Sukses

Soal Panggilan Paksa di DPR, Polri: Kami Ikuti Aturan

Dalam proses penegakan hukum, Polri juga berpedoman pada KUHP dan KUHAP.

Liputan6.com, Jakarta - Revisi Undang-Undang No 17 Tahun 2004 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3 telah disahkan. Beberapa pasal baru atau tambahan yang masuk dalam revisi UU MD3 menimbulkan kontroversi. Salah satunya Pasal 17 klausul yang mewajibkan Polri membantu DPR memanggil paksa pihak yang mangkir saat dipanggil DPR terkait fungsi pengawasan.

Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Polri Kombes Pol Martinus Sitompul tidak mempermasalahkan aturan baru tersebut. Menurut Martin, sebagai unsur pemerintah di bidang keamanan, ketertiban masyarakat, pelayanan publik, dan penegakan hukum, Polri mengikuti peraturan yang ada.

"Tentu dalam mengopersionalkan pelaksanaan tugas kami mengikuti peraturan-peraturan yang telah ditetapkan," kaya Martinus di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (9/2/2018).

Dalam proses penegakan hukum, Polri juga berpedoman pada KUHP dan KUHAP. "Dalam sebuah proses penegakan hukum tentu kami juga berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana," tutur Martin. Hal itu dilakukan agar Polri tidak melanggar hukum dalam mengelola sebuah proses penegakan hukum.

Menurut Martinus, ada serentetan sanksi yang membayangi seorang penyidik Polri apabila melanggar ketentuan yang ada saat memroses suatu tindak pidana. "Penting bagi para penyidik untuk mematuhi semua ketentuan yang ada, yang harus dilalui dan harus dilakukan oleh para penyidik itu," tutur Martinus.

Oleh sebab itu Polri akan mengikuti peraturan yang berlaku. "Jadi kalau ada perubahan-perubahan dalam tatanan, dalam hal melakukan pemeriksaan, dalam hal melakukan sebuah proses penyidikan tentu kami harus mendasarkan pada ketentuan yang ada," tegas Martinus.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sebab Klausul Ada

Anggota Badan Legislasi (Baleg) dari Fraksi Nasdem Jhonny Plate mengaku adanya draf Pasal 73 dalam Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) karena sikap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pasal 73 dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 ini tentang pemanggilan paksa. Sebab beberapa kali pihak KPK memang tidak menghadiri undangan DPR.

"Pada saat KPK tidak bisa menghadiri, lalu ada KPU dalam konsultasi. Tapi yang mencolok karena masalah KPK," kata Jhonny di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (9/2/2018).

Dia menjelaskan bila pihak-pihak yang diundang DPR dan memenuhinya, kemungkinan draf mengenai panggilan paksa tidak akan ada. Seperti halnya dengan panggilan dari penegak hukum.

Kendati begitu, Sekjen Partai Nasdem ini enggan menyebut draf tersebut merupakan bentuk sikap DPR yang otoriter.

"Bagaimana mau otoriter, sekarang saja ada 10 fraksi. Lebih transparan dan terbuka," papar dia.

Sebelumnya pada Kamis, 8 Februari 2018 sebanyak delapan fraksi telah menyepakati adanya RUU MD3 mengenai penambahan tiga bangku pimpinan untuk MPR.

Namun, saat pembahasan berlangsung masih terdapat pembahasan pula mengenai Pasal 73 dimana ditambahkan frase "wajib" polisi membantu memanggil paksa pihak yang mangkir dari panggilan DPR.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.