Sukses

[Cek Fakta] Isu Aroma Politik di Balik Pengajuan PK Ahok

Setelah sembilan bulan ditahan, Ahok akhirnya mengajukan perlawanan lewat pengajuan PK. Nasibnya akan diputus MA.

Liputan6.com, Jakarta - Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tak datang ke sidang Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Senin pagi, 26 Februari 2018. Namun, ratusan orang yang bersiap menyambutnya tak lantas beranjak pergi. 

Massa memenuhi halaman depan bekas gedung PN Jakarta Pusat, luber hingga ke aspal Jalan Gajah Mada. Mereka terbagi dalam dua kubu berlawanan. Pro dan kontra. Adu orasi dan teriakan, perang kata-kata baik lewat pengeras suara maupun poster, berlangsung panjang, lebih lama dari durasi sidang yang singkat, hanya sekitar 15 menit.

Tak sekadar menjadi polemik di ranah hukum, pengajuan permohonan peninjauan kembali (PK) oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok juga diseret ke wilayah politik. Sebab, ada pihak yang mengaku khawatir kalau mantan Gubernur DKI Jakarta itu melenggang mulus di dunia politik nasional setelah bebas dari hukuman.

Salah satunya adalah Sekjen Forum Umat Islam (FUI) Muhammad Gatot Santono yang juga dikenal dengan nama Muhammad Al Khaththath. Dia mencurigai, langkah mengajukan PK tak lain untuk melapangkan jalan Ahok menuju Pilpres 2019, menuju Istana.

"Yang saya dengar dari ahli hukum, kalau Ahok ini dikabulkan PK-nya, berarti dia akan dibebaskan dengan status bukan tahanan dan bukan narapidana," ungkap Al-Khaththath di Museum Joeang '45, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 24 Februari 2018.

Fakta:

Banyak yang mempertanyakan alasan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK). Dan mengapa ia baru menunjukkan perlawanan saat ini?

Pengacara sekaligus adik Ahok, Fifi Lety Indra mengatakan, ada alasan mengapa Ahok baru mengajukan perlawanan setelah sembilan bulan ditahan sejak 9 Mei 2017. Mantan Bupati Kabupaten Belitung Timur itu sebelumnya sempat menarik upaya bandingnya.

"Kenapa Pak Ahok menarik banding? Pak Ahok ini seorang negarawan, dia enggak tega kalau pendukung dan pembenci dia saling berbenturan," ujar Fifi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Gajah Mada, Jakarta Pusat Senin, (26/2/2016).

Advokat perempuan itu menilai, jika kakaknya itu tetap ngotot banding, ketenteraman Indonesia bisa terganggu.

"Padahal kita mau merajut Bhinneka Tunggal Ika dan berbangsa. Kita satu anak bangsa walaupun kita berbeda beda, kita satu, kita Indonesia. Kalau saat itu pak Ahok melakukan banding, saya rasa kita tak akan seperti ini," ucap dia.

Kini, Ahok berharap bisa bebas dan nama baiknya direhabilitasi. 

 

 

Terpisah, Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik FISIP UI, Hurriyah berpendapat, sah-sah saja jika ada pihak yang mengaitkan pengajuan PK Ahok dengan politik.

"Bahwa ada kelompok yang khawatir jika PK Ahok dikabulkan dan dia bisa bebas itu wajar, mengingat popularitas dan elektabilitas Ahok masih tinggi. Kemungkinan digaetnya Ahok sebagai cawapres potensial juga akan terbuka lebar. Kemungkinan inilah yang boleh jadi sangat dikhawatirkan kelompok yang tidak suka dengan Ahok," jelas Hurriyah kepada Liputan6.com, Senin malam.

Namun, dilihat dari sisi hukum, Hurriyah tak setuju jika proses hukum yang ada harus menghadapi tekanan massa yang di dalamnya punya muatan politik.

"Apalagi kalau cara-cara yang ditempuh menggunakan tekanan massa, seperti kasus Aksi Bela Islam beberapa waktu lalu. Ini bisa menjadi preseden buruk yang baru dalam demokrasi kita, ketika proses hukum begitu mudah dipengaruhi faktor-faktor politik," ujar Hurriyah.

Kendati demikian, pernyataan sejumlah pihak yang ingin menggagalkan upaya PK Ahok menurutnya masih sebatas wacana. Karena bentuk perlawanan ini tidak ada legitimasinya dalam UU, maka tidak akan bisa diterima.

"Akan beda jika upaya perlawanannya dilakukan secara politik dan menggunakan kekuatan massa, misalnya. Jika itu sampai terjadi dan proses hukum bisa dipengaruhi, ini akan menambah tantangan serius bagi penegakan hukum di Indonesia," tegas Hurriyah.

Yang jelas, lanjut dia, peluang Ahok untuk kembali ke dunia politik atau bergiat di partai politik sangat dimungkinkan jika PK yang diajukan diterima majelis hakim PK.

"Bagaimanapun popularitasnya masih tinggi. Saya yakin masih ada parpol yang berminat mengajak Ahok untuk bergabung. Tetapi ini kembali ke Ahok lagi, apakah dia masih berminat terjun di dunia politik," jelas Hurriyah.]

Masih tingginya popularitas Ahok sejalan dengan hasil survei terbaru Indo Barometer. Berdasarkan survei Dinamika Pilpres 2019, Jokowi unggul dengan angka 48,8 persen sebagai calon presiden. Sedangkan Prabowo berada di angka 22,3 persen.

Yang menarik, nama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berada di posisi ketiga (2,9 persen), di atas nama Gatot Nurmantyo (2,7 persen), Anies Baswedan (2,5 persen), dan Agus Harimurti Yudhoyono (2,5 persen). Nama-nama itu muncul berdasarkan pertanyaan terbuka seandainya pilpres diselenggarakan saat ini.

Survei dilaksanakan pada 23-30 Januari 2018 di 34 provinsi. Jumlah sampel sebanyak 1.200 responden dengan margin of error sebesar 2,83 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Metode penarikan sampel adalah multistage random sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara tatap muka responden menggunakan kuesioner.

Kesimpulan: BELUM BISA DIPASTIKAN KEBENARANNYA 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini