Sukses

Kisah Sendu Guru di Kupang, Digaji Rp 250 Ribu Dibayar per Tiga Bulan

Pemerintah pusat diminta bisa lebih pro-aktif memperhatikan nasib guru dan sekolah di daerah yang tertinggal.

Liputan6.com, Kupang - Sebuah bangunan ringkih berdiri dengan atap setumpuk daun kering pohon gewang, dan dinding berlapiskan potongan kayu batang pohon yang sama. Tiada ubin sebagai alas lantai. Semua rata dengan tanah.

Begitulah penampakan SMPN 5 Sulamu, Desa Bipolo, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).

"Ada tiga bangunan yang berisi lima kelas dengan kondisi seperti itu, kalau hujan ya bocor karena atap bolong-bolong, tampias juga," kata Kepala Sekolah Gasper Snae di lokasi saat tinjauan BUMN press tour, Senin (5/3/2018).

Peninjauan Liputan6.com di lokasi, ternyata bukan sekedar infrastruktur yang masih jauh dari kata cukup. Sarana-prasarana penunjang, seperti bangku, meja, papan tulis dan kapur juga menjadi hal lain yang wajib mendapat perhatian khusus. Padahal, SMPN 5 Sulamu memiliki siswa-siswi terbilang banyak yakni 148 pelajar, mulai dari kelas 7, 8, hingga 9.

Selain masalah di atas, Gasper mengungkap, hanya baru dua guru berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sisanya, 20 tenaga pengajar masih berstatus honorer.

"Para guru digaji per bulan Rp 250 ribu, tapi bisa baru turun per tiga bulan. Karena iuran siswa yang Rp 25 ribu per bulannya, kadang baru pada bayar menjelang mid-test," terang Gasper.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Harapan ke Kemendikbud

Gasper meminta, patutnya ini menjadi catatan bagi Kementerian Pendidikan dan Pemerintah Daerah setempat, untuk bisa lebih pro-aktif memperhatikan nasib sekolah yang tertinggal.

"Saya khususnya selaku kepala sekolah, kalau bisa pemerintah membantu kami dengan ruang kelas karena tiga ruang ini masih darurat dari 2010 sampai sekarang jadi harapannya bisa dari segi ruang belajar," pinta dia.

SMPN 5 Sulamu dibangun atas keinginan warga setempat yang rindu akan hadirnya sebuah sekolah. Berdiri sejak 2010 oleh swadaya gotong royong yang memanfaatkan pohon gewang.

Awalnya, sekolah hanya dihuni 48 pelajar, hingga kini berjumlah ratusan. Sayangnya, hasrat warga memperjuangkan pendidikan dan semangat belajar para siswa belum didukung kucuran dana memadai.

Beberapa bantuan sempat hinggap, seperti dari Kementerian Pendidikan, pada tahun 2017 untuk pusat perpustakaan dan Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun anggaran 2014-2015 sempat juga dikucurkan dengan nilai Rp 340 juta. Dana tersebut digunakan untuk memeperkokoh sebagian bangunan kelas, yang salah satunya ruang kantor guru.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.