Sukses

Badan Bahasa: 11 Bahasa Daerah Punah, 19 Terancam, dan 2 Kritis

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) merayakan Hari Bahasa Ibu Internasional dengan menggelar acara bertajuk Gelar Wicara dan Festival Tunas Bahasa Ibu.

Liputan6.com, Jakarta Tepat pada hari ini, 21 Februari 2018, seluruh dunia memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional. Di Indonesia sendiri, bahasa ibu kerap diidentifikasikan sebagai bahasa daerah yang tersebar di seluruh wilayah NKRI.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) sebagai lembaga pemerintah yang berfokus pada ranah bahasa dan sastra, merayakan Hari Bahasa Ibu Internasional dengan menggelar acara bertajuk Gelar Wicara dan Festival Tunas Bahasa Ibu. Prof Dadang Sunendar selaku Kepala Badan Bahasa mengatakan, Indonesia merupakan negara dengan bahasa daerah terbanyak nomor dua di dunia setelah Papua Nugini.

“Menurut catatan kami, sampai Oktober 2017, bahasa daerah yang telah diidentifikasi dan divalidasi sebanyak 652 bahasa dari 2.452 daerah pengamatan,” katanya di Kantor Badan Bahasa, Rawamangun, Jakarta Timur, 21 Februari 2018.

Bahkan, bahasa di wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat belum teridentifikasi. “Itu karena bahasa di daerah sana belum saling memahami. Kalau bahasa di Pulau Jawa, meskipun berbeda-beda, masih bisa dipahami,” ia menambahkan.

Seperti data dari BPS pada tahun 2011 tentang profil bahasa daerah, 79,5 persen penduduk masih berkomunikasi sehari-hari di rumah tangga dengan menggunakan bahasa daerah. Dari tahun 2011 sampai 2017, dari 652 bahasa daerah yang telah didokumentasikan dan dipetakan, baru 71 bahasa yang telah dipetakan vitalitasnya.

“Dari data tersebut, 19 bahasa daerah terancam punah, 2 bahasa daerah kritis, dan 11 bahasa daerah sudah punah,” ucap mantan Wakil Rektor Universitas Pendidikan Indonesia tersebut.

“Maka itu, kami dari Badan Bahasa memiliki tugas untuk mengingatkan dan mengawasi agar bahasa-bahasa daerah terjaga dan lestari.”

Meski demikian, ia mengakui bahwa upaya ini belum optimal dilakukan. Dadang menyatakan, semua balai bahasa sudah bekerja sama dengan pemda-pemda setempat. Menurut Dadang, upaya tersebut masih terus bisa dimaksimalkan. Itu karena menurutnya, sebuah bahasa daerah yang bahkan dikategorikan aman harus terus dijaga.

"Jadi jangan ragu-ragu untuk meminta bantuan kami kalau semisal ada bahasa-bahasa daerah yang dalam kondisi tertentu dan perlu perhatian," ia menegaskan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Sejarah Hari Bahasa Ibu Internasional

Pada Rabu, 21 Februari, dunia sedang merayakan Hari Bahasa Ibu Internasional. Tepat pada 17 November 1999, UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Peringatan hari tersebut pertama kali dilakukan pada 21 Februari 2000.

Namun, siapa yang sangka kalau penetapan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional dilatari peristiwa berdarah sebuah gerakan sosial di India?

Seperti dilansir dari www.timeanddate.com, sekitar tahun 1947 di India, Provinsi Bengali dibagi menurut agama mayoritas penduduknya. Bagian barat menjadi bagian dari India dan bagian timur menjadi sebuah provinsi Pakistan yang dikenal sebagai Bengali Timur, yang kemudian dikenal sebagai Pakistan Timur. Namun ternyata, ada gesekan ekonomi, budaya, dan bahasa antara Pakistan Timur dan Barat.

Ketegangan ini tampak jelas pada 1948 ketika pemerintah Pakistan menyatakan bahwa bahasa Urdu adalah satu-satunya bahasa nasional. Kebijakan politik bahasa ini dianggap meminggirkan bahasa Bengali. Hal ini memicu protes di antara mayoritas penutur Bengali di wilayah Bangladesh (Pakistan Timur).

Mereka menuntut pemerintah agar bahasa Bengali disejajarkan dengan bahasa Urdu sebagai bahasa resmi.

3 dari 3 halaman

Demonstrasi Berdarah

Namun, keinginan masyarakat Bangladesh ini terganjal politikus Pakistan Barat karena dianggap sebagai penentangan nasionalisme Pakistan. Jalan demonstrasi pun dipilih masyarakat, meski pemerintah melarangnya.

Pada 21 Februari 1952, para siswa di Universitas Dhaka dan aktivis lainnya menggelar demonstrasi. Unjuk rasa kemudian berjalan ricuh. Polisi menembaki demonstran dan menewaskan empat mahasiswa.

Peristiwa ini justru membuat masyarakat Bangladesh semakin marah dan ketegangan politik makin menjadi. Pada akhirnya, pemerintah Pakistan mengakomodasi tuntutan masyarakat Bangladesh dengan menetapkan bahasa Bengali sebagai bahasa resmi sejajar dengan bahasa Urdu.

Tewasnya para mahasiswa dalam memperjuangkan hak untuk menggunakan bahasa ibu mereka sekarang diingat sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional.

Namun, perjuangan tak berhenti di situ. Usai 1952, pergerakan bahasa di Bangladesh menjadi "benih" perpecahan negara Pakistan. Meski keinginan menjadikan bahasa Bengali sebagai bahasa nasional sudah dipenuhi, masyarakat Bangladesh bertekad memerdekakan diri dari negara Pakistan.

Karena itulah, pada 1971, rakyat Bangladesh mendirikan negara sendiri yang terpisah dari negara Pakistan. Mereka mengukuhkan bahasa Bengali sebagai bahasa resmi Bangladesh.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.