Sukses

HEADLINE: JK hingga Prabowo, Siapa Cawapres Ideal untuk Jokowi?

Bursa calon wakil presiden yang akan mendampingi Jokowi di Pemilihan Presiden 2019 mengemuka. Ada nama-nama lama dan kejutan yang muncul.

Liputan6.com, Jakarta - Sebagai petahana, Jokowi masih jadi calon kuat untuk dicalonkan kembali dalam Pemilihan Presiden 2019. Nasdem dan Golkar bahkan sudah jauh-jauh hari mendeklarasikan dukungan. 

Namun, wacana yang belakangan mengemuka adalah, siapa calon wakil presiden (cawapres) ideal untuk mendampingi Jokowi dalam Pilpres 2019? 

Sejumlah nama pun muncul. Wartawan senior John McBeth, dalam tulisannya, Widodo Steams Towards Easy Second Run, menyebut nama Jusuf Kalla atau JK. 

Dalam artikel yang dimuat di Asia Times, Rabu, 7 Februari 2018, McBeth mengatakan, Jokowi dikabarkan akan mendekati JK untuk mendampinginya maju dalam Pilpres 2019.

"Untuk saat ini, Kalla (JK) adalah pilihan paling aman," tulis McBeth, mengutip sumber anggota tim sukses informal Jokowi. 

Sang sumber juga menggarisbawahi kesulitan yang dihadapi Jokowi dalam menemukan kandidat yang pas untuk membantunya mempertahankan suara dari kalangan Muslim yang konservatif. 

Jokowi, tulis McBeth, membutuhkan seseorang dengan latar belakang Muslim yang kuat. Sebab, apa yang terjadi pada mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, bisa jadi memengaruhi hasil Pemilu dan Pilpres 2019. 

Saat ditanya peluangnya untuk kembali mendampingi Jokowi, JK menunjukkan ketidaksediaannya. Alasannya, soal usia. Umurnya sudah 75 tahun. 

"Biarlah yang muda-muda saja," ucap JK di kantor Wapres, Jakarta, Selasa, 13 Februari 2018.

Politikus senior Partai Golkar tersebut lantas menyampaikan dua kriteria yang harus dimiliki calon pendamping Jokowi di Pilpres 2019.

Pertama, cawapres harus punya keterpilihan yang bagus agar bisa membantu Jokowi kembali terpilih. Kedua, dibutuhkan tokoh yang punya kinerja baik untuk menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan. Soal figur, JK mengaku belum mengantongi nama. 

Muda atau Matang?

Dihubungi terpisah, Direktur Saiful Mujani Research and Consulting, Djayadi Hanan, menyebut potensi Jokowi maju kembali bersama JK terbuka. Hanya saja, ia mengemukakan beberapa catatan.

Pertama, ia mempertanyakan soal aturan menjadi cawapres. Sebab, JK sudah dua kali pernah menjadi wakil presiden. "Apa boleh lebih dari dua kali?" kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (13/2/2018).

Kedua, usia JK yang sudah terlalu sepuh. Bila Jusuf Kalla kembali maju, menurut Djayadi, akan menjadi langkah mundur.

Pasalnya, Jokowi juga punya beban di Pilpres 2019. Terkait tanggung jawabnya untuk memastikan regenerasi kepemimpinan nasional berjalan.

Di sisi lain, posisi wakil presiden cukup sentral. Sebab, dia menambahkan, orang nomor dua di negeri ini punya potensi maju menjadi presiden kelak, menggantikan Jokowi.

"Salah satu tugas presiden adalah membantu negara untuk memilih pemimpin masa depan," ungkap Djayadi.

Karena itu, idealnya pilihan Jokowi nanti bisa memproyeksikan kepemimpinan bangsa ke depan.

Djayadi menyebut figur pilihan itu harus generasi transisi, yakni mereka yang punya karier politik panjang, tapi juga tidak punya beban masa lalu.

Djayadi menambahkan, beberapa nama sebenarnya sudah mencuat menjadi kandidat wakil Jokowi, yaitu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, dan Sri Mulyani yang baru diberi penghargaan sebagai menteri terbaik dunia. Ia juga memasukkan nama-nama ketua umum partai.

Namun, dari sekian nama, hanya dua yang popularitasnya menonjol: AHY dan Gatot Nurmantyo. "Nama-nama lain di bawah 2 persen," ujar Djayadi.

Nama AHY mendapat sorotan khusus. Menurut Djayadi, figurnya lebih "aman" dibanding JK. AHY juga merepresentasikan pemilih Muslim. Hal itu tampak ketika ia maju menjadi calon Gubernur DKI.

Djayadi juga memperkirakan anak mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini bisa merangkul kelompok di luar lingkaran Jokowi selama ini.

Ia menambahkan, JK selama ini diakui sebagai tokoh Muslim, juga merupakan ketua Dewan Masjid Indonesia. Namun, hal itu tidak berdampak langsung terhadap stabilitas pemerintahan Jokowi terhadap gangguan.

"Selama ini JK bersama Jokowi, tapi kelompok anti-Jokowi tetap ada," ia mencontohkan.

Djayadi menilai, siapa pun wakil yang dipilihnya nanti, Jokowi punya keleluasaan memutuskan. Syaratnya, dia harus mampu menjaga kepuasaan publik terhadap pemerintahannya.

Respons Golkar dan PDIP

Meski kader seniornya disebut-sebut akan kembali berpotensi maju menjadi calon wakil presiden, Golkar memilih tenang menanggapinya.

Ketua DPP Golkar, Happy Bone Zulkarnain, mengatakan agenda pilpres belum masuk prioritas partainya.

Golkar masih fokus pada helatan Pilkada Serentak 2018. Kemungkinan JK kembali menjadi wakil Jokowi pun belum masuk dalam pembahasan partai.

"Kita belum bisa merespons itu dan belum berpikir ke arah sana. Jadi, dari Golkar tidak mau berpekulasi hal-hal yang masih abu-abu kayak begitu," kata dia.

Menurut dia, terlalu prematur membicarakan nama-nama calon wakil presiden sekarang ini.

PDIP setali tiga uang. Semua nama di bursa calon wakil presiden yang muncul hingga saat ini masih dianggap sebagai aspirasi.

"Kita serap dulu pandangan, opini dari masyarakat," Ketua DPP PDI Perjuangan, Andreas Hugo Pareira, kepada Liputan6.com.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Jokowi-Prabowo, Mungkinkah?

Di tengah wacana kembali majunya Jokowi-JK, pasangan alternatif juga pernah dijajaki SMRC. Awal tahun lalu, lembaga riset itu menguji penerimaan publik terhadap kemungkinan bersandingnya Jokowi-Prabowo.

Sebanyak 66,9 persen responden penelitian memberikan tanggapan positif. Hanya 28,4 persen yang menyatakan ketidaksetujuan.

SMRC bukan sekali saja menawarkan opsi bersandingnya dua rival itu. Hal serupa juga dilakukan pada tiga periode survei sepanjang 2017. Menurut Direktur SMRC, Djayadi Hanan, kurvanya terus menunjukkan tren positif.

"Mei 2017, 48,1 persen setuju, berbanding 32,1 persen yang tidak. Lalu survei kami pada September 59,1 persen setuju ini meningkat, dengan 25,1 persen yang tidak," jelas dia dalam pengumuman riset awal Januari 2018 lalu. 

Survei SMRC menggunakan metodologi multistage random sampling, dengan margin of error 3,1 persen. Riset dilakukan pada 7-13 Desember 2017, dan total responden 1.220 orang.

Meski penerimaan publik tinggi, menurut Djayadi, realitas politik menutup kemungkinan Jokowi-Prabowo berpasangan di Pilpres 2019.

Kedua figur punya kelompok pendukung fanatik. Basis-basis suara ini akan menunjukan resistensi bila mereka bergabung.

Terlebih, bila menilik kerasnya persaingan kedua tokoh itu saat Pemilihan Presiden 2014. "Saya kita, realitas politik itu akan sangat sulit sekali dipertemukan," kata Djayadi kepada Liputan6.com, Selasa 13 Februari 2018.

Gerindra: Enggak Mungkin

Hal itu diamini Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Arief Poyuono. Ia menampik peluang Prabowo menjadi wakil Jokowi.

Arief menjelaskan, Gerindra menganggap pemerintahan Jokowi saat ini gagal. Karena itu pula, kemungkinan keduanya bersanding hampir tidak ada. "Jadi enggak mungkin (Prabowo) jadi wakilnya (Jokowi)," ia menegaskan.

Meski ia mengaku belakangan ada gerakan untuk menyandingkan kedua tokoh itu. Salah satunya, menurut dia, menggunakan tangan lembaga survei.

3 dari 3 halaman

Ramalan Hendropriyono

Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Abdullah Mahmud Hendropriyono beberapa waktu lalu pernah meramalkan presiden dan wakil presiden terpilih pada 2019. Dia memprediksi keduanya nasionalis, agamis, dan paham ekonomi serta bisnis.

Dia juga menyebut wapres akan berusia muda. Kemudian wakil presiden merupakan ahli di bidang ekonomi dan perdagangan. Kemampuannya pun diakui dunia internasional.

"Kan, banyak itu, misalnya, Chairul Tandjung, Sri Mulyani, kemudian Tuan Guru Bajang (TGB). Bisa saja. Tapi apakah dia orang berwawasan ekonomi bisnis, biar rakyat yang menilai," ucap Hendropriyono, Jumat, 29 Desember 2017.

Selain itu, ia juga mengatakan, cawapres 2019 ini akan mendulang suaranya dari partai Islam. "Elektabilitasnya datang dari partai Islam," tambah dia.

Namun, prediksinya bisa saja tak berlaku. Hendro memberi catatan bila dalam pelaksanaan Pilpres 2019 terjadi hal-hal di luar dugaan. Misalnya, terjadi kekerasan di masyarakat yang membuat pelaksanaan Pilpres 2019 jadi tak kondusif.

"Jika terjadi demokrasi jalanan atau kudeta militer, maka perkiraan tadi gugur atau batal dengan sendirinya," ucap mantan Kepala Badan Intelijen Negara itu.

Hendro pernah beberapa kali meramalkan kondisi politik Tanah Air. Salah satunya terkait kepemimpinan Jokowi.

Ia terkesan dengan kepemimpinan Jokowi saat menjabat Wali Kota Solo periode 2005-2010. Hendropriyono mengusulkan kepada Taufik Kiemas, suami Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri, untuk mengusungnya sebagai calon Gubernur DKI Jakarta.

Ketika itu, banyak kalangan meragukan Jokowi bisa menang. Perkiraan Hendropriyono menjadi kenyataan setelah Jokowi berhasil menjadi Gubernur DKI Jakarta 2012-2017.

Kemudian sekitar dua bulan sejak Jokowi menjadi Gubernur DKI, Hendropriyono menuliskan perkiraannya melalui sebuah artikel di harian Kompas berjudul "Presiden 2014: Muda Nonmiliter" yang dimuat pada 5 November 2012.

Tidak ada yang menduga perkiraan itu mengarah kepada Jokowi. Bahkan banyak yang meragukan sosok muda nonmiliter bisa memenangi Pemilihan Presiden 2014.

Namun kenyataannya, Jokowi-JK berhasil memenangi Pilpres 2014. Ramalannya akan kembali diuji di 2019. 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.