibuatkan gedung untuk berkantor. Meski permintaan ini logis, anggaran yang dimintakan dinilai tak masuk akal.

Liputan6.com, Jakarta: Salah satu kelemahan para pejabat atau orang penting di negara ini adalah tak bisa memetik pelajaran dari pengalaman yang sudah-sudah. Yang terbaru adalah sikap ngotot pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk membangun gedung tempat mereka berkantor. Padahal, belum hilang dari ingatan kita panasnya perdebatan tentang rencana pembangunan gedung baru Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Senayan, Jakarta.

Rencana wakil rakyat untuk membangun gedung baru yang mulai bergaung sejak awal 2011 memang membuat bingung. Tak ada alasan yang kuat sebenarnya untuk membangun gedung baru beserta fasilitas nonmor satu di dalamnya, karena gedung DPR-MPR yang ada sekarang masih sangat layak untuk ditempati. Karena itu, dengan anggaran sebesar Rp 1,13 triliun, rencana ini langsung mendapat penolakan dari berbagai kalangan.

Tapi, DPR tak kalah gertak. Seperti diungkapkan Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, keputusan untuk membangun gedung baru sudah bulat dan tak mungkin dibatalkan [baca: Keputusan Gedung Baru Sudah Bulat]. Namun, suara DPR sebenarnya juga tidak kompak. Sejumlah fraksi seperti Partai Amanat Nasional, PDI Perjuangan, dan Partai Gerindra tetap menyatakan tak setuju dengan rencana ini [baca: PAN dan PDIP Tetap Tolak Gedung Baru DPR].

Rencana pembangunan gedung baru DPR ini semakin tak masuk akal karena tak hanya menyangkut soal kepatutan. Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menengarai ada dua penyelewengan dalam pembangunan gedung baru DPR ini. "Dua penyelewengan tersebut, yakni dugaan pelanggaran prosedur perencanaan pembangunan dan dugaan mark up dalam rencana pembangunan gedung," kata peneliti ICW Ade Irawan [baca: ICW: Ada Dua Penyimpangan Gedung Baru DPR].

Entah karena kuatnya penolakan publik atau sikap setengah hati pemerintah mendukung pembangunan gedung ini, Ketua DPR Marzuki Alie akhirnya membatalkan tender pembangunan gedung mewah tersebut. Marzuki mengungkapkan, DPR terpaksa membatalkan proses tender pembangunan gedung baru DPR yang sedang berlangsung karena menduga adanya "kenakalan" yang dilakukan oleh tim teknis Kementerian Pekerjaan Umum yang dianggap terus mengurangi jumlah lantai gedung baru. Sebelumnya disepakati 33 lantai kemudian turun menjadi 26 lantai [baca: Tender Gedung DPR Dibatalkan].

Belum sebulan sejak Marzuki menyatakan pembatalan itu, kini giliran DPD yang mencoba peruntungannya. Melalui Wakil Ketua DPD La Ode Ida, rencana pembangunan gedung di 33 provinsi pun digagas. Berdasarkan taksiran, dibutuhkan dana hampir Rp 1 triliun, sebuah angka yang lumayan besar tentunya. Namun, seperti sudah diduga, rencana ini langsung mendapat penolakan, bahkan dari kalangan DPR.

Yang paling panas tentu perdebatan antara Marzuki dan La Ode. Marzuki menyentil hitung-hitungan angka yang dikemukakan La Ode sebagai sesuatu yang tak masuk akal. "Itu adalah harga murni nilai satuan gedung, karena tanahnya hibah Pemda. Sudahlah jangan publik direndahkan dengan cara yang tidak cerdas," ujar Marzuki [baca: Marzuki Alie Sindir Metode Berhitung Laode Ida].

Tak terima dengan ucapan itu, La Ode mengatakan Marzuki terlalu berlebihan dan mendramatisir. Menurut Kementerian Pekerjaan Umum, anggaran yang digunakan untuk pembangunan di 33 provinsi Rp 823 miliar. "Belum tahu berapa nanti yang terserap, mungkin saja yang terserap cuma Rp 200 miliar," kata La Ode. Dia menambahkan, uang yang tersisa akan dikembalikan ke kas negara [baca: La Ode: Marzuki Alie Berlebihan].

Berbeda dengan kasus rencana pembangunan gedung baru DPR, niat anggota DPD untuk membangun kantor buat mereka lebih masuk akal. Pasalnya, sebagai representasi wakil rakyat non-partai politik yang baru memasuki periode kedua bergabung di Senayan, mereka sama sekali belum memiliki kantor. Sebagai lembaga baru di tubuh parlemen kita, meski fungsi dan kewenangannya tak sekuat DPR, sangat wajar anggota DPD memiliki kantor.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 33 ayat (1) menyebutkan: Anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak empat orang.

Sementara pada ayat (4) di UU dan pasal yang sama menyatakan: Anggota DPD berdomisili di daerah pemilihannya dan selama bersidang bertempat tinggal di ibukota negara Republik Indonesia. Dengan kata lain, selain untuk menghadiri sidang di Senayan, anggota DPD haruslah berkantor di daerah pemilihannya. Sayangnya, kantor itu sama sekali belum ada.

Maka, sangat bisa diterima jika anggota DPD ingin diperlakukan sama seperti wakil rakyat lainnya, paling tidak dalam hal memiliki kantor yang layak. Akan janggal rasanya jika puluhan wakil rakyat di kabupaten atau kota memiliki kantor yang representatif, sementara empat orang anggota DPD yang mewakili satu provinsi masih menggelandang. Padahal, Pasal 40 UU No.22 Tahun 2003 menyatakan DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara.

Sekarang tinggal lagi menentukan, kantor seperti apakah yang harus dibangun untuk anggota DPD di setiap provinsi? Apakah kantor sebagaimana layaknya ataukah sebuah gedung mewah yang bisa mengundang decak kagum? Tentu perlu banyak pertimbangan serta alasan untuk menjawab pertanyaan itu.

Jika ingin membangun gedung mewah, agaknya kurang tepat. Sebagai wakil rakyat yang mendapat mandat langsung tanpa perantara partai politik, anggota DPD harusnya punya kepekaan yang lebih terhadap rakyat yang diwakilinya. Tentu kurang elok jika anggota DPD punya gedung mewah, sementara rakyat yang diwakilinya masih banyak yang tinggal di gubuk reyot.

Anggota DPD juga akan sulit untuk berkantor di gedung mewah karena akan memunculkan benih kecemburuan dari anggota DPRD setempat. Dengan jumlah penghuni yang lebih sedikit, hanya empat orang, dan kewenangan serta fungsi yang terbatas, secara moral anggota DPD memang tak mungkin untuk bermimpi berkantor di gedung mewah melebihi anggota DPRD.

Coba tengok apa yang dikatakan undang-undang tentang tugas dan kewenangan DPD. Pasal 42 ayat (1) UU No.22 Tahun 2003 menyatakan: DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Selanjutnya Pasal 43 ayat (1) menyatakan: DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang diajukan baik oleh DPR maupun oleh pemerintah.

Selain itu, DPD juga memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (Pasal 44 ayat (1)). DPD juga memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal 45 ayat (1)).

Sedangkan Pasal 46 ayat (1) menyatakan: DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.

Dari semua itu terlihat bahwa hanya sebagian saja dari tugas-tugas wakil rakyat di Senayan yang mengikutsertakan DPD. Untuk urusan politik, hubungan luar negeri, hukum, dan pengawasan lembaga negara, misalnya, DPD sama sekali tak disertakan. Ini pula yang mungkin membuat konstituen tak begitu merasakan hasil kerja dari anggota DPD.

Jadi, dengan jumlah penghuni yang hanya empat orang, beserta sejumlah staf tentunya, tugas dan kewenangan yang terbatas, serta hasil kerja yang belum banyak dirasakan publik, anggota DPD agaknya memang harus mengirit anggaran untuk membangun kantor agar tak jatuh menyerupai pepatah, besar pasak daripada tiang.

Sebab, hampir tak ada tugas spesifik anggota DPD saat berada di daerahnya. Pasal 145 Peraturan Tata Tertib DPD menyatakan bahwa kegiatan anggota DPD di daerah yang diwakilinya adalah menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan daerah pemilihannya masing-masing yang berada dalam ruang lingkup tugas dan wewenang DPD, menyampaikan perkembangan pelaksanaan tugas dan wewenangnya di daerah pemilihannya masing-masing, serta melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu.

Maka, dengan mempertimbangkan semua alasan di atas, rasanya angka rata-rata Rp 30 miliar untuk gedung DPD di setiap provinsi agaknya terlalu besar. Itu pun ditambah lagi dengan catatan anggaran sebesar itu tidak termasuk harga tanah karena merupakan hibah dari pemerintah daerah bersangkutan. Tak terbayangkan jumlah lantai dan rupa-rupa fasilitas di dalamnya dengan nilai Rp 30 miliar, dan itu hanya untuk ditempati oleh empat orang beserta sejumlah staf.

Kalau saja anggota DPD mau sedikit berempati terhadap nasib rakyat yang diwakilinya serta mengharamkan bermewah-mewah di atas kemelaratan konstituennya, tentu angka sebesar itu tak akan pernah muncul. Bukankah martabat dan harga diri anggota DPD tidak tergantung jumlah lantai gedungnya atau kendaraan yang dia pakai? Melainkan sejauh mana dia menjalankan fungsinya untuk menyerap aspirasi serta mengantarkannya ke tataran aplikasi?

Dengan semangat tersebut, sangat layak jika DPD menghitung ulang angka yang sudah dirilis hingga taraf tidak menyakiti perasaan konstituen. Akan sangat kontraproduktif nantinya bagi kinerja DPD ke depan jika tetap memaksakan pembiayaan yang besar, sementara tingkat kepercayaan publik makin menurun.

Sebagai lembaga yang terbilang baru, dibentuk melalui perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 pada November 2001, DPD harus bisa merebut hati konstituennya. Ketika pamor DPR turun akibat berbagai kasus, termasuk rencana pembangunan gedung baru, DPD harusnya bisa mencuri momentum tersebut dengan melakukan hal sebaliknya.

Tunjukkan bahwa DPD adalah lembaga yang tetap siap bekerja dengan fasilitas kelas dua, tak banyak menuntut, lebih banyak menjalankan fungsinya di tengah konstituen daripada di ruangan kantor yang sejuk, serta dengan gigih berpihak rakyat daripada kekuasaan. Ketika itu terjadi, DPD akan dilihat publik dengan kecamata berbeda. Dan semuanya bisa dimulai dari menekan angka pembangunan gedung.***



* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.