Sukses

Jentreng Tarawangsa: Menari untuk Dewi Padi

Tari Tarawangsa atau Jentreng adalah tarian mistik yang dilakukan sebagai syukur kepada Nyai Pohaci atau Dewi Sri yang telah memberikan panen begitu melimpah.

Liputan6.com, Sumedang: Sumedang, kota kecil di hamparan Tanah Pasundan. Terletak di antara Cirebon dan Bandung, kabupaten ini terkenal dengan penganan ringan berupa tahu. Tapi keistimewaan Sumedang sesungguhnya tak cuma tahu. Ada yang telah lama hidup di sini yang menjadi spirit dan identitas khas kaum agraris.

Sesuatu yang telah tumbuh dan lama mengakar karena jejaknya terendus sejak kerajaan kuno Padjadjaran. Namanya, Tarawangsa atau Jentreng. Merupakan seni tari yang diiringi petikan dawai mirip rebab dan kecapi.

Tak setiap wilayah di Tatar Sunda mendalami Tarawangsa. Bahkan di Sumedang pun, hanya di Kecamatan Rancakalong kesenian sakral ini hidup. Dan merupakan ritual kuno yang erat dengan Nyai Pohaci Sanghyang Asri atau Dewi Sri, dewi kesuburan yang diyakini sebagian besar masyarakat Jawa dan Bali.

Lazimnya, Jentreng dimainkan pada saat panen raya sebagai media untuk mengundang Nyai Pohaci atau Dewi Sri. Tarian ini tak memiliki pakem. Gerakan khusus hanya dilakukan Saehu dan penari perempuan yang menjadi simbol penghormatan dewi padi. Dan kini, warga Rancakalong tengah sibuk mempersiapkan panen raya.

Desa Rancakalong tak pernah lepas dari kisah Tarawangsa. Dahulu, Tarawangsa identik dengan prosesi ritual panen raya. Tapi kini zaman telah berubah. Kesenian ini tak lagi penuh ketabuan, tak lagi harus dibunyikan saat panen tiba. Memainkan saat bersantai pun tak masalah. Bahkan bisa jadi pengisi kesunyian ketika malam jatuh di desa.

Tak ada yang bisa memastikan tepatnya kesenian ini lahir. Tapi diperkirakan, muncul pada masa Kerajaan Mataram Hindu, Syahdan. Ketika itu di Tatar Sunda tak ada bibit padi. Untuk mengatasi ini, masyarakat yang pada masa itu sering  keliling daerah untuk mengamen, tiba di Mataram, daerah penghasil beras.

Gagasan mencuri benih padi pun muncul. Para pengamen mencoba menyembunyikan benih ke celempung, alat musik pukul yang terbuat dari bambu. Upaya ini gagal, termasuk utusan yang menyembunyikan di rengkong, alat musik lainnya yang dimainkan dengan cara digoyang.

Baru pada upaya ketiga, Eyang Sinapel atau Eyang Wisya Mangkunegara berhasil membawa benih padi dengan cara menyembunyikan di lubang Tarawangsa. Sejak itu, Tanah Sunda menjadi salah satu penghasil beras utama. Dan wilayah istimewa itu bernama Rancakalong.

Panen raya selalu membuat suasana desa meriah. Tua muda, bahkan bocah belia, berdatangan ke pematang mencoba terlibat dalam tarian sakral yang dipersembahkan kepada dewi padi. Prosesi Tarawangsa selalu dipimpin oleh Saehu atau sesepuh adat. Dua patung lelaki dan perempuan perwujudan Aki Bala Gantrang dan Nini Pohaci, wajib hukumnya untuk dihadirkan.

Beragam sesaji mulai dari telur sampai ayam kampung dan buah-buahan juga tak ketinggalan. Tarian ini adalah wujud syukur karena panen begitu melimpah. Wujud penghormatan terhadap Kersa Nyai atau Dewi Sri, agar kerasan menetap di Rancakalong. Hingga kini, seni Tarawangsa atau Jentreng tetap hidup meski tak berkembang luas seperti tari pergaulan lain.

Kelestariannya turun-temurun lewat cara sederhana, diwariskan oleh Saehu kepada keturunannya. Tak jarang, begitu ritmisnya irama Tarawangsa dan kecapi dipadukan, membuat sejumlah penari tak sadarkan diri. Mereka kesurupan karena prosesi ini memang unsur mistiknya begitu kuat.

Jiwa penari yang terbang bersama gerak tubuh mengubah diri si penari begitu jauh melayang. Warga Desa Rancakalong terus bersyukur dan menari. Tak sadarkan diri bukanlah penghalang. Karena kesenian dan padi menyatu menjadi abadi.(ASW/ANS)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.