Sukses

Kisah Masjid Angke, Dibangun Wanita Muslim China dan Markas Lawan VOC

Masjid Angke dibangun oleh seorang wanita muslim Tiongkok pada 1761. Tidak hanya sebagai tempat ibadah, tapi juga menjadi markas perjuangan melawan VOC.

Liputan6.com, Jakarta - Terletak di sebuah gang kecil di daerah Angke, Jakarta Barat, tak membuat keelokan Masjid Angke luput dari pandangan. Bangunan masjid terlihat berdiri anggun dan kokoh dengan sejumlah ciri khas yang tak didapatkan di bangunan masjid lainnya.

Keindahan Masjid Angke terlihat dari arsitektur dan ornamennya yang merupakan perpaduan dari banyak budaya seperti budaya Tiongkok, Eropa, Maroko, Bali, dan Jawa.

Tak hanya indah, masjid ini juga termasuk salah satu masjid tertua yang menyimpan banyak sejarah. Dibangun pada 1761, Masjid Angke tidak hanya sebagai tempat ibadah umat muslim dari berbagi etnis, tapi juga merupakan markas perjuangan pemuda Muslim untuk melawan penjajah Belanda.

Berdasarkan sejarahnya, Masjid Angke dibangun oleh seorang wanita muslim Tiongkok. Masjid dibangun pada 26 Sa'ban 1974 H atau dalam penanggalan masehi 2 April 1761.

"Dulu yang mendirikan masjid ini seorang wanita China yang dibantu oleh kesultanan Banten dan Cirebon untuk pembangunannya," ujar pengurus masjid yang merupakan keturunan ke-8 dari pengurus Masjid Angke, Muhammad Abdiyan Abdillah, kepada Liputan6.com, Jumat 16 Maret 2018, di Jakarta Barat.

Pada masa kekuasaan VOC, masjid berukuran 15x15 meter ini tidak hanya digunakan sebagai tempat ibadah, tapi juga sebagai tempat menggembleng para pemuda untuk siap bertempur melawan VOC.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Perpaduan Budaya dan Markas Perjuangan

Dari segi arsitektur, masjid ini syarat perpaduan budaya. Perpaduan budaya ini terlihat jelas pada bagian atap masjid, yang pada setiap ujungnya melengkung menyerupai bangunan khas Tiongkok. Kemudian di bagian paling atas atap, terdapat hiasan yang biasa digunakan pada bangunan Bali.

Secara keseluruhan, atap berbentuk tumpang yang merupakan ciri khas bangunan Jawa.

"Di dalamnya ada ukiran-ukiran juga itu perpaduan Jawa dan Bali. Dari bentuk pintu juga kelihatan. Jendelanya itu terali-terali pakai unsur Eropa. Kalau mimbarnya yang menjorok keluar itu, khas dari Maroko," ujar Abdiyan.

Menurut Abdiyan, keragaman budaya tidak hanya pada arsitektur dan ornamen masjid, tapi juga di lingkungan sekitar masjid. Di sekitar masjid, hidup berdampingan warga keturunan Tionghoa dan warga dari etnis lainnya.

Terdapat juga makam di belakang masjid, yang letaknya sangat dekat dengan rumah penduduk. Namun, bukan perasaan horor maupun ngeri, penduduk justru merasa aman dan tenteram dengan keberadaan makam-makam tersebut.

Menurut Abdiyan, makam-makam itu merupakan makam dari Kesultanan Banten, Cirebon, Pontianak, hingga makam pendiri masjid.

"Kalau makam, yang sisi barat (belakang masjid) itu dari Kesultanan Banten dan Cirebon. Sisi timur itu makam-makam dari Kesultanan Pontianak," terang dia.

Makam pendiri masjid dan juga arsiteknya ikut dimakamkan di sekitar masjid ini. Keduanya merupakan muslim Tionghoa. "Di sisi barat juga ada makam pendiri masjid sama arsitek yang merancang masjid ini," tuturnya.

Masjid ini terdiri dari dua lantai. Pada zaman perjuangan, lantai dua selain digunakan sebagai tempat mengumandangkan azan, juga digunakan sebagai tempat memantau pergerakan musuh.

"Masjid Angke dulu letaknya kan cukup terpencil. Jadi lantai 2 ini selain buat azan, dipakai juga buat memantau pergerakan musuh. Ibaratnya jadi menara pengintai lah," ungkap Abyan.

3 dari 3 halaman

Cagar Budaya

Sayangnya saat Liputan6.com berkunjung, masjid sedang dalam restorasi. "Kita sedang restorasi sekarang. Semua bangunan yang ada di lingkungan masjid di restorasi, termasuk bangunan baru, kayak TPA (Taman Pendidikan Alquran) dan tempat wudhu," jelas Abyan.

Restorasi ini dimulai Februari 2017 lalu dan diperkirakan akan selesai dalam kurun waktu 5 bulan lagi. "Tapi mungkin pas bulan Ramadan akan ditunda pengerjaannya," ujar Abyan.

Restorasi ini bukan yang pertama bagi Masjid Angke. Heuken dalam bukunya yang berjudul Tempat-tempat bersejarah di Jakarta menuliskan, Masjid Angke telah dipugar beberapa kali.

Meski demikian, pemugaran tidak menghilangkan ciri asli bangunan masjid. Pada 1919 dan 1936, masjid ini pernah terbengkalai, tetapi dipugar kembali pada 1951.

Bangunan masjid Angke termasuk dalam bangunan cagar budaya yang ditetapkan pemerintah, sehingga dalam pemugarannya dibutuhkan ahli dalam bidang arsitektur, arkeolog, hingga sejarawan agar tak mengubah bentuk asli bangunan.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.