Sukses

4 Prasasti Kerajaan Sriwijaya yang Isinya Penuh Kutukan, untuk Siapa?

Kerajaan Sriwijaya disebut sebagai kerajaan tertua di Sumatera. Ini dibuktikan dengan catatan seorang pendeta dari China bernama I-Tsing.

Liputan6.com, Jakarta - Siapa bilang zaman dahulu belum ada kalimat sumpah serapah?. Faktanya, Kerajaan Sriwijaya menuliskan beberapa prasastinya dengan kalimat sumpah serapah. Prasasti ini disebut sebagai Prasasti Kutukan.

Dalam sebuah kerajaan, orang yang berhak menuliskan prasasti adalah seorang raja. Prasasti tidak melulu berisi pengakuan atas kebesaran raja, pembukaan wilayah baru, atau pun hal yang sifatnya keagamaan, tapi juga sumpah serapah atau kutukan.

Akan tetapi, Prasasti Kutukan tidak dibuat sembarangan. Biasanya dibuat agar rakyat tunduk pada kekuasaan raja.

Berikut beberapa Prasasti Kutukan Kerajaan Sriwijaya.

1. Prasasti Palas Pasemah

Prasasti ini bentuknya setengah bulat lonjong dan tidak memuat penanggalan. Namun berdasarkan paleografi, prasasti ini berasal dari abad 7 Masehi.

Ahli epigrafi Indonesia, Boechari, dalam buku Sejarah Nasional Indonesia 2 menjelaskan, prasasti ini berisi kutukan Raja Sriwijaya pada mereka yang tidak taat pada raja.

"....Ada orang di seluruh kekuasaan yang tunduk pada kerajaan yang memberontak, berkomplot, tidak tunduk setia kepadaku, orang-orang tersebut akan terbunuh oleh (kutukan)...."

Prasasti ini ditemukan di tepi sungai (Way) Pisang anak sungai Sekapung, Lampung Selatan. Isi prasasti mengindikasikan memperingati ditaklukkannya daerah Lampung Selatan oleh Sriwijaya.

Kutukan yang ada dalam prasasti ini ditujukan kepada daerah Bhumi Jawa (Pulau Jawa), Lampung Selatan, dan daerah lainnya yang berani memberontak kepada Sriwijaya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

2. Prasasti Kota Kapur

Sama seperti Prasasti Palas Pasemah, Prasasti Kota Kapur berisi kutukan kepada mereka yang berbuat jahat, tidak tunduk dan tidak setia kepada raja. Dalam prasasti berangka tahun 608 S atau 28 April 686 M ini disebutkan, mereka yang tidak tunduk akan celaka.

"....Bila di dalam Kadatuan (kerajaan Sriwijaya) ini akan ada yang memberontak, [....] yang bersekongkol dengan para pemberontak, yang berbicara dengan para pemberontak, tidak berperilaku hormat, tidak tunduk, .... Biar orang-orang yang seperti itu mati kena kutuk...."

Selain kutukan bagi yang tidak tunduk, dalam prasasti ini juga disebutkan usaha Sriwijaya untuk menaklukan Bhumi Jawa yang tidak tunduk pada Sriwijaya.

 Prasasti ini kemungkinan dibawa dari luar pulau, karena jenis batunya berbeda dari yang ada di lokasi tempat ditemukannya di dekat Sungai Menduk, Pulau Bangka bagian Barat.

 

 

3 dari 4 halaman

3. Prasasti Telaga Batu

Prasasti yang ditemukan sekitar 1935 ini berisi kutukan raja terhadap orang-orang yang tidak setia kepadanya. Berdasarkan terjemahan dari G Coedes terdapat kalimat yang menyebutkan

".... (menyebutkan struktur pemerintahan di kerajaan Sriwijaya) kamu semua akan mati oleh kutukan ini. Jika kamu tidak setia kepadaku...."

Angka penanggalan prasasti ini pun masih diperdebatkan. Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia 2, peneliti dari Belanda FM Schnitger mengatakan, prasasti itu berasal dari sekitar abad 9 atau 10 Masehi. Adapun filolog asal Belanda Johannes Gijsbertus de Casparis menyebut berasal dari abad 7 M.

Dengan tinggi 118 cm dan lebar 148 cm, pada bagian atas prasasti ini terdapat hiasan berupa tujuh kepala ular kobra, sedangkan pada bagian tengah terdapat semacam cerat (pancuran) tempat mengalirkan air pembasuh.

Bentuk prasasti ini bisa dibilang yang paling artistik dibanding prasasti dari kerajaan Sriwijaya lainnya.

4. Prasasti Karang Berahi

Prasasti yang ditemukan sekitar tahun 1904 oleh seorang Belanda,LM Berkhout, ini berisikan kutukan bagi mereka (rakyat) yang bertindak jahat dan tidak setia pada raja.

Sayang tak ada penanggalan angka dan tahun hingga menyulitkan mengetahui kapan prasasti ini dibuat.

Prasasti ini ditemukan di sekitar Sungai Merangin, cabang Sungai Batang Hari di Jambi Hulu.

Selain tak memuat penanggalan seperti dalam Prasasti Kota Kapur, kalimat 1-4 dari prasasti ini menggunakan dialek yang berbeda dengan kalimat selanjutnya. Hal ini menyulitkan para ahli epigrafi, arkeolog, hingga sejarawan untuk mengartikan isi prasasti ini.

4 dari 4 halaman

Pernyataan Kekuasaan Sriwijaya

Para ahli sejarah tentang Indonesia seperti NJ Krom menyatakan, prasasti-prasasti yang berisi kutukan dianggap sebagai pernyataan kekuasaan Sriwijaya.

Adapun Casparis menyebutkan, kutukan atau ancaman yang terdapat dalam prasasti ditujukan kepada musuh-musuh di negeri Sriwijaya.

Kerajaan Sriwijaya di Palembang, Sumatera Selatan, disebut sebagai kerajaan tertua di Sumatera. Ini dibuktikan dengan catatan seorang pendeta dari China bernama I-Tsing dan penemuan prasasti-prasasti berlatar abad tertua sekitar 7 Masehi.

I-Tsing dalam catatan perjalanannya menuliskan keadaan Sriwijaya selama 6 bulan dia tinggal di kerajaan tersebut, sekitar 671 M.

Dalam prasasti tertua Sriwijaya juga menunjukkan bahwa kerajaan ini telah ada sekitar abad 7 M. Banyak ahli epigrafi yang mencoba mengartikan isi prasasti tertua, yang menggunakan huruf Pallawa berbahasa Melayu kuno ini.

Meski tak dapat dibaca semua, namun menurut arkeolog yang juga sejarawan, G. Coedes, prasasti tertua Sriwijaya ini berisi tentang perjalanan Dapunta Hyang yang melakukan sidhayarta (perjalanan suci) dan menaklukan daerah lain.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.