Sukses

Curhat Mantan Teroris Tak Mau Uang Tunai Tapi Kembali ke NKRI

Suasana pertemuan mantan teroris dan korbannya begitu khidmat. Salah satu mantan teroris, Ali Fauzi, sempat mengutarakan keinginannya pada pemerintah.

Liputan6.com, Jakarta - Aksi terorisme terus terjadi, tidak hanya di Tanah Air tapi juga dunia. Kejahatan teroris telah membuat banyak orang menderita. Bukan hanya dari keluarga korban, mereka yang menyaksikan pun ikut merasakan ketakutan dan trauma yang luar biasa.

Meski banyak pelaku kejahatan teror sudah dihukum, namun masih ada teroris yang terus diburu hingga saat ini.

Pemerintah sendiri terus berupaya melakukan deradikalisasi terhadap para teroris yang tengah diproses hukum. Menyadarkan mereka untuk kembali ke NKRI dan meninggalkan langkah-langkah yang selama ini terlanjur mereka yakini namun menyimpang. 

Rabu kemarin, untuk pertama kalinya, 124 mantan terpidana terorisme dengan 51 orang korbannya dipertemukan. Pertemuan ini digagas Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Tujuan dari pertemuan ini, supaya para mantan teroris bisa menyampaikan pesan damai agar tak kembali terjadi teror. Sementara dari pihak korban, dia ingin menyampaikan cukup mereka jadi korban.

"Dalam forum ini, adalah untuk melihat suatu pesan damai yang dari sisi penyintas tentu akan menyampaikan bahwa 'cukup kami saja jangan ada lagi korban' karena korban dari teror itu teman-teman keluarga," ujar Kepala BNPT Suhardi Alius, di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Rabu 28 Februari 2018.

"Di lain pihak kita hadirkan mantan teroris yang sudah sadar yang ada di bawah binaan BNPT juga, dan mereka menjadi duta-duta BNPT untuk menyampaikan pesan anti radikal di kalangan yang potensial," sambung dia.

Dalam pertemuan ini, suasana begitu khidmat. Salah satu mantan teroris, Ali Fauzi, sempat mengutarakan apa yang menjadi keinginan mereka pada pemerintah yang turut hadir.

Ali menceritakan, banyak orang sepertinya ingin bisa kembali ke masyarakat. Salah satu keinginannya adalah bersekolah. Sebab, setelah keluar dari penjara, masyarakat memandangnya rendah.

"Saya bisa kemarin jadi ulat ada proses metamorfosis saya dianggap kemudian mampu jadi kepompong, jadi kupu-kupu dan anak kita semua tak takut sama kupu-kupu karenanya harapan saya daur ulang ini terus dilakukan, terus diulang," ujar mantan teroris, Ali, di hadapan para menteri yang hadir.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pengakuan Mantan dan Korban Teroris

Dia juga meminta kepada Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri agar memberikan pelatihan kepadamantan narapidana, terutama yang berada di Yayasan Lingkar Perdamaian, Lamongan.

Menurutnya, para mantan teroris itu tak butuh uang tunai, tetapi mereka ingin mendapatkan kemampuan agar bisa kembali ke masyarakat.

Pernyataan serupa juga disampaikan Syaiful Amir. Napiter asal Pare-Pare, Sulawesi Selatan ini meminta beasiswa kepada Menristek Dikti M Nasir agar bisa kuliah. Sebab, banyak dari para mantan napi ingin mengenyam pendidikan.

Atas pengakuan kesalahan dari mereka, korban maupun keluarga korban juga membuka diri. Korban bom JW Marriott, Agus Swarsih (40), mengaku masih sedikit trauma saat dipertemukan dengan pelaku. Ingatan kejadian ketika ledakan terjadi sedikit terbuka. Namun, bukan kesal dan dendam, dia hanya bisa terharu.

"Kayak tadi pas baca doa dan mantan pelaku minta maaf ya terenyuh saya, terharu juga," ucap Agus kepada wartawan.

Dia pun mantap untuk melakukan rekonsiliasi terhadap ingatan itu sepenuhnya. Sebagai manusia, dia menerima permintaan maafnya itu dengan sepenuh hati.

"Mau tidak mau apapun itu saya manusia dia manusia, Saya memaafkan. Tuhan aja Maha Pemaaf saya juga harus maafkan," imbuhnya.

Upaya pemerintah melakukan rekonsiliasi antara mantan teroris dan para korban dinilai cukup baik oleh pengamat teroris Al Chaidar.

Dia menceritakan, dari beberapa kali pertemuannya dengan mantan teroris, dia melihat upaya mereka untuk kembali ke NKRI sangat tulus.

"Saya melihat mereka cukup tulus. Ini artinya program deradikalisasi yang dijalankan ada keberhasilannya. Karena pada dasarkan program seperti ini di mana mereka bertemu dengan korban, sesungguhnya yang paling mereka takuti. Pendekatan dengan korban paling mereka takuti," kata Chaidar saat berbincang dengan merdeka.com, Kamis (1/3/2018).

"Karena apa, karena mereka sadar, saat dulu kalau mereka merasa tentara yang harusnya lawannya tentara bukan lantas karena marah lalu melakukan pemboman di lokasi yang enggak ada kombatannya, enggak ada orang yang bersenjata, yang siap untuk perang. Jadi mereka sadar sebenarnya strategi itu strategi pengecut. Itu terucap biasanya saat kita wawancara di ujung-ujung, biasanya ketika mereka sudah lelah," sambung dia.

 

 

3 dari 3 halaman

Tidak Kembali ke Tempat Asal

Menanggapi salah satu keluhan para mantan teroris yang menilai mereka sulit kembali diterima di masyarakat, Chaidar sangat memahami itu.

"Apalagi framing di media bahwa kejahatan teroris luar biasa, lebih mengerikan dari narkoba dan human trafficking dan sebagainya. Maka dari itu, sebaiknya mereka jangan pernah dikembalikan ke kampung halamannya, lebih baik ke tempat lain," jelasnya.

Yang tak kalah penting, sambungnya, mereka jangan di kembalikan ke tempat yang berpotensi mempertemukan kembali dengan komunitas sebelumnya. Apalagi yang ada bekas atasan atau bawahan selama di komunitas sebelumnya.

"Kecuali dengan teman akrab yang bisa mendengar curhat mereka. Jadi mereka harus dimasukkan ke komunitas baru, ini harus tuntas oleh pemerintah supaya mereka seratus persen NKRI. Dan masyarakat harus mampu menerima mereka yang bersalah dulu kecuali yang melakukan penghilangan nyawa. Kalau yang baru bergabung, sebaiknya di terima meskipun dalam kenyataannya itu tak mudah," kata dia.

Chaidar berharap agar pemerintah benar-benar serius dalam program deradikalisasi ini, termasuk jika ingin memberikan modal usaha.

"Jangan sampai sudah gelontorkan uang tapi dibelikan bahan baku buat beli amunisi. Jadi programnya jangan setengah-setengah, buat mereka berada di NKRI dan sadar kesalahan mereka. Dibutuhkan upaya sangat serius untuk bina mereka, melibatkan psikolog, antropolog, pekerja sosial untuk membantu naturalisasi mereka. Kembalikan ke alam yang ramah dan hangat," pesan Chaidar.

Reporter: Lia Harahap

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.